Peneliti Tamu di John F Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat (2012) itu pernah menjadi Direktur Penelitian, Pelatihan, dan Konsultasi (DPPK) Universitas Paramadina (Februari 2006-Agustus 2007); dan Senior Program Officer dan Konsultan Program Penguatan Legislatif pada The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) Indonesia.
Tak hanya itu, Djayadi juga adalah Konsultan Program Penguatan Pemerintah Daerah pada World Bank Institute (WBI) dan Japan Bank for International Cooperation; serta fasilitator Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi).
Berikut wawancara Muhammad Yasir, jurnalis Suara.com dengan Djayadi Hanan:
Apakah secara umum perhelatan Pilpres 2019 sudah demokratis?
Baca Juga: Tiba di Soetta, Tangis Kerabat Pecah Kala Peti Jenazah Sutopo Diangkut
Penilaian seperti itu harus dilihat dari aspek apakah benar-benar ada kompetisi? Kalau kasusnya Pilpres 2019, kompetisi itu ada, bahkan keras.
Kemudian, apakah ada pembatasan terhadap orang yang mau berkompetisi? Itu tidak ada. Sepanjang memenuhi syarat, orang itu bisa berkompetisi.
Bisa juga dinilai dari partisipasi. Apakah ada yang menghalangi orang untuk berpartisipasi? Memang ada persoalan seperti daftar pemilih tetap (DPT) yang dianggap bermasalah. Tapi hal itu selalu terjadi setiap pemilu.
Secara umum, tak ada laporan signifikan yang mengatakan sekelompok orang dihalangi untuk berpartisipasi dalam pilpres.
Sementara, kalau diukur dari angka partisipasi kan tinggi sekali pada Pilpres 2019 sampai 80 persen. Angka partisipasi tersebut bahkan tertinggi sejak Pilpres 2004.
Baca Juga: Momen Haru saat Menlu Retno Memeluk Anak Pertama Almarhum Sutopo
Selain itu, alat pengukur demokratis atau tidak Pilpres 2019, juga bisa dilihat dari akuntabilitas atau pertanggungjawaban.