Suara.com - Menimba ilmu di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Kalibening Salatiga, siswa tidak hanya menghadapi buku, menghadap papan tulis, atau mendengarkan ceramah guru selama tujuh jam setiap hari. Namun, pembelajaran kepada anak lebih ditekankan kepada proses qiroah, atau membaca dan menganalisa sesuatu yang ada di sekeliling mereka.
Konsep itulah yang menjadi dasar Bahruddin saat menginisiasi berdirinya KBQT. Menurutnya, pendidikan harus lebih berpusat kepada anak dan melihat konteks kehidupan setempat. Artinya, tidak hanya terpaku kepada bacaan dan buku panduan saja. Hal ini menurutnya bisa membuat anak didik semakin kreatif dan mampu belajar secara efektif.
Suara.com pada Sabtu (15/6/2019) lalu berkesempatan datang langsung ke resource center KBQT yang berada di Jalan R Mas Said Nomor 12 Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Di sana tengah berlangsung halal bi halal, sekaligus musyawarah kelas antara pendamping, wali murid dan anak, untuk menghadapi tahun ajaran baru yang segera dimulai 1 Juli mendatang.
Berikut petikan wawancara Suara.com dengan inisiator KBQT Salatiga, Bahruddin:
Baca Juga: Benarkah Tingkat Pendidikan Berpengaruh Terhadap Risiko Kanker Otak?
Bagaimana sejarah awal KBQT didirikan di Kalibening Salatiga?
Cikal bakalnya dari sebuah serikat tani yang pada tahun 1999 sudah berdiri di Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kantor sekretariatnya di rumah saya (Jalan R Mas Said No 12) yang kini menjadi lokasi Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).
Nama perkumpulan petani itu Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Arti dari qaryah thayyibah sendiri yakni desa yang indah. Bagi kami, paguyuban petani merupakan kelembagaan civil society di level desa. Untuk itu, kami mencoba mengagendakan banyak program, yang muaranya pemberdayaan desa ini menjadi yang mandiri dan berdaya.
Indikatornya, ketika desa menyelenggarakan pendidikan, (harusnya) mereka belajar tentang desanya sendiri. Sebab ini (yang) menjadi problem saat berbicara pemberdayaan desa. Warganya sendiri kalau ada yang pintar, pasti menghilang; makin pintar makin jauh menghilangnya. Ini problem yang mendasar. Ada orang desa sekolah, sukses, langsung menghilang ke Jakarta, ke kota-kota lain, hingga luar negeri. Pulang mudik saja tidak ada urusan dengan pemberdayaan.
Lantas, bagaimana awalnya, dan apa yang Anda lakukan untuk mendirikan KBQT ini?
Baca Juga: Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan
Adanya keinginan kami untuk melakukan pemberdayaan, (maka) perlu set up pendidikan yang berbasis kepada konteks kehidupan setempat. Ini juga semacam kritik atas pendidikan konvensional yang menurut saya membuat anak tercerabut dari konteks kehidupannya. Lebih-lebih saya. Saya memiliki anak yang tamat SD. Bagaimana nanti anak saya? Idealisme saya, harus berbasis di desa.
Lalu saya mengajak tetangga saya yang tamat SD, tamat MI. Ada 30 orang yang saya ajak diskusi. Saya lontarkan gagasan membentuk komunitas belajar ini. Banyak yang bilang "memangnya gampang membuat sekolah?" Umumnya dari mereka tidak bisa menerima, karena sudah disediakan sekolah lanjutan oleh negara.
Oke, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Namun kalau ada 10 orang, saya siap. Ternyata ada 12 orang yang setuju. Oke, lebih dari sepuluh, (maka) kami buat komunitas belajar ini.
Saat itu, dari 12 wali murid ini, banyak yang sudah mendaftarkan anaknya dan diterima di sekolah konvensional. Ada tujuh dari 12 (sudah diterima) di MTs Negeri. Mereka tidak jadi masuk dan belajar di komunitas yang kami dirikan (tahun) 2003. Untung saat itu belum beli seragam, belum bayar uang gedung, sehingga (mereka) bisa tidak jadi masuk MTs, dan masuk ke komunitas belajar yang kami dirikan ini.
Adakah perseorangan atau perusahaan yang tertarik menjadi donatur atau berinvestasi?
Sejauh ini kami mendapat fasilitasi pemerintah lewat koperasi kelurahan maupun Bumdes (badan usaha milik desa). Hal itu sudah cukup bagi kami, sesuai dengan tujuan kami untuk memberdayakan desa lewat pendidikan.
Bagaimana cara masuk, dan biaya apa saja yang harus murid keluarkan untuk belajar di sini?
Wali murid tinggal mendaftarkan putra-putrinya kapan pun untuk masuk di KBQT. Terkait biaya, jadwal, dan lokasi belajar, juga dirembug sejak awal sebelum masuk tahun ajaran baru. Kami juga tidak masalah jika ada murid yang masuk untuk mencoba, lalu keluar.
Status pendidikan di KBQT seperti apa?
Awal-awalnya status KBQT ini formal, yakni SMP Terbuka. Pada 2003 itu, awalnya yang kami tahu status sebagai SMP Terbuka ini bisa terhubung dengan SMP mana saja di Salatiga, dan sekolah-sekolah itu tidak bisa menolak. Hal ini yang membuat wali murid mau menyekolahkan anaknya di komunitas belajar ini.
Anggapan awal kami saat itu, SMP Terbuka bisa terhubung di SMP 1 dan SMP lainnya. Namun ternyata yang ditunjuk pemerintah hanya SMP 10 Salatiga. Untung tahunya setelah komunitas ini terbentuk, sehingga para wali murid tetap menyekolahkan anak mereka di sini saat itu.
Perlu diketahui, Pemerintah Kota Salatiga pada saat itu menyediakan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) dengan menunjuk SMP 10 Salatiga. Belajarnya tidak di sekolah, tapi di kampungnya.
Saat ini (KBQT) sudah setara SMP dan setara SMA dengan status pendidikan non-formal. Secara prinsip, konsep pembelajarannya berpusat kepada anak, yang saya yakini nyaris menjadi model pendidikan di Indonesia. Ke depan, saya rasa sistem pendidikan akan mengadopsi konsep ini. Sebab saat ini yang saya tahu, sedang ada upaya revisi peraturan pemerintah terkait standar nasional pendidikan. Konsep pendidikan ini sudah kami mulai sejak awal berdiri.
Cerita KBQT yang menarik perhatian SBY, hingga dua kali dikunjungi Jokowi, dan kini banyak diminati peserta didik luar kota, baca di laman berikutnya...
Kontributor : Muhamaad AM