Jokowi Jilid II: Krisis Legitimasi atau Peluang Politik Progresif?

Senin, 08 Juli 2019 | 08:10 WIB
Jokowi Jilid II: Krisis Legitimasi atau Peluang Politik Progresif?
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden yang digelar rutin lima tahunan baru saja selesai. Jokowi dan Maruf Amin, Capres Cawapres nomor urut 1 dinobatkan KPU sebagai pemenang.

Sementara Capres Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno harus puas menjadi runner-up, setelah gugatannya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Lantas, apa yang tersisa setelah kegegap-gempitaan pilpres itu? Satu pertanyaan yang patut dikemukakan adalah: bagaimana panggung politik setelah Jokowi dan Maruf Amin memerintah? Apakah akan stabil atau justru diwarnai gonjang-ganjing hingga menimbulkan krisis legitimasi kekuasaan.

Pertanyaan itu bisa diajukan lantaran banyak pihak, terutama kaum oposan, menilai kemenangan Jokowi – Maruf Amin pada Pilpres 2019 tidak demokratis.

Baca Juga: Tiba di Soetta, Tangis Kerabat Pecah Kala Peti Jenazah Sutopo Diangkut

Ada pula yang mengajukan tudingan bahwa kemenangan Jokowi – Maruf Amin tak terlegitimasi secara luas oleh masyarakat, sebaba jumlah golput terbilang tinggi.

Djayadi Hanan, dosen sekaligus periset politik memunyai sejumlah jawaban yang mengena untuk persoalan-persoalan tersebut.

Djayadi adalah pengajar Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional dan Program Pascasarjana Jurusan Diplomasi, Universitas Paramadina, Jakarta.

Ia juga menjabat Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Tulisan pakar perbandingan politik dan perbandingan lembaga politik itu tersebar di berbagai media dan jurnal ilmiah.

Dalam bidang akademis, Djayadi meraih gelar Sarjana Administrasi Negara dari FISIP Universitas Sriwijaya, Palembang; Magister Sains (MSi) Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan, MA bidang Perbandingan Politik dari the Ohio State University, Amerika Serikat.

Baca Juga: Momen Haru saat Menlu Retno Memeluk Anak Pertama Almarhum Sutopo

Dia juga mendapat gelar MA bidang International Affairs dari Ohio University, Athens-Ohio, Amerika Serikat. Gelar Doktor Ilmu Politik diperoleh dari Departemen Ilmu Politik, the Ohio State University (OSU), Columbus, Ohio, Amerika Serikat.

Peneliti Tamu di John F Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat (2012) itu pernah menjadi Direktur Penelitian, Pelatihan, dan Konsultasi (DPPK) Universitas Paramadina (Februari 2006-Agustus 2007); dan Senior Program Officer dan Konsultan Program Penguatan Legislatif pada The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) Indonesia.

Tak hanya itu, Djayadi juga adalah Konsultan Program Penguatan Pemerintah Daerah pada World Bank Institute (WBI) dan Japan Bank for International Cooperation; serta fasilitator Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi).

Berikut wawancara Muhammad Yasir, jurnalis Suara.com dengan Djayadi Hanan:

Apakah secara umum perhelatan Pilpres 2019 sudah demokratis?

Penilaian seperti itu harus dilihat dari aspek apakah benar-benar ada kompetisi? Kalau kasusnya Pilpres 2019, kompetisi itu ada, bahkan keras.

Kemudian, apakah ada pembatasan terhadap orang yang mau berkompetisi? Itu tidak ada. Sepanjang memenuhi syarat, orang itu bisa berkompetisi.

Bisa juga dinilai dari partisipasi. Apakah ada yang menghalangi orang untuk berpartisipasi? Memang ada persoalan seperti daftar pemilih tetap (DPT) yang dianggap bermasalah. Tapi hal itu selalu terjadi setiap pemilu.

Secara umum, tak ada laporan signifikan yang mengatakan sekelompok orang dihalangi untuk berpartisipasi dalam pilpres.

Sementara, kalau diukur dari angka partisipasi kan tinggi sekali pada Pilpres 2019 sampai 80 persen. Angka partisipasi tersebut bahkan tertinggi sejak Pilpres 2004.

Selain itu, alat pengukur demokratis atau tidak Pilpres 2019, juga bisa dilihat dari akuntabilitas atau  pertanggungjawaban.

Pemilu 2019 diselenggarakan oleh berbagai lembaga yang saling cek dan ricek. KPU diawasi  DPR dan Bawaslu. Kalau ada masalah etik dalam penyelenggara pemilu, ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kalau pelangggaran-pelanggaran pidana pemilu, ada Sentra Gakkumdu. Jadi ada saling check balance.

Sedangkan dari segi penegakan hukum, pelanggaran-pelanggaran itu sudah disediakan saluran pelaporannya.

Bahkan, ketika terjadi perselisihan hasil pemilihan umum, disediakan lembaga dan waktu khusus untuk menyelesaikannya yaitu melalui Mahkamah Konstitusi.

Maka, menurut saya, pemilu demokratis itu minimal harus memenuhi empat unsur itu, dan Pilpres 2019 memenuhinya. Maka, saya bisa menyimpulkan Pilpres 2019 relatif berjalan demokratis.

100 persen demokratis? Tentu tidak, pasti ada masalah.  Tetapi masalah tersebut tidak ditemukan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif.

Ini bukan sekadar pendapat saya sebagai orang yang mengamati pemilu, tapi juga direfleksikan oleh pendapat umum masyarakat, yang tergambar melalui survei-survei.

Apakah Pilpres 2019 sudah melibatkan partisipasi massa atau elite saja?

Ya tingkat partisipasi publik dalam Pilpres 2019 sebesar 80 persen, artinya massa ikut secara luas.

Alat ukur lainnya juga bisa dilihat pada media-media sosial. Warganet baik yang tingkat elite maupun berpendidikan tak tinggi juga ikut berbicara soal Pilpres 2019.

Ya memang ada bentuk partisipasi yang kebablasan. Mungkin karena dia tidak paham atau juga mungkin sengaja dan berakhir di polisi. Itu kan tanda betapa partisipasi masyarakat itu meluas. Jadi tak hanya dibuktikan oleh 80 persen DPT datang dan memberikan suaranya di TPS.

Kalau dijumlahkan, ada 35,60 persen pendukung Prabowo – Sandiaga plus 20 persen golput, apakah pemerintahan ke depan bakal stabil?

Golput itu tak bisa otomatis disimpulkan tidak pro-Jokowi. Secara kasar, golput itu dibagi dua. Pertama, yang datang ke TPS tapi tak memilih Prabowo maupun Jokowi.

Kedua, ada pula yang golput karena bermacam alasan seperti memprotes pemilu. Nah orang yang seperti ini jumlahnya sedikit, mungkin 2 persen atau 3 persen. Sisanya, yang 17 persen itu tidak datang ke TPS dengan berbagai alasan teknis.

Jadi artinya, yang harus dihitung adalah jumlah pemilih Jokowi yakni 85 jutaan plus golput yang harusnya memilih Jokowi tapi tak bisa karena kendala teknis atau administratif. Kalau dari kacamata seperti itu, maka legitisasi Jokowi – Maruf Amin melalui Pilpres 2019, kuat.

Artinya, pemerintahan Jokowi – Maruf Amin nanti tak bakal ada krisis legitimasi?

Tidak ada krisis. Krisis legitimasi itu kalau misalnya yang berpartisipasi dalam pilpres hanya 20 persen. Misalnya, seperti Pilkada 2015 atau 2017 di Medan, partisipasi publiknya hanya 25 persen. Kalau 75 persen masyarakat tidak berpartisipasi, baru bisa dikatakan ada krisis legitimasi.

Legitimasi pemenang Pilpres 2019 kuat, karena tingkat partisipasinya mencapai 80 persen. Lebih besar dari Pilpres 2014, yang partisipasinya 69 persen.

Kalau ditinjau dari partai-partai politik pendukung Jokowi, apakah kebijakan Jokowi – Maruf Amin akan progresif?

Ini periode kedua Jokowi, tapi ya tergantung pada kepemimpinannya akan lebih progresif atau tidak.

Tapi menurut saya, karena ini periode terakahir Pak Jokowi, dia punya kesempatan lebih progresif karena tak terbelenggu oleh kebutuhan untuk menyenangkan parpol.

Kalau 2014 kan Pak Jokowi perlu menyenangkan partai politik, supaya parpol mendukungnya lagi pada Pilpres 2019. Tapi sekarang Pak Jokowi tidak perlu itu lagi. Karena pasti secara konstitusional Pak Jokowi tidak bisa lagi maju tahun 2024.

Jadi, fokus Pak Jokowi seharusnya itu adalah membentuk koalisi, membentuk kabinet yang mendukung agenda prioritas ke depan. Nah apa agenda prioritas Pak Jokowi ke depan, tentu dia yang tahu.

Ada gejolak massa terkait Pilpres 2019, terutama aksi 21-22 Mei yang berakhir rusuh. Apakah itu people power atau "rich people power" alias kooptasi kelas elite terhadap massa tanpa edukasi politik?

Yang boleh disebut people power itu kan adanya gerakan masyarakat secara sukarela untuk menyuarakan aspirasinya, termasuk memprotes hasil proses politik yang mereka tidak setujui. Itu boleh saja.

Soal aksi 21-22 Mei, harus dibedakan dua hal, yakni kelompok yang benar-benar menyuarakan aspirasi ketidaksetujuan atas hasil pilpres, dan massa rusuh. Orang yang melakukan kerusuhan ini adalah para petualang politik, boleh disebut begitu.

Maksudnya, bisa jadi mereka melakukan kerusuhan itu dimanfaatkan oleh para petualang politik, atau atas dorongan mereka sendiri. Jadi ini dua hal yang berbeda. Dengan demikian, kerusuhan kemarin tidak bisa disebut sebagai people power.

People power itu akan terjadi kalau ada masalah dalam pemerintahan ini, ada krisis legitimasi seperti zaman Soeharto. Kedua, ada krisis ekonomi seperti era 1998.

People power itu adalah gelombang massa yang ingin mengubah rezim pemerintahan karena tidak lagi memenuhi harapan rakyat. Jadi pasca-Pilpres 2019 gerakan massa jauh kalau mau disebebut sebagai people power.

Kubu prabowo pada masa kampanye konsentrasi mengkritik bangunan ekonomi yang dibangun Jokowi, apakah ini tepat atau keliru?

Tidak keliru, memang seorang penantang harus mengkritik kebijakan-kebijkan fundamental dari petahana yang dia tantang. Ada sejumlah faktor yang bisa memengaruhi menang tidaknya petahana dalam pemilu. Salah satu yang sangat penting adalah faktor ekonomi.

Petahana itu biasanya selalu akan kampanye dengan klaim dia berhasil membangun ekonomi secara baik. Itu juga yang dilakukan Pak Jokowi. Nah, karena itu yang menjadi jantung pertahanan Pak Jokowi, maka wajar kalau penantangnya menyerang pada sisi itu, ada yang berhasil atau tidak.

Prabowo juga kerap memakai kosakata populistik dan kiri saat kampanye, bagaimana, benar atau keliru?

Itu juga jantung pertahanan Pak Jokowi. Petahana itu salah satu jantung pertahanannya adalah dia pembela wong cilik, orang yang berpihak pada rakyat kecil.

Karena itu, tim Prabowo juga mau menyerang itu, bahwa Jokowi sebetulnya bukanlah seperti yang digambarkan atau dicitrakan. Jadi ini strategi kampanye meruntuhkan narasi Jokowi adalah pembela rakyat kecil.

Pada saat yang sama, Pak Prabowo ingin mengatakan bahwa sesungguhnya dia lah pembela rakyat kecil itu. Maka dalam kampanyenya Prabowo banyak mengkritik kalangan elite dan sebagainya.

Soal kebebasan politik, pada era Jokowi – Maruf, apakah akan demokatis atau represif?

Seharusnya lebih demokratis, kecuali kalau Pak Jokowi itu orang yang otoriter. Tapi kalau dilihat selama ini kan beliau tidak berasal dari kalangan yang mungkin cenderung otoriter. Dalam keluarganya, Jokowi bisa dilihat sebagai sosok demokratis.

Pemerintahannya selama ini kan tidak menunjukkan gejala-gejala untuk memenjarakan lawan politik. Memang ada tuduhan kriminalisasi ulama segala macam, tapi kan itu bisa diperdebatkan, bisa dibantah.

Kepemimpinan yang demokratis itu bukan hanya bicara soal prosedur, misalnya mendengarkan semua orang segala macam. Tapi yang juga lebih penting, kepemimpinan demokratis itu adalah kepemimpinan responsif terhadap kebutuhan rakyat banyak.

Jokowi harus lebih banyak mendengarkan suara rakyat. Kalau suara rakyat bertentangan dengan suara partai, Jokowi harus berpihak kepada rakyat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI