Kalau ujaran kebencian lain lagi, makar lain lagi. Kalau cuma ujaran "turunkan Presiden", itu tidak bisa disebut makar. Karena itu kebebasan berekspresi dan berpendapat. Tetapi kalau ada temuan (upaya serangan), perlu digali lebih dalam lagi.
Apakah ada alur yang jelas, bahwa penerapan pasal makar ini lebih banyak bermuatan politis?
Di zaman Orde Baru pasal makar digunakan (secara) politis. Tergantung selera penguasa; kalau ini makar, oh (yang) ini subversif.
Bagaimana menurut Anda penerapan pasal-pasal makar terhadap banyak tokoh oposan, hingga eks Kapolda Metro Jaya, eks Danjen Kopassus, juga dikenakan pasal makar?
Baca Juga: Polri Tak Pernah Sebut Kivlan Zen dan Soenarko Dalang Kerusuhan 22 Mei
Saya belum dengar pasal apa yang dikenakan kepada mereka. Karena pasal makar terdiri dari pasal 104-110 KUHP.
Uji materi pasal makar oleh teman-teman NGO di MK 2017 lalu yang menuntut penghapusan pasal itu kan ditolak. Tapi MK memberikan tafsiran, yaitu setiap percobaan (penyerangan pada penguasa) sudah bisa dikenakan delik. Jadi MK memberikan tafsir baru, (bahwa) percobaan saja sudah bisa dikenakan delik makar. Misalnya sudah ada ditemukan bukti seperti senjata, itu dia bisa kena.
Sebenarnya, siapa sih, atau kelompok apa saja yang bisa (dianggap) melakukan makar?
Jadi berdasarkan tafsir MK, harus ada percobaan penyerangan pada penguasa. Dan polisi sebagai penegak hukum harus yakin dengan temuannya berdasarkan masukan intelijen, sehingga dapat dibuktikan.
Baca Juga: Romo Boni: Toleransi Itu Urusan Hati
Bagaimana menurut Anda tentang pasal-pasal makar ini, apakah perlu direvisi ataukah sudah pas untuk diterapkan?