Suara.com - Dalam perkembangan berbagai kasus hukum belakangan, yang sebagiannya dituding bernuansa politik karena melibatkan sosok-sosok oposan pemerintah, pasal makar jadi marak terdengar diterapkan aparat terhadap beberapa sosok yang sudah dijadikan tersangka. Sosok seperti Kivlan Zen, hingga mantan Danjen Kopassus dan mantan Kapolda Metro Jaya, termasuk di antaranya.
Sebenarnya, bagaimana penerapan pasal makar ini dalam proses hukum di Indonesia belakangan? Apakah sudah benar, ataukah jangan-jangan ada yang kurang tepat sehingga sesungguhnya perlu dipertimbangkan lagi? Bagaimana pula dengan sejarah penerapan pasal makar, khususnya di Indonesia, selama ini? Apakah memang lebih cenderung berlatar politis, atau bagaimana?
Demi coba menjawab atau menelaah beberapa pertanyaan itu, wartawan Suara.com mewawancarai salah satu peneliti senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza. Berikut petikan wawancara dengannya, yang dilakukan baru-baru ini:
Secara teoritik, apa sebenarnya yang disebut makar?
Baca Juga: Polri Tak Pernah Sebut Kivlan Zen dan Soenarko Dalang Kerusuhan 22 Mei
Makar tak bisa hanya dilihat secara teoritik. Makar sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tindakan serangan terhadap penguasa (Pemerintah). Tetapi serangan itu dalam bentuk tindakan pakai alat atau senjata, tidak bisa hanya pernyataan dalam bentuk kata-kata. Disebut makar harus ada serangan.
Makar diterjemahkan dari kata aanslag, bahasa Belanda yang artinya penyerangan. (Kata) Makar itu berasal dari bahasa Arab yang artinya pengkhianatan.
Misalnya OPM (Organisasi Papua Merdeka) mengibarkan bendera (itu) tidak bisa disebut makar. Serangan verbal tidak bisa dikatakan makar. Yang dikatakan makar adalah serangan bersenjata terhadap penguasa.
Lantas, apa pula aksi-aksi yang bisa dikategorikan makar, kalau berdasarkan sejarah global?
Dalam sejarah global, kudeta yang gagal itu disebut makar. Kalau kudetanya menang, ya sudah, nggak disebut makar. Makar itu pemberontakan; posisinya di mana pemerintah itu diserang. Makar dalam sejarah global terjadi di banyak negara.
Baca Juga: Romo Boni: Toleransi Itu Urusan Hati
Di Amerika disebutnya treason (pengkhianatan), dan high treason buat pejabat yang menerima suap atau korup. Seperti skandal Watergate, itu masuk high treason. Kalau di Indonesia seperti pelengseran Gus Dur; tetapi tidak bisa disebut makar, karena itu masuk pelanggaran konstitusional.