Kedua, partisipatif. Civitas akademika harus bisa membangun bersama, sehingga saya berusaha agar semua keputusan tidak dibuat dengan prinsip top down, tapi bottom up. Bottom up dengan top down itu kita satukan di tengah, sehingga semua keputusan menjadi milik bersama. Pola pikir saya, jika satu keputusan itu diambil dengan bottom up dan top down di tengah-tengah, komitmen untuk menjalankan akan tinggi karena merasa memiliki.
Ketiga, kolegial. Saya tidak menganggap saya di atas. Dengan dosen saya menganggap sama (sejajar). Bahkan, dengan mahasiswa pun, saya juga tidak menempatkan diri di atas. Saya mendekati mahasiswa dengan era situasi anak muda.
Pandangan Anda tentang pendidikan di Indonesia, bagaimana?
Terus terang, pemerintah sudah memberikan perhatian luar biasa untuk pendidikan di Indonesia. Namun belum bisa menghasilkan sesuai harapan. Buktinya apa? Di dunia kan ada Program for International Student Assessment (PISA). Itu mengukur kemampuan anak-anak di seluruh dunia dari sisi matematika dan sains. Posisi Indonesia ada di peringkat 10 dari bawah, dari 72 negara. Jadi, masih memprihatinkan. Pemerintah terus memacu dengan memberikan tunjangan prestasi guru, program pelatihan, dan sebagainya. Tapi, belum berhasil dengan baik.
Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0
Tugas guru menghadapi dua tantangan ke depan, yaitu mentransformasikan atau mengubah nilai dan mentransfer ilmu. Saya selalu sampaikan, keduanya harus dilakukan. Jangan transfer ilmu saja. Transfer ilmu akan didukung oleh nilai-nilai, misalnya tanggung jawab, etos kerja, motivasi berprestasi, dan lain-lain. Dua ini harus berjalan seiring.
Ke depan tantangannya luar biasa. Karena kita ada di era yang sedang tidak menentu, non-linier, tidak bisa diprediksi. Maka dari itu, saya usulkan agar kurikulum kita harus dinamis. Jangan sampai lima tahun baru ganti. Harus menyesuaikan. Paling tidak, substansi pembelajaran harus disesuaikan dengan masa kini. Buku-buku otomatis harus update. Tugas guru adalah untuk meng-update terus.
Tapi salah satu yang sering dikeluhkan kan perubahan kurikulum? Kenapa (malah) mengusulkan kurikulum dinamis?
Dalam kurikulum dinamis, sekolah diberi kewenangan. Tidak lagi apa-apa dari atas, tapi desentralisasi. Nasional hanya mengatur pokok-pokok saja, sedangkan sekolah bisa mengembangkan keilmuan mutakhir. Jadi guru-guru, jangan apa-apa minta petunjuk. Harus secara inisiatif mengembangkan. Di era sekarang, kalau semua minta petunjuk, kita ketinggalan. Yang lain sudah lari, kita masih minta petunjuk.
Kurikulum di UNY juga dinamis. Kalau ada perubahan, kami segera menyesuaikan. Untuk antisipasi ke depan, ada kurikulum yang berisi mata kuliah antar program studi di dalam satu fakultas, lalu antar fakultas. Untuk membentuk kemampuan umum, supaya memiliki fleksibilitas dan adaptif. Jadi jangan fokus di bidangnya saja, harus ada pengetahuan umum yang fleksibel dan mengadaptasi.
Baca Juga: Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks
Prinsip fleksibilitas dan adaptasi ini harus menjadi bagian untuk pengembangan kurikulum. Kalau di perguruan tinggi kan mudah, tinggal di senat dan penyelenggara. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Presiden bilang, program studi harus dimutakhirkan. Tapi kalau di sekolah jalurnya lebih panjang. Kurikulum dinamis bisa menyederhanakan, karena pemerintah pusat hanya mengatur pokok-pokok saja, selebihnya sekolah mengembangkan. Jadi aturannya jangan rinci. Pokok-pokok saja, biar sekolah bisa berkembang.