Soal lokasi, apa saja kriteria untuk menentukan lokasi baru Ibu Kota Negara?
Untuk menentukan lokasi yang tepat, maka langkah paling dasar yang harus dilakukan adalah menyusun atau menetapkan kriteria atau indikator lokasi ibu kota. Berbeda dengan wacana sebelumnya, sebagai geograf pengembangan wilayah, saya menggunakan perspektif geografi dengan pisau analisis geografis. Pisau analisis yang kita gunakan adalah analisis geopolitik, geostrategis, geoekonomi, dan geoekologi. Lokasi calon ibu kota negara terpilih harus memenuhi kriteria kelaikan tersebut. Kriteria pertama dan kedua berada pada tingkat makro yang sifatnya lebih political decision, sedangkan kriteria ketiga dan keempat digunakan pada tingkat meso dan mikro yang bersifat technical decision.
Kriteria geopolitik terdiri dari komponen perwujudan cita-cita politik bangsa akan pentingnya NKRI dan Wawasan Nusantara (integrasi bangsa), stabilitas politik dan Hankamnas, mendorong keseimbangan pembangunan, mengurangi ketimpangan antar-wilayah, realisasi kebijakan pembangunan dan pinggiran, (serta) menjamin rasa keadilan sosial dan spasial.
Kriteria geostrategis terdiri dari nilai efisiensi lokasi (aksesibilitas dan konektivitas). Jarak terpendek, pemusatan (titik berat) arus mobilitas, keterbukaan wilayah posisi terhadap sistem kemaritiman (jalur laut), responsif terhadap perubahan sistem transportasi global dan strategi pertahanan dan keamanan.
Baca Juga: Sutrisna Wibawa: Media Sosial untuk Terapkan Kepemimpinan Partisipatif
Kriteria geoekonomi, terdiri atas unsur kemampuan menjawab tumbuhnya pusat pertumbuhan baru, meningkatkan nilai daya saing ekonomi (efisiensi lokasi dan sistem logistik produksi), konektivitas terhadap pusat-pusat ekonomi dunia (jalur perdagangan), mengurangi kesenjangan ekonomi antar-wilayah (pemerataan), integrasi ekonomi nasional.
Kriteria geoekologi berhubungan dengan unsur daya dukung lingkungan, kemampuan sumber daya lahan dan sumber daya air, ketersediaan ruang (budidaya), bukan kawasan lindung, keamanan dari ancaman bencana, tekanan penduduk, dan risiko kerusakan lingkungan.
Setelah ditentukan kriteria-kriteria di atas, kita masuk tahap analisis. Dalam kajian dan teori lokasi, terdapat dua tingkatan analisis yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian lokasi, yaitu situation and site selection. Analisis situation bersifat lingkungan makro, mencakup analisis lingkungan Indonesia. Site selection bersifat analisis meso atau mikro. Analisis meso dapat dilakukan sampai level kabupaten, sedangkan analisis mikro terkait dengan tinjauan kelaikan, baik yang sifatnya teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan, serta pembiayaan dan kelembagaan. Selanjutnya, apa yang kita sampaikan dalam diskusi ini lebih pada analisis makro dan meso dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Jadi, di mana lokasi yang memenuhi kriteria tersebut?
Pada analisis tingkat makro, khususnya tinjauan geopolitik dan geostrategis, saya telah mengeluarkan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera dari lokasi calon ibu kota baru. Demikian pula dengan Pulau Papua dan gugusan Kepulauan Maluku serta gugusan Pulau Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0
Selain faktor geostrategis dan geoekonomi rendah, juga dipertimbangkan risiko geoekologi, khususnya kerentanan kebencanaan yang tinggi. Karena faktor geoekologi ini pula yang menyebabkan sebagian besar wilayah di Pulau Sulawesi sisi timur tidak menarik, meskipun secara geostrategis memiliki daya tarik yang besar.
Dalam pandangan geomaritim, koridor laut di antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi paling strategis, sehingga wilayah-wilayah yang berhadapan dengan koridor laut ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) ini memiliki potensi tinggi sebagai calon ibu kota. Wilayah-wilayah ini merupakan pintu gerbang aliran logistik bagi daerah-daerah di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi.
Pada jalur ini juga terdapat kota-kota besar seperti Balikpapan, Samarinda, Palu, Makassar, dan Banjarmasin, selain juga keberadaan beberapa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Aktivasi jalur ALKI melalui peletakan calon ibu kota ini diharapkan juga dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan geoekonomi kawasan tersebut, termasuk pengembangan KEK dan Jalur Kawasan Perbatasan di bagian hinterland.
Pada analisis situation ini, Pulau Kalimantan dan sebagian Sulawesi sisi barat memiliki potensi besar untuk diadu atau dibandingkan keunggulan dan kelemahannya pada tingkat meso, bahkan sampai site selection.
Untuk kriteria geopolitik lokal, hampir semua provinsi menginginkan dirinya untuk menjadi lokasi terpilih. Jadi tidak ada persoalan. Pertimbangan geostrategis menempatkan provinsi Kalimantan Barat memiliki nilai terendah, karena posisi geografinya yang kurang strategis.
Meskipun memiliki potensi geoekonomi besar dan jalur laut perdagangan yang cukup strategis, namun untuk kriteria ibu kota sebagai pusat pelayanan yang termudah daya jangkau dan aksesibilitas, menyebabkan kami harus mengeluarkan Kalimantan Barat. Demikian pula posisi Kalimantan Utara yang nilai geostrategis dan geoekonominya terendah, juga dieliminasi.
Bagaimana dengan wilayah bagian barat Sulawesi, khususnya di Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah? Meskipun nilai geostrategisnya lumayan tinggi, sisi kelemahan utama terletak pada aspek geoekologi, terkait dengan morfologi wilayah (perbukitan-pegunungan). Ketersediaan ruang, dengan jalur kerawanan bencana yang tinggi, terlebih dari sisi geoekonomi daya tariknya lebih rendah dibanding provinsi di Kalimantan.
Ingat, bandul pemberat perekonomian dan demografis Indonesia utamanya masih di Pulau Jawa. Kedekatan dan akses yang baik dengan Pulau Jawa menjadi pertimbangan yang tidak bisa diabaikan. Hasil analisis gravitasi yang kita lakukan menunjukkan bahwa kekuatan daya tarik ekonomi dan demografi Jawa tidak mampu dilawan. Secara mekanisme pasar, patok pemberat Indonesia ada di Jawa. Hanya keputusan politik yang mampu memindahkan semua orientasi dari Pulau Jawa.
Akhirnya, pertandingan akhir adalah pilihan atas tiga provinsi di Kalimantan yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tinjauan geopolitik tiga wilayah (ini) relatif lebih seimbang. Ketiganya menginginkan dijadikan calon ibu kota.
Yang menarik dicermati adalah daya terima masyarakat dan peluang munculnya potensi konflik, di mana hal ini dapat dilihat dari sistem keterbukaan dan heterogenitas yang terdapat di tiga provinsi ini. Kalimantan Timur memiliki keunggulan tertinggi pada sistem masyarakat yang heterogen dan daya terima yang tinggi tentang berbagi terhadap komunitas lain. Berikutnya Kalimantan Selatan, dan terakhir yang terendah adalah Kalimantan Tengah.
Berita tentang berbagai macam syarat dan permintaan khusus yang diajukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah menjadi indikasi persoalan sosial yang rumit ke depannya. Keunggulan utama Kalimantan Tengah adalah posisi yang paling strategis, posisi centrum geografis, jarak terdekat dari seluruh penjuru tanah air, dengan suplai sumber daya lahan yang luas.
Namun, kelemahan utama Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya, adalah posisi geografis yang berada di tengah daratan dan tidak memiliki akses pantai sehingga tergolong wilayah "tertutup". (Ini) Karena tidak memiliki akses langsung dengan laut dan jalur maritim yang sangat vital bagi perkembangan wilayah.
Sebenarnya Kalimantan Tengah dapat mengajukan wilayah kabupatennya yang memiliki pantai, namun kesemuanya terkendala kriteria geoekologi khususnya kersediaan dan kemampuan lahan yang rendah. Sebagian (adalah) area gambut yang dilindungi, dan jika dikembangkan menjadi perkotaan membutuhkan rekayasa dan biaya yang teramat tinggi.
Secara geoekonomi, lokasi ibu kota di bagian dalam tidak menguntungkan dan tidak strategis, mengingat jalur logistik terbesar ada di jalur laut. Selain itu juga berlawanan dengan fakta wilayah kepulauan Indonesia dan kehendak politik untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Meskipun memiliki modal sejarah yang kuat, karena pernah disebut oleh Presiden Soekarno sebagai calon ibu kota, tampaknya Kalimantan Tengah memiliki nilai kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan dua kompetitor lainnya, yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Lalu, pilih mana antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur? Dan di mana tepatnya?
Karena wilayahnya yang relatif terbuka, menyebabkan masyarakat di dua wilayah ini relatif lebih terbuka dan heterogen dibandingkan Kalimantan Tengah. Selain itu, ada sejarah panjang tentang hubungannya dengan wilayah luar dengan daya terima yang cukup besar, di samping konflik sosial juga relatif rendah. Untuk menilai di antara keduanya, analisisnya harus diturunkan pada skala meso yaitu kabupaten, karena tidak semua kabupaten ini dianggap cukup mampu menyediakan lahan yang diperlukan untuk calon ibu kota.
Penilai utamanya adalah posisi geostrategis dan geoekonomi, mengingat kondisi geopolitik dan geoekologinya relatif sama. Pertimbangan geostrategis dan geoekonomi berpusat pada posisi wilayah terhadap Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang merupakan poros dan koridor yang menghubungkan pusat ekonomi Indonesia (Jawa) dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara, bahkan ke laut internasional. Dengan demikian, saya akan keluarkan kabupaten-kabupaten di dua provinsi tersebut yang tidak berhadapan dengan jalur laut ALKI II.
Konsekuensinya, pilihan kian menyempit pada kabupaten-kabupaten tertentu, yaitu Kabupaten Kota Baru (Kalimantan Selatan) dan Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur). Dan di antara tiga kabupaten tersebut, jika ditimbang dengan empat kriteria geografis, maka pilihannya adalah Kabupaten Kota Baru, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Jadi, alternatifnya tiga tempat itu?
Belum. Ini masih kajian makro. Tahap selanjutnya adalah kajian yang lebih detail pada tingkat site selection, termasuk tingkat kelayakan detail teknik, sosial, ekonomi, lingkungan, pembiayaan, dan seterusnya.
Selain empat perspektif yang telah dikemukakan sebelumnya (geopolitik, geostra, geoekonomi dan geoekologi), pada kajian tingkat kedetailan seperti ini sangat banyak sekali instrumen dan metode dalam ilmu geografi yang dapat digunakan. Di antaranya analisis geologi, geomorfologi, kebencanaan, sumber daya lahan, kemampuan dan kesesuaian lahan, hidrologi, sumber daya air, demografi, geografi ekonomi, perkotaan, penginderaan jauh, perpetaan, sistem informasi geografis, dan tentu saja aspek manajerial terkait dengan perencanaan pengembangan wilayah.
Kalau Anda menanyakan where, di mana, panggillah seorang geograf karena ia lahir untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Saya membatasi diri pada tinjauan geografis terhadap rencana, sehingga tidak memperbincangkan peluang implementasi dan aspek pembiayaan yang banyak diperbincangkan di media.
Bagaimana menjawab kekhawatiran bahwa pemindahan Ibu Kota RI ke Kalimantan akan merusak lingkungan di sana?
Kalau orang menulis "nanti akan merusak Kalimantan", Kalimantan itu kan sebenarnya sudah rusak. Kalimantan itu kalau Anda lihat di citra satelit, itu sudah bukaan semua. Sudah open space. Statusnya hutan, tapi sebenarnya sudah enggak ada hutannya.
Jadi menurut saya, pasti punya risiko lah. Namanya juga membangun kota baru, pasti ada risikonya. Karena built-up area makin banyak, resapan makin berkurang. Kemudian kalau daerah sudah sangat berkurang (resapannya), banjir (berpotensi datang) biasanya.
Tapi ini kan daerah baru yang harusnya bisa diset lingkungannya lebih bagus. Karena menata sesuatu yang sudah berkembang seperti Jakarta, dengan menata daerah baru, itu kan mestinya lebih bisa terencana, lebih bagus. Harapan saya, desain ibu kota ini bisa mengalahkan Putrajaya di Malaysia.
Desainlah yang (penuh) green building, betul-betul yang green dan nyaman. Apalagi kalau tadi ekspektasi saya, di belakangnya itu hinterland-nya adalah yang smart city, hi-tech, itu harus kompatibel. Jadi benar-benar smart and green.
Dampaknya bisa diantisipasi lah untuk sebuah kawasan baru, dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam yang luar biasa besar. Sangat bisa di-manage. Perubahan yang paling tampak, kalau bangun perumahan atau apa pun, itu berkurangnya resapan. Kebetulan, curah hujan di Kalimantan, apalagi di Khatulistiwa, itu curah hujannya cukup. Dan saya kira, (dengan) rekayasa sipil bisa lah. Buat saya enggak masalah.
***
Lutfi --atau yang bernama lengkap Dr. Lutfi Muta'ali S.Si, MSP-- saat ini menjabat atau bertugas di Fakultas Geografi UGM. Lelaki kelahiran Bojonegoro, 4 April 1969, ini dikenal memiliki bidang spesialisasi antara lain dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan, hingga Ekonomi Wilayah.
Alumnus S1 UGM yang menyelesaikan S2 di ITB, ini meraih gelar doktornya di Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 2005 di bidang ilmu Ekonomi Pembangunan, dengan judul disertasi "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Peran Sektor Pertanian dan Hubungannya Dengan Pembangunan Wilayah di Indonesia (1973-2003)". Hingga saat ini, ia tercatat menjadi anggota di Ikatan Geografiwan Indonesia (IGI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), serta di Urban and Regional Development Institute (URDI).
Selain sederet penelitian yang sudah dijalani, baik sebagai anggota maupun Ketua Tim, juga tulisan hasil kajian di berbagai jurnal dan majalah, Lutfi Mutaali tercatat sudah menulis setidaknya belasan buku. Beberapa di antaranya berjudul Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah (2012), Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Resiko Bencana (2013), Pengembangan Wilayah Tertinggal (2014), Pengelolaan Wilayah Perbatasan NKRI (2014), hingga Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi (2016), yang kesemuanya diterbitkan UGM.
Kontributor : Sri Handayani