Kalau hobi Anda sendiri apa?
Saya lebih banyak generalist, tidak terlalu fokus tertentu. Saya kalau olahraga banyak bersepeda. Di waktu luang saya banyak menulis. Tulisan saya banyak kaitannya dengan karya ilmiah, misalnya artikel. Saya enggak bisa fiksi. Jadi lebih ke data, riset, dan sebagainya. Cuma, kadang-kadang terhambat waktu. Kadang saya menargetkan satu bulan satu tulisan, tapi belum tentu bisa.
Anda juga sering tampil dalam seni pertunjukan. Sejak kapan senang dengan kesenian?
Sejak awal sudah. Nggamel (memainkan gamelan) sudah sejak kecil. Tapi tidak terlalu menonjol. Senang saja, untuk apresiasi.
Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0
Apresiasi seni itu menurut saya dengan terjun langsung di dalamnya. Tidak bisa hanya mengamati. Karena itu, Dies Natalis UNY ke-55 nanti ada kegiatan namanya UNY Njathil, Festival Jathilan. Saya melibatkan mahasiswa, dosen, pimpinan, supaya mengapresiasi langsung. Jadi tidak hanya mengamati. Bagaimana sih rasanya menari?
Tanggal 2 Mei setelah upacara, kami langsung menari. Paling tidak ada 3.500 penari dari UNY dan luar; dari grup-grup (jathilan) kita undang untuk njathil bersama. Itu kan apresiasi langsung. Saya merasakan, apresiasi itu timbul jika kita melakukan. Kalau hanya mengamati, hanya senyum-senyum saja.
Seni itu penting untuk menyeimbangkan antara otak kanan dan otak kiri. Ini harus seiring. Tidak boleh melulu ilmu terus.
UNY sering menampilkan seni tradisional seperti jathilan, ketoprak, wayang, dan sebagainya. Sementara kampus lain lebih sering menampilkan budaya pop. Apa ingin membentuk style tersendiri?
Kami ingin leading in character education. Karakter itu bisa dikembangkan lewat seni. Itu kan membentuk jiwa. Jadi penanaman karakter jangan dijadikan hafalan. Kan jiwa, nilai kehalusan, kejujuran, tanggung jawab, itu kan ada di seni semua. Misalnya ketika diberi peran tokoh A, dia kan harus berlatih, diberi tanggung jawab, harus jujur. Karakter itu kita bangun langsung dari aktivitas.
Baca Juga: Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks
Seni tradisional seperti wayang, (itu) penuh pendidikan karakter. Kesenian tradisional pada umumnya mengandung pertentangan antara baik dan buruk. Kalau buruk kan biasanya digambarkan di Rahwana, kemudian baik itu di Ksatria. Selalu pertentangan itu. Dan cerita itu selalu berakhir dengan cerita bahwa yang buruk akan tertutup. Kemenangan itu selalu ada di sisi yang baik. Selalu begitu kalau kita amati. Saya kira, peneliti-peneliti asing pun tertarik pada kesenian tradisional karena itu.