Inisiator KBQT, Bahruddin: Belajar Itu Proses Qiroah, Tidak Hanya Baca Teks

Rabu, 19 Juni 2019 | 07:25 WIB
Inisiator KBQT, Bahruddin: Belajar Itu Proses Qiroah, Tidak Hanya Baca Teks
Bahruddin, pendiri atau inisiator Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Kalibening Salatiga. [Suara.com / Muhamad AM]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Lalu, dari mana tenaga pengajar di KBQT berasal?

Di komunitas belajar ini kami menolak konsep pengajar, tapi lebih menggunakan (istilah) pendamping. Sebab murid tidak diajar, tetapi didampingi. Yang mendampingi di awal berdiri para pegiat di serikat tani. Saat ini, (sudah ada) para kakak-kakak alumni KBQT yang punya andil dalam mendidik para murid.

Terus, bagaimana proses pembelajarannya?

Kurikulumnya sejak didirikan mengikuti yang sudah ada dari pemerintah. Selain itu, seluruh sumber daya alam di kampung menjadi sumber pembelajaran. Hal ini kami sebut sebagai proses qiroah, yakni membaca konteks dan analisis kepada konteks yang ada di desa.

Baca Juga: Benarkah Tingkat Pendidikan Berpengaruh Terhadap Risiko Kanker Otak?

Sempat pada sekitar tahun 2006, ada problem tanah bengkok di Kalibening. Sebab dulu Kalibening itu desa yang menjadi kelurahan karena masuk Kota Salatiga. Sehingga, tanah bengkok itu yang tadinya milik desa, menjadi milik kota. Hal ini membuat tanah bengkok mau dijadikan apa, suka-suka Pemkot Salatiga. Padahal semestinya kontrolnya oleh petani.

Hal ini membuat anak-anak setara SMA di KBQT membuat kajian land reform. Sebab orangtua mereka notabene petani, dan merasa resah dan terancam. Hasil kajiannya lalu dimuat di sebuah majalah NGO internasional yang berkantor di Denpasar.

Kajian anak-anak KBQT itu sampai ke Lembaga Pembaruan Agraria Nasional (LPAN). Institusi ini diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu. Lalu, muncul edaran LPAN yang ditandatangani SBY, (bahwa) tanah bengkok eks desa yang berubah menjadi kelurahan, dapat menjadi objek land reform.

Hal ini sangat luar biasa. Ketika pembelajaran difokuskan pada hal lokal, (ternyata) mampu mengubah kebijakan secara nasional. Itu kontribusi anak-anak KBQT.

Betapa miskinnya kita, lantaran seluruh sekolah di Indonesia tidak memperhatikan itu. Bahwa sebenarnya desa kaya dengan pembelajaran yang tidak disentuh. Karena semua sudah dirumuskan di Cipete oleh GNSP. Padahal desa memiliki sumber pembelajaran yang tidak ada habisnya, sekaligus (dapat) membuat anak-anak punya kontribusi perbaikan di kampungnya.

Baca Juga: Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan

Suasana musyawarah atau diskusi di resource center KBQT Jalan R Mas Said Nomor 12 Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Sabtu (15/6/2019). [Suara.com / Muhamad AM]
Suasana musyawarah atau diskusi di resource center KBQT Jalan R Mas Said Nomor 12 Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Sabtu (15/6/2019). [Suara.com / Muhamad AM]

Hal apa yang jadi prestasi membanggakan, yang pernah diraih anak KBQT?

Tentunya hasil kajian yang menasional seperti land reform yang sempat dikaji oleh anak-anak (itu), dan kebanggaan kami bisa membuat Kota Salatiga menjadi perhatian. Hal ini juga yang membuat Presiden Joko Widodo dua kali datang berkunjung ke resource center KBQT.

Beliau melihat bagaimana proses belajar anak-anak, dan sempat mengimami salat di musala kami. Beliau sangat senang dengan kreativitas dan inovasi yang dilakukan anak muda, sehingga membuat pemerintah memberi perhatian kepada kami.

Saat ini anak didik di KBQT apakah hanya dari Kalibening saja, atau ada yang dari luar kota?

Setelah mulai dikenal karena prestasi dan sudah dipandang, banyak wali murid dari luar kota yang menyekolahkan anak-anaknya di sini. Namun saat kami berganti dari status pendidikan formal ke non-formal, pandangan masyarakat berganti. Dari Kalibening jadi kurang tertarik, justru banyak yang datang dari luar kota. Itu pun karena anaknya ada problem. Misalnya, karena dikeluarkan, karena bingung cari sekolah, dan lain-lain. Bagi saya tidak apa-apa. Saya harus konsisten dan berpegang pada prinsip ini, meskipun nyaris habis muridnya.

Sekitar 35 murid (saat ini) semua dari luar kota. Namun tidak apa-apa. Saat metodologi ini kami pertahankan, konsep berpusat kepada anak, model-model pendidikan yang memerdekakan, membangkitkan kesadaran kritis anak harus kami pertahankan. Pendidikan non-formal tidak lagi melihat gedung maupun fasilitas macam-macam, tapi performanya. Tidak melihat ijazah gurunya, tapi bagaimana guru mendidik.

Apa yang diharapkan KBQT ke depan?

Kami ingin menjadi bagian dan berharap bisa direplikasi di komunitas mana pun yang mesti menyelenggarakan pendidikan berpusat pada anak dan konteks pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan setempat. Dibutuhkan hal ini di kampung mana pun, agar ada sanggar kreatif yang diikuti anak-anak. Meskipun sambil sekolah di lembaga formal. Hal ini harus dilayani dan difasilitasi dalam sanggar kreatif. Sebab, anak tidak hanya membutuhkan ijazah saja, tapi juga memiliki karya. Seperti halnya di Frankfurt, Jerman, yang banyak melahirkan para pemikir besar.

Melihat perkembangan dunia digital, apa yang ingin diwujudkan KBQT terkait tantangan zaman itu?

Sejak awal kami sudah berpikir secara digital. Kami sejak awal sudah membuat pustaka digital dengan judul-judul milenial pada 2004. Saat itu belum ada orang bilang "milenial". Kami sudah buat saat itu. Kami juga tertarik ke depan pada konsep broadcasting dan pengerjaan film. Sebab, dari sana banyak hal-hal yang bisa dipelajari anak, mulai dari persiapan hingga menyajikan karya.

Kontributor : Muhamaad AM

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI