Kalau Anda lihat di media sosial saya kan bahasanya menggelitik. Orang Jawa bilang guyon parikena. Artinya, gojek (bersenda gurau) tapi mengena. Misalnya ketika Dies Natalis UNY ke-55. Ini kan monumental. Usulannya apa? Kemudian muncul (ide) konser itu, kemudian saya tanggapi. Tapi IPK-nya harus bagus. Itu kan sebenarnya guyon parikena. Saya ingin mahasiswa tidak sekadar mendapatkan hiburan, tapi juga menghargai prestasi mereka.
Kemudian bagaimana memberi inspirasi mahasiswa. Samsung saja sudah S10, (masa) mahasiswa S1 saja belum. Itu kan guyon parikena untuk mendorong mahasiswa menyelesaikan skripsi. Itu kan bahasa-bahasa anak muda, sehingga mahasiswa tidak tersinggung tapi merasa terpacu. Yang paling tinggi viewer-nya ya, yang Samsung itu, sampai 84 ribu. Itu paling tinggi dalam sejarah media sosial saya. Ternyata tidak hanya mahasiswa, dosen dan mahasiswa luar pun termotivasi. Jadi tidak hanya UNY, ada komunitas lain yang merasa terpacu.
Apa saja isi pesan mahasiswa ke DM Anda?
Sebelum (yang viral) itu, ada mahasiswa yang mengeluhkan di kosnya ada hantunya. Cerita itu kan muncul karena kedekatan. Yang terakhir, ada mahasiswa terkena demam berdarah. Itu langsung kita tindaklanjuti. Ada yang kehilangan uang atau barang, juga saya tindaklanjuti. Untuk kasus kehilangan, itu akan menunjukkan ke pencuri-pencuri juga, ternyata kampus memperhatikan. Inilah pendekatan komunikasi dua arah antara mahasiswa dengan tenaga pendidik, sehingga terbangun sinergi.
Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0
Akhir-akhir ini nampaknya mahasiswa lebih terbuka. Itu sesuai yang saya harapkan. Saya berpikir hubungan itu tidak harus formal. Banyak pesan dari media sosial yang saya tindaklanjuti. Misalnya mahasiswa mengeluhkan nilai yang belum keluar, dosennya dipanggil, keluar nilainya. Itu kan komunikasi yang efektif. Mungkin kalau bertemu saya, mahasiswa tidak berani. (Tapi) Dengan media sosial, mereka berani terbuka.
Tapi komunikasi di sosial media sering dianggap kurang sopan. Bagaimana menurut Anda?
Saya maklum, (namun) tidak menganggap itu tidak sopan. Itulah bahasa mahasiswa, itulah kedekatan dengan orangtua. Saya memandang secara positif. Kadang banyak orang bertanya, "Pak Tris, ini bagaimana sih mahasiswa enggak sopan?" Saya tidak memandang seperti itu. Dia kan hidup di era mahasiswa, kita dekati sesuai era mereka, supaya terbuka.
Teman-teman yang gemas itu mungkin berpikir, "Sama Rektor kok gitu?" Tapi ya, begitulah anak-anak, komunikasinya harus berbeda. Kalau komunikasi dosen dengan mahasiswa terjalin secara terbuka, kan enak. Kesulitan mahasiswa bisa diatasi, sehingga skripsi, tesis, disertasi, bisa cepat selesai. Bagaimanapun juga, hubungan antara anak dan orangtua pasti ada jarak. Tapi jangan terlalu dijadikan beban, harus dibangun kedekatan atau sinergi.
Prinsip kepemimpinan Anda seperti apa?
Baca Juga: Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks
Filosofi kepemimpinan saya ada tiga. Pertama, transformatif. Kita harus berubah, baik pola pikir maupun budaya. Karena perkembangan zaman luar biasa. Kita tidak bisa mempertahankan pola-pola lama. Jadi, yang lama mendasari, kemudian kita harus bertransformasi.