Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan

Kamis, 13 Juni 2019 | 22:04 WIB
Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan
Peneliti Senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza. [Dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (kanan) berjalan meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5/2019). [Antara/Akbar Nugroho Gumay]
Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (kanan) yang belakangan jadi tersangka dan dikenakan pasal makar, meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5/2019) lalu. [Antara/Akbar Nugroho Gumay]

Kalau di Indonesia, bagaimana sejarah dan konteks politik maupun hukum, sehingga muncul pasal-pasal makar?

Dalam sejarahnya, penggunaan pasal makar tidak seluas seperti sekarang. Waktu era Soekarno dan Hatta, (itu) tidak pakai pasal makar. Penggunaan pasal makar sering dilakukan di era pemerintahan Orde Baru, seperti Permadi (pengamat politik), pernah dijerat pasal makar era Soeharto.

Hal-hal seperti ini, pengunaan pasal makar yang terlalu luas, membuat teman-teman (organisasi masyarakat sipil, YLBHI, ICJR dan lain-lain --Red) melakukan uji materi pasal makar ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017.

Dalam sejarahnya, kasus makar paling banyak terjadi pada era kepemimpinan Presiden siapa?

Baca Juga: Polri Tak Pernah Sebut Kivlan Zen dan Soenarko Dalang Kerusuhan 22 Mei

Penggunaan pasal makar yang banyak terjadi saat Orde Baru, era kepemimpinan Soeharto. Pemerintahan Orde Baru, yang digunakan untuk mengekang orang yang melawannya kalau nggak makar, ya, subversif. Itu pun tergantung hakimnya cerdas atau tidak (memeriksa kasus dan penggunaan pasal).

Saat RIS (Republik Indonesia Serikat, 1950) Sultan Hamid II pernah dijerat pasal makar, tetapi tidak terbukti, padahal dia ketika itu menteri. Di era Megawati juga pernah digunakan pasal makar untuk menjerat aktivis Papua yang mengibarkan bendera OPM.

Jadi, pasal makar ini tidak bisa sembarangan, harus hati-hati menggunakannya.

Setidaknya dalam beberapa tahun ke belakang, semisal sejak tahun 2017, yang marak dipakai itu adalah pasal-pasal ujaran kebencian ataupun penghinaan kepala negara. Tapi menjelang pelaksanaan Pilpres, berubah tren menjadi makar. Bagaimana Anda menilainya?

Penggunaan pasal makar ini tidak bisa serta-merta. Perlu diteliti lebih dalam. Kalau misalnya ada penyelidikan polisi ditemukan keterlibatan sejumlah tokoh dan ditemukan senjata (ancaman terhadap penguasa), maka itu sama artinya pengkhianatan.

Baca Juga: Romo Boni: Toleransi Itu Urusan Hati

Apakah mungkin, perubahan tren dari pemakaian (pasal) ujaran kebencian menjadi makar itu karena soal ujaran kebencian tak begitu "mempan", terutama untuk kaum oposan?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI