Perjalanan karier Anda sampai bisa jadi Rektor UNY seperti apa?
Saya anak desa. Bapak saya guru, ibu saya pedagang. Oleh karena itu saya punya dua jiwa, jiwa enterpreneurship dan jiwa guru.
Saya dari pelosok di Sokoliman, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul. Itu adalah satu desa yang berbatasan dengan hutan milik negara. Ketika sekolah, saya berjalan kaki sekitar 4-5 kilometer. Berangkat jam 05.00 WIB, jam 06.30 WIB baru sampai sekolah. Seiring dengan itu, saya dibelikan sepeda. SLTA saya di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Wonosari, saya mulai kos. (Kuliah) S1 saya IKIP Yogyakarta, S2 di IKIP Jakarta, dan S3 di Filsafat UGM.
Saya meniti karier dari bawah, tidak meloncat. Saya mulai dari tim-tim adhoc dan satgas di bidang kemahasiswaan, kemudian administrasi umum keuangan. Saya pernah menjadi ketua jurusan, wakil dekan, dan wakil rektor II. Kemudian saya ke Jakarta membantu Pak Menteri sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa). Terakhir saya kembali ke kampus diberi amanah sebagai rektor.
Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0
Anda berasal dari jurusan Bahasa Jawa. Ada anggapan sekarang pakar Bahasa Jawa sedikit sekali. Bagaimana pendapat Anda?
Sebenarnya dengan adanya S1 Pendidikan Bahasa Jawa dan S1 non-pendidikan atau Sastra Jawa, ada S2 dan S3, sekarang relatif banyak lah. Penelitian-penilitian banyak dilakukan, naskah-naskah lama banyak diunggah.
Di UNY ada 6 profesor dalam bidang Bahasa Jawa. Di universitas lain juga banyak. Mahasiswa kami juga banyak, per angkatan ada 120 orang. Dan anak-anak sekarang menurut saya, karena input bagus, menghasilkan output yang bagus juga. Karena sejak awal memang memilih (belajar Bahasa Jawa). Karena apa? Minat Bahasa Jawa itu cukup tinggi juga.
Kami banyak mengkaji naskah-naskah yang terkait pendidikan karakter. Disertasi saya sendiri tentang pendidikan karakter dalam Serat Centhini. Dan itu banyak hal yang bisa kita kaji dari naskah-naskah lama. Saya kebetulan melihatnya dari sisi filsafat. Filsafat itu kan mencari makna yang terdalam, sehingga hidup dengan kebijakan dan nilai kemanusiaan. Itu kan yang dicari di filsafat.
Kalau dalam filsafat Jawa itu kan ada dua. Sangkan paraning dumadi; asal-usul dari mana, kemudian bagaimana berkembang. Kemudian manunggaling kawula gusti atau kesempurnaan. Jadi hidup ini sejak awal sudah dilihat asalnya dari mana, nanti kembali ke Tuhan. Kan gitu di filsafat Jawa. Karena itu filsafat Jawa banyak upacara. Jadi kalau sudah hamil, empat bulan diperingati, tujuh bulan diperingati. Itu kan wujud syukur. Itu kan simbol-simbol pendidikan karakter. Kemudian sampai lahir, itu juga penuh upacara. Itu sebenarnya simbol-simbol bagaimana nenek moyang itu mendidik kita.
Baca Juga: Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks
Kemudian, baru saja kan ada simposium internasional di Keraton Yogyakarta. Itu juga bagian dari mengangkat nilai-nilai dulu yang mungkin masih relevan dengan era sekarang. Itu kan dikaji mana yang relevan dengan sekarang. Kalau dulu orang harus ke Belanda, saya kira sekarang enggak. Sekarang banyak ahli di sini. Memang naskah kita, karena dijajah Belanda, kan banyak di sana, (juga) banyak di Inggris. Bahkan naskah keraton yang kembali ke keraton baru 75, itu pun baru dalam bentuk microcopy. Jadi yang lain masih di Inggris dan Belanda.