Kalau dijumlahkan, ada 35,60 persen pendukung Prabowo – Sandiaga plus 20 persen golput, apakah pemerintahan ke depan bakal stabil?
Golput itu tak bisa otomatis disimpulkan tidak pro-Jokowi. Secara kasar, golput itu dibagi dua. Pertama, yang datang ke TPS tapi tak memilih Prabowo maupun Jokowi.
Kedua, ada pula yang golput karena bermacam alasan seperti memprotes pemilu. Nah orang yang seperti ini jumlahnya sedikit, mungkin 2 persen atau 3 persen. Sisanya, yang 17 persen itu tidak datang ke TPS dengan berbagai alasan teknis.
Jadi artinya, yang harus dihitung adalah jumlah pemilih Jokowi yakni 85 jutaan plus golput yang harusnya memilih Jokowi tapi tak bisa karena kendala teknis atau administratif. Kalau dari kacamata seperti itu, maka legitisasi Jokowi – Maruf Amin melalui Pilpres 2019, kuat.
Baca Juga: Tiba di Soetta, Tangis Kerabat Pecah Kala Peti Jenazah Sutopo Diangkut
Artinya, pemerintahan Jokowi – Maruf Amin nanti tak bakal ada krisis legitimasi?
Tidak ada krisis. Krisis legitimasi itu kalau misalnya yang berpartisipasi dalam pilpres hanya 20 persen. Misalnya, seperti Pilkada 2015 atau 2017 di Medan, partisipasi publiknya hanya 25 persen. Kalau 75 persen masyarakat tidak berpartisipasi, baru bisa dikatakan ada krisis legitimasi.
Legitimasi pemenang Pilpres 2019 kuat, karena tingkat partisipasinya mencapai 80 persen. Lebih besar dari Pilpres 2014, yang partisipasinya 69 persen.
Kalau ditinjau dari partai-partai politik pendukung Jokowi, apakah kebijakan Jokowi – Maruf Amin akan progresif?
Ini periode kedua Jokowi, tapi ya tergantung pada kepemimpinannya akan lebih progresif atau tidak.
Baca Juga: Momen Haru saat Menlu Retno Memeluk Anak Pertama Almarhum Sutopo
Tapi menurut saya, karena ini periode terakahir Pak Jokowi, dia punya kesempatan lebih progresif karena tak terbelenggu oleh kebutuhan untuk menyenangkan parpol.