JJ Rizal: Politik Kita Ini adalah Politik Penggede, Oposisi Hanya Tipuan

Rabu, 24 Juli 2019 | 14:41 WIB
JJ Rizal: Politik Kita Ini adalah Politik Penggede, Oposisi Hanya Tipuan
Ilustrasi sejarawan JJ Rizal. [Istimewa/Olah gambar Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Proses panjang Pemilu 2019 terutama di jalur kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres 2019) yang bisa dikatakan sudah usai, menghadirkan perkembangan baru.

Tidak saja akhirnya ada pengakuan secara terbuka terhadap kemenangan petahana Joko Widodo (Jokowi), Prabowo Subianto dan kubunya belakangan juga terlihat makin "akrab" dengan kubu mantan pesaingnya.

Setelah bertemu dengan Jokowi secara monumental di sebuah gerbong MRT beberapa waktu lalu, pada Rabu (24/7) ini misalnya, Prabowo bahkan juga bertandang ke kediaman Megawati Soekarnoputri–sebelumnya sempat dikabarkan juga akan dihadiri Jokowi.

Banyak pihak menduga ini ada hubungannya dengan upaya Prabowo dan kubunya untuk masuk ke pemerintahan. Ada juga yang menyebut soal kursi Ketua MPR, bahkan menduga pembicaraan akan termasuk soal 5 tahun lagi alias Pilpres 2014.

Baca Juga: Analis: PKS Jelas Oposisi, Gerindra, PAN dan Demokrat Tidak Jelas

Lantas, salah satu pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana dengan oposisi? Dari kubu parpol pengusung Prabowo sendiri, PKS sudah beberapa kali menegaskan akan teguh melakoni peran oposisi ke depan.

Beberapa tokoh di Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo juga sempat menyatakan itu. Sementara sebaliknya, PAN dan Partai Demokrat sudah sejak beberapa bulan lalu menunjukkan gerak-gerik akan mendukung pemerintah–jika tak bisa disebut ingin bergabung di Koalisi Indonesia Kerja.

Bagaimana pengamat melihat perkembangan politik kekinian ini? Lebih jauh lagi, bagaimana gambaran situasinya jika dibandingkan dengan sejarah politik Indonesia?

Dalam rangkaian wawancara kali ini, Suara.com coba meminta pandangan sejarawan muda JJ Rizal mengenai hal itu. Berikut petikannya:

Marx pernah mempertegas pernyataan Hegel bahwa sejarah selalu terulang dua kali: satu sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon. Nah, dalam politik kita, ada sejarah yang terulang, yakni Jokowi menang, Prabowo kalah. Hal yang terulang lainnya adalah: Prabowo akhirnya kembali mengakui kemenangan Jokowi. Bagaimana Anda melihatnya? Apakah ada perbedaan dalam kemenangan Jokowi atau kekalahan Prabowo kali ini?

Baca Juga: Ghufron Mabruri: Periode Pertama Jokowi, Isu HAM Tak Cukup Dapat Perhatian

Politik itu perjuangan atas nilai (virtue). Jika politik sukses memperjuangan nilai, maka dapatlah dikatakan mencapai kemenangan.

Sekarang tinggal kita menimbang, apakah di antara Jokowi dan Prabowo itu di masa lalu dan masa kini telah menunjukkan dedikasi yang besar untuk mengarahkan politik mereka sebagai jalan memperjuangkan dengan serius nilai-nilai yang menjadi alasan mengapa kita menjadi Indonesia? Sebut saja misalnya salah satu nilai yang pokok, yaitu kemanusiaan.

Kemanusiaan ini harus diingat adalah dasar nasionalisme Indonesia yang menjadi rumusan politik pergerakan kebangsaan; lahir sebagai antitesis dari kolonialisme, sebuah sistem rakus dan korup yang tidak cukup puas hanya mengeksploitasi dengan brutal kekayaan alam lingkungan, tetapi juga menindas dan memanipulasi hak-hak serta kemanusiaan tak habis-habisnya.

Sekali lagi, apakah politik Jokowi dan Prabowo memperlihatkan perjuangan atas nilai dasar yang menjadi basis perjuangan politik kebangsaan kita yang menyejarah itu?

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

PKS sudah menyatakan dirinya bakal menjadi oposan bagi Jokowi - Maruf Amin. Gerindra juga sebagian kader dan massanya menginginkan menjadi oposisi. Bagaimana Anda melihatnya? Apakah Gerindra dalam sejarah politik Indonesia mampu dan konsisten menjadi oposan, semisal kalau dilihat pada dua era kepemimpinan SBY?

Karena politik kita miskin nilai, maka jangan pernah pikir ada oposisi. Apalagi sistem otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah langsung telah membuat semua sebenarnya ada dalam kekuasaan.

Oposisi adalah tipuan, semacam fatamorgana. Kekuasaan kita belakangan adalah kekuasaan Jawa Mataram yang hanya tahu kekuasaan mutlak. Semua ingin ditarik ke dalam istana.

Jika gagal, maka politik pilkada jadi ajang ekspansi dan atau koalisi. Tujuannya satu: meluaskan kekuasaan. Sampai di sini perseteruan keras seketika tinggal terlihat sebagai sandiwara belaka, sebab betapa mudahnya ditemukan di satu tempat saling cakar, di tempat lain mereka asyik-masyuk bersatu memenangkan pemilihan kepala daerah.

Di dalam dan di luar kekuasaan sama ngawur. Rakyat memilih dalam sistem demokrasi, tetapi mereka tidak pernah menang.

Sebab politik kita adalah politik penggede. Inilah buah politik yang tidak punya virtue.

Seperti kata Rendra, semua bisa dikompromikan. Sebab mereka hanya rusuh dan gaduh memperjuangkan kedaulatan golongan dan partainya sendiri. Mereka hanya bergulat untuk posisi sendiri.

Mereka tidak peduli kepada posisi hukum, keadilan, kemanusiaan, ekologi, kesejahteraan rakyat, pencerdasan bangsa.

Picik. Politiknya adalah bukan apa yang benar, tetapi apa untungnya. PKS dan Gerindra juga menjalankan politik ini, misal di Depok, Jawa Barat, wali kota dan wakilnya dipegang, tetapi apa mereka keluar dari politik picik itu?

Tidak! PKS sebagai kawan seiring Gerindra ikut mengaku sebagai partai nasionalis, tetapi anehnya mengajukan perda syariah.

Boleh diceritakan, bagaimana sejarah oposisi secara global dan di Indonesia? Siapa sih yang menjadi oposan pertama di Indonesia terhitung sejak merdeka?

Begitu Indonesia merdeka timbul langsung oposisi. Dimulai oleh Sjahrir yang memang punya riwayat panjang kritis terhadap Sukarno.

Pada awal Oktober 1945 ia menggalang petisi yang ditandatangani kurang dari setengah anggota BP KNI dan disampaikan langsung kepada Presiden Sukarno.

Isinya kritik terhadap kecenderungan kekuasaan presiden yang terlalu besar dan bisa mengarah kepada kekuasaan otoriter. Hal ini berbahaya sebab akan membenarkan tuduhan Belanda bahwa Indonesia yang baru merdeka adalah kekuasaan diktator fasis buatan Jepang yang tak perlu diakui kedaulatannya.

Kekuasaan presiden yang besar harus dibagi agar dunia internasional bisa melihat bahwa tuduhan Belanda bohong belaka.

Hatta sebagai wakil presiden membenarkan apa yang diungkapkan Sjahrir. Ia lalu mengeluarkan Maklumat Nomor X, dan sejak itulah model pemerintahan presidential berubah menjadi parlementer. Sukarno menerima kekuasaannya dilucuti tinggal sebagai simbol negara.

Lebih jauh tentang sejarah oposisi di Indonesia dan bagaimana meneladaninya, di laman berikutnya...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI