Suara.com - Peristiwa atau contoh tindakan penuh toleransi mungkin tergolong jarang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun juga tidak langka sama sekali. Yang pasti, kendati jarang, cerita soal itu bisa menjadi penawar dahaga dalam hal kerukunan umat, terutama di tengah menguatnya sentimen keberagamaan di Indonesia belakangan ini.
Di antara beberapa kisah tentang toleransi itu, cerita tentang Pastor Bonifasius Abas atau yang akrab dipanggil Romo Boni, mungkin bisa menjadi inspirasi soal betapa kuatnya nilai toleransi yang ada di pinggir kehidupan urban. Tepatnya, itu adalah kisah di mana sang pastor diminta untuk membimbing pasien Muslim yang kondisi sekarat, hingga membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat, juga istigfar.
Bagaimana cerita detail saat Romo Boni menjalani peristiwa itu? Bagaimana pula alasannya hingga akhirnya menjalaninya? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Romo Boni.
Kami dengar Anda punya pengalaman menarik terkait toleransi. Boleh Anda bagikan kisahnya, Romo?
Baca Juga: Kisah Toleransi Romo Boni Bimbing Muslim Ucapkan Syahadat Sebelum Meninggal
Ceritanya, saya diajak menjenguk orang sakit di (RSU) Elisabeth Purwokerto. Sebagai imam, sebagai romo, tugas saya salah satunya adalah menjenguk orang sakit.
Dalam pikiran saya waktu itu adalah umat saya yang sakit. Ternyata ketika sampai, ternyata bukan umat saya. Apalagi saat masuk kamar (ruang perawatan rumah sakit), ternyata diketahui orang Muslim dan dia (pasien) pakai jilbab.
Nah, saya diminta untuk berdoa; (padahal) ada orangtuanya, ada juga temannya. Lalu saya tanya dokter, 'Itu kondisinya bagaimana?'
Dokter kemudian menjawab, 'Romo, dia sakit kritis, dan itu sangat berbahaya, mengancam jiwanya.'
Tapi, gadis itu waktu itu dalam kondisi sadar. Sehingga saya jadi berpikir panjang dari kondisi itu. Yang saya pikirkan, saya harus berdoa apa? Saya harus menuntun apa? Padahal dia sendiri saat itu membutuhkan bantuan.
Baca Juga: Asfinawati: Perusuh pun Kalau Sudah Ditangkap, Tak Boleh Alami Kekerasan
Dalam kondisi dilema seperti itu, apa yang kemudian Anda lakukan?
Waktu itu (akhirnya) tetap saya dampingi dia, dan katakan, 'Mba, istigfar Mba. Istigfar...' Dia yang (saat itu) masih sadar, lalu menjawab, 'Iya Pak, iya Pak.'
Terus saya menuntun dia mengucapkan syahadat itu. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah.
Dan itu saya ulang. Saya bantu dia perlahan-lahan, dan akhirnya dia sempurna mengucapkannya.
Luar biasa itu Romo, toleransi Anda (itu). Namun, dari hati, adakah beban pikiran dari Anda (terhadap hal itu)?
Ya, saya merasa ini salah sebagai seorang yang bukan Muslim. Sebagai seorang imam (gereja), saya tahu bahwa itu perbuatan yang salah.
Tetapi sekali lagi saya katakan, salah atau benar perbuatan saya, ini saya lakukan atas nama toleransi. Ini saya lakukan demi menyelamatkan jiwa pasien gadis ini.
Saya ingin, ketika pun dia harus meninggal, itu ingin dia (yaitu) bersyahadat; (dia) ingin meninggal dengan memegang teguh keimanannya dia.
Lantas kemudian bagaimana perkembangan kondisi pasien? Bimbingan apa lagi yang kemudian Anda lakukan?
Lalu saya pikir, saya sudah doakan dia, dan waktu itu saya mengingatkan lagi, 'Mba, kamu yang kuat ya. Kamu pasrah kepada Gusti Allah.'
Sejenak, saya menuju ke ruang perawat. Kemudian (pihak RS) bercerita mengenai riwayat dan perkembangan kondisi sakit pasien.
Beberapa waktu kemudian, perawatnya dipanggil oleh pihak keluarga pasien. Saat itu diketahui pasien sudah dalam keadaan tidak sadar. Dan dalam beberapa waktu kemudian, dia meninggal.
Maka saya berpikir, Tuhan memberikan kesempatan kepadanya untuk bertaubat, dengan sempat masih sadar sebelum meninggal. Dan saya juga merasa senang, karena ikut membantu orang itu untuk bertaubat, sehingga dia meninggal dengan menghidupi imannya.
Sepanjang hidup, apakah ada lagi pengalaman berarti yang berkaitan dengan toleransi yang Anda alami?
Pengalaman yang menguji sikap toleransi saya (sebelumnya) pernah terjadi juga. Karena dalam beberapa kali pelayanan, saya ditugaskan mendampingi orang sakit.
Tempatnya di Rumah Sakit (RS) Emanuel, Purwareja Klampok, Banjarnegara. Kondisinya hampir sama. Seorang pasien sudah kritis, namun masih bisa berucap.
Boleh diceritakan, pendampingan apa yang Anda berikan saat itu?
Waktu itu, pihak keluarga panik dan menyerahkan kepada saya untuk mendampingi. Saya sudah sampaikan, bahwa saya itu (seorang) romo.
Kalau (pasien sudah) tidak bisa ngomong, saya akan berdoa dalam hati dengan cara saya sendiri. Tapi karena masih sadar, akhirnya saya bantu ucapkan syahadat.
Satu pertanyaan penting untuk Anda, pelajaran apa yang Anda dapat dari pengalaman itu?
Bagi saya, itu perwujudan toleransi. Karena toleransi itu urusan hati. Toleransi harus bisa terjun langsung.
Baca laman berikutnya, di mana Romo Boni bertutur soal pandangannya terhadap sosok Gus Dur, hingga toleransi dan kemajemukan di Indonesia...
Kontributor : Teguh Lumbiria
Nah, bicara mengenai toleransi, ini erat kaitannya dengan pluralisme dan kemajemukan di Indonesia. Dan salah satu tokoh yang mengedepankan itu adalah KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Seperti apa Anda memandang seorang Gus Dur dan pluralisme?
Saya itu termasuk orang yang simpati kepada Gus Dur, dan saya merupakan orang yang menokohkan Gus Dur sebagai tokoh yang baik menurut saya.
Maka, ketika kita berhadapan dengan yang lain, kalau kita tidak pernah membuka diri, maka kita akan sulit untuk bisa saling menghargai.
Kalau kita membuka diri dengan orang lain, maka kita bisa saling menerima. Tidak hanya baiknya, tidak hanya cocoknya saja, tapi menerima perbedaannya.
Menurut Anda, apa yang khas dari diri Gus Dur dalam hal memaknai perbedaan dan kemajemukan?
Ketika ada clash (masalah), Gus Dur itu orang yang memandang tidak perlu diperbesar. Jadi Presiden saja, ketika ada clash, jawabnya 'gitu saja kok repot.'
Jadi, memang tidak perlu saling direpotkan dengan perbedaan. Mari kita saling introspeksi diri, mari kita selesaikan bagaimana baiknya. Karena semua itu tujuannya untuk kedamaian. Kalau tidak pernah berdamai, maka hidup akan berisi dengan tekanan.
Bagi saya, Gus Dur itu merupakan sosok, tokoh yang betul-betul punya hati, dan mau terbuka dengan siapa saja.
Satu hal, Romo Boni, bagaimana penilaian Anda mengenai toleransi dari masyarakat Majenang dan sekitarnya?
Saya baru satu tahun tugas di Majenang. Sebelumnya di Purwokerto, Makassar, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banjarnegara. Dan saya melihat, teman teman secara umum, ya di Majenang, masyarakatnya cukup terbuka.
Terkait dengan itu, apakah ada tolok ukur dari kegiatan sarasehan yang baru saja dilaksanakan kemarin itu?
Dengan kegiatan kemarin (acara bertajuk 'Sarasehan dan Buka Bersama: Memaknai Kesalehan Sosial di Bulan Suci Ramadan' yang diadakan di Gereja Santa Theresia, Majenang, Cilacap, 27 Mei 2019 --Red), kan (melibatkan) bukan hanya Katolik dan Gusdurian. Tapi juga dengan NU, Muhammadiyah, lalu dengan gereja Kristen lain (yang) kita undang. Mereka hadir juga.
Dengan melihat itu, saya merasa bahwa orang di Majenang itu terbuka dan betul-betul punya hati. Dan saya rasa (mereka) sangat mendukung soal toleransi, soal kerja sama.
Dan yang istimewa, kemarin (peserta) membaur langsung. Orang tidak pusing, apakah kamu NU, kamu Muhammadiyah, atau saya Katolik. Orang semuanya membaur, jadi sama-sama duduk bareng. Ini Indonesia banget. Dan saya rasa soal toleransi di Majenang cukup berkembang.
Lantas, secara umum, bagaimana Anda memaknai kemajemukan di Indonesia?
Terkait kemajemukan di Indonesia, terutama mengenai agama, itu seperti orang naik gunung. Misal, kita naik lewat jalur utara, dan ada yang dari jalur selatan.
Kita tidak bisa menyalahkan orang yang naik gunung lewat jalan lain. Tapi, agama mengajarkan kita untuk setia dengan jalan yang kita pilih. Tentu ada perbedaan, tapi perbedaan ini bukan lantas membuat kita bertarung, tapi (harusnya) saling menerima dan memaafkan.
Menurut saya, agama ini (adalah) jalan yang menuntun kita menuju Tuhan. Maka, yang paling pokok bukan bagaimana membandingkan dengan yang lain, tapi bagaimana kita setia pada jalan yang kita pilih.
Kontributor : Teguh Lumbiria