Karena yang menarik, polisi sudah mengatakan setidaknya di tiga kesempatan, ada dua media yang saya baca memberitakan itu, dan secara langsung polisi (mengatakan) bahwa massa aksi yang damai itu sudah pulang (malam itu), dan berganti. Nah, dengan begitu kan analisa kita jadi tidak sederhana. Siapa saja bisa mengerahkan massa itu. Menurut saya, terlalu berspekulasi langsung menuduh (dari kelompok pendukung capres) 02 atau siapa pun. Harus ada investigasi yang serius.
Para perusuh itu masih berhak atas bantuan hukum atau tidak? Mereka itu sebenarnya tergolong korban atau pelaku?
Jadi begini. Mereka bisa disebut korban dan pelaku di satu kesempatan yang sama. Misalnya begini, seorang tersangka pencurian, kalau dia disiksa di tahanan polisi atau dipukul secara tidak proporsional (yang) tidak diperlukan ketika ditangkap, dia menjadi korban penyiksaan. Dan Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti-penyiksaan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Bukan berarti (jika) posisi dia sebagai pelaku pencurian membuat dia tidak mungkin menjadi korban. Pencuriannya tetap diusut, tetapi penyiksaannya juga harus diusut.
Nah, yang saya khawatirkan adalah kalau kita tidak mampu membedakan itu, dan kita menganggap orang yang mencuri itu boleh kita bunuh atau boleh kita pukuli. Sebelumnya kan ada peristiwa seperti ini, ada kasus orang yang dibakar karena mencuri toa masjid. Ini logika yang harus dihentikan. Ini logika hukum yang mengerikan. Karena pertama, yang menentukan dia bersalah atau tidak kan di pengadilan. Kedua, hakim yang menentukan dia salah pun bukan hakim yang mau menghukum, tapi (untuk) dikirim ke lembaga pemasyarakatan. Jadi sebenarnya, orang yang menyidik tidak menuntut, orang yang mengadili tidak menyidik, dan orang yang menghukum tidak menghakimi.
Baca Juga: Ini Senjata Karabin Perusuh 22 Mei Sedianya untuk Bunuh 4 Pejabat Negara
Jadi, kalau sekarang polisi memukul orang yang sudah ditangkap tak berdaya, itu semacam penghukuman atas "kamu sudah ikut aksi" atau "kamu rusuh". Itu polisi sudah bertindak mulai dari menangkap, menyidik, (sekaligus) menghukum. Itu berbahaya sekali buat sistem hukum. Yang YLBHI khawatirkan dari hal ini, publik menjadi tidak percaya lagi pada penegakan hukum. Itu berbahaya sekali.
Lalu, siapa kira-kira yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan 22 Mei?
Pertama, ada macam-macam level. Di level kekerasan yang sangat masif, menimpa banyak orang, bukan hanya orang yang ikut aksi, tapi bahkan orang yang enggak ikut kaya wartawan. Itu kan dia menurut Undang-Undang Pers, menghalangi kerja jurnalistik itu pidana, lho. Dengan itu, polisi-polisi yang merebut kamera wartawan, memukul dan menghalangi, itu bisa kena pidana sebetulnya, kalau kita mau menegakkan hukum secara berkeadilan.
Kedua, menurut saya sih, kita jangan sampai lupa bahwa ini awalnya adalah pertarungan elite politik. Jadi, di luar segala macam ini, kedua elite politik ini harus memikirkan apa yang sudah mereka perbuat untuk menyumbangkan kesemrawutan ini.
Tetapi untuk kasus-kasus kekerasan, ya, pemerintah harus bertanggung jawab, (bahwa) ternyata polisi belum mampu bertindak profesional dalam pengamanan aksi massa. Kalau dia profesional, dia mengikuti undang-undang.
Baca Juga: Wahyudi Djafar: Data Pribadi Seseorang Tidak Boleh Dibuka Semena-mena
Jadi, polisi Indonesia pada suatu masa itu sudah memiliki Perkap (Peraturan Kapolri) tentang Hak Asasi Manusia, penggunaan kekuatan, dan itu ada sebuah lampiran yang mengatakan (bahwa) mereka harus melaporkan tindakan pengamanan yang mereka lakukan. Harusnya itu diaudit baik oleh Kapolri, Presiden, DPR, Komnas HAM, Ombudsman, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas Perempuan. Harus ada akuntabilitas. Tapi Indonesia memang minim akuntabilitas. Kasus-kasus YLBHI juga menunjukkan yang sama. Misalnya kasus aksi May Day, kan juga mengalami kekerasan. Jadi ini sebuah pola sebelumnya yang publik juga bisa lihat.