Suara.com - Saat ini, sebagian besar peradaban dunia telah disentuh oleh perkembangan teknologi digital. Kini hampir semua kegiatan atau aktivitas kita sudah bisa dilakukan dengan teknologi digital.
Di satu sisi, kehadiran teknologi digital dapat memudahkan seseorang berkegiatan. Misalnya saja, saat ini mengobrol tak lagi perlu bertatap muka. Lewat aplikasi percakapan seperti WhatsApp, Anda sudah bisa mengobrol, meskipun orang yang terlibat percakapan berbeda lokasi.
Namun meski banyak memudahkan, serbuan teknologi digital dinilai dapat pula berdampak negatif pada kegiatan keseharian kita. Menurut pakar pemasaran sekaligus penulis buku Yuswohady, banyak kegiatan yang bakal "dibunuh" oleh gangguan digital (digital disruption).
Contoh mudahnya adalah pekerjaan. Dengan teknologi digital, lingkungan pekerjaan akan berubah total, di mana pabrik-pabrik akan beralih dari menggunakan tenaga manusia menjadi menggunakan mesin.
Baca Juga: Caleg Berlomba Ciptakan Poster Menarik, Milenial Suka yang Mana?
Hal ini bakal mengancam pekerjaan yang sifatnya dulu membutuhkan manusia, karena kini bisa digantikan dengan mesin. Apalagi ketika kini Indonesia bakal menghadapi revolusi industri 4.0, di mana semua industri nantinya bakal menggunakan teknologi digital.
Dengan demikian artinya, jika di satu sisi teknologi digital bisa membuat mudah, tapi di sisi lain ternyata juga bisa mengancam kegiatan sehari-hari manusia. Lantas, apa-apa saja yang bakal tergeser oleh teknologi digital? Simak wawancara lengkap Suara.com dengan pakar marketing sekaligus penulis buku, Yuswohady.
Bagaimana teknologi digital mengancam pekerjaan?
Ini akan masuk yang namanya useless economy. Useless itu artinya manusia tidak berguna lagi (karena) semua pekerjaan digantikan oleh algoritma. Banyak yang bilang itu (revolusi) industri 4.0. Jadi era useless economy sebenarnya 4.0 itu. Terutama yang paling populer itu artificial intelligence (AI), tapi sebenarnya sumbernya adalah Internet of Things (IoT). IoT sumbernya big data.
Jadi di dalam IoT itu ada sensor. Sensor itu akan banyak menghasilkan data, itu namanya big data, cuma diotomasi oleh AI. Kalau itu sampai terjadi, memang hidup ini agak mengerikan.
Baca Juga: CEK FAKTA: Prabowo Sebut Indonesia Alami Deindustrialisasi, Benarkah?
Mengerikan untuk milenial atau untuk semuanya?
Untuk semua. Jadi kita sudah bicara peran robot dengan manusia. Jadi nanti, banyak peran manusia yang tergantikan oleh robot. Not only pekerja yang sifatnya berulang dan berpola, tetapi pekerjaan yang sifatnya enggak berpola yang itu kognitif.
Dalam seminar, saya pernah bilang tentang disruption. Saya tunjukkan video, misalnya sopir itu nanti hilang ketika misalnya (dikembangkan) self-driving cars. Jadi memang nanti penumpang agak lama, tapi barang itu sudah di depan mata. Jadi truk, kendaraan yang kalau tabrakan enggak (menghilangkan) nyawa masih bisa. Tapi sebenarnya di negara-negara Norwegia, Swedia, karena infrastrukturnya sudah bagus, itu enggak lama lagi mobil (itu) sudah enggak ada sopirnya.
Terus nanti, kurir akan digantikan oleh drone. Jadi mengirim untuk hal-hal kayak handphone, sudah pakai drone, dan itu tidak melibatkan manusia. Jadi kita ngeklik di Bukalapak misalnya, itu pengiriman 15 menit, dalam waktu 15 menit itu dia langsung perintahkan drone, langsung dikirim. Kalau robot enggak ada meleset. Kalau manusia, berantem sama istri, bisa terlambat kan. Ini kan enggak, pasti presisi.
Kemudian kasir. Kasir juga di Amazon, tahun 2017 sudah ada suatu pilotnya, dan nanti langsung di-scalling up ke seluruh dunia. Bayangkan nanti, Alfamart dan Indomaret udah enggak pake kasir ya. Pasti di awal-awal kayak Blue Bird. Jadi ada pergolakan regulasi, pemerintah enggak setuju. Tapi nanti akhirnya, gara-gara efisiensi akhirnya bisa diterima. (Contohnya) Ojol (ojek online --red) akhirnya diterima.
Di Amerika ada namanya Watson. Watson itu menggantikan dokter. Jadi, analisis kanker itu tidak dilakukan oleh dokter lagi, (padahal) sebenarnya bisa dilakukan manusia. Jadi peran dokter makin minimal. Pekerjaan yang kognitif itu biasa dilakukan. Kognitif itu kan mikir. Itu bisa dilakukan robot. Kalau robot zaman dulu, kita mindah peti kemas, itu polanya. Sekarang nggak. Lihat di pabrik, pasang sekrup kan polanya muter begini. Ini enggak kayak gitu, dengan machine learning dia belajar dan bisa sangat adaptif. Kemudian wartawan juga begitu. New York Times mulai pakai. Waktu ada pertandingan mulai ditulis. Itu hard news, kalau feature enggak bisa.
Konon katanya yang enggak bisa ter-distract (itu) perawat, karena dia pakai empati.
Yang ter-distract lagi kemudian pengacara. Pengacara kan fungsinya nyocokin apa yang ada di undang-undang dengan kasusnya. Dengan ada Siri, Siri kan ngomong udah enggak ngetik kan itu. Jadi informasi masuk lewat suara. Even pengacara juga bisa digantikan dengan algoritma atau machine learning. Jadi semua pekerjaan itu bisa dikerjakan oleh machine learning AI.
Tentu enggak terus ekstrem. Misalnya dokter, enggak semuanya dokter hilang sama sekali. Ada sebagian dikerjakan robot, ada sebagian dikerjakan dokter. Jadi kerja sama. Pakar mengatakan, rules of the game-nya itu kerja sama antara robot dan manusia. Ada yang murni digantikan oleh robot, ada yang kerja sama antara robot dengan manusia.
(Jadinya apakah) Ke depan porsinya makin robot?
Porsinya akan banyak ke robot. Itulah yang disebut useless economy. Itu konsekuensinya ke ekonomi. Kalau ilmu ekonomi itu, ada kapital dikalikan dengan tenaga kerja, ya output Produk Domestik Bruto (PDB)-nya dihasilkan dari pabrik (yang) ada orang. Nantinya (ketika) orang digantikan robot, isinya cuma kapital. Jadi output hasilnya lebih banyak, dengan orang lebih sedikit atau malah enggak ada orangnya, karena semuanya jadi pabrik dan pabrik itu dikendalikan oleh AI. Jadi kalau enggak ada labor (pekerja), enggak ada gaji kan. Kalau kita beli mesin, kan menghasilkan itu return-nya. Kalau aku hire labor kan dapat gaji... Kalau enggak ada orang, enggak ada gaji.
Ini sangat menyedihkan. Sekarang dunia dikuasai, kalau di Amerika (ada) Big Four. Kalau di Asia enggak jauh dari Alibaba dari China. Amerika itu (ada) Google, Amazon, Apple, Facebook. Kecenderungannya Facebook akan sama dengan Google, Google akan sama dengan Amazon. Karena teknologi semua akan sama, dan yang namanya mesin tadi dikuasai orang yang mampu beli. Jadi output tadi kan, awalnya ada mesin sama orang kan, tapi orangnya digantikan robot, maka yang dapat output gede siapa? Ya, orang yang mampu beli mesin. Bahkan skenarionya lebih ekstrem: dunia dikuasai oleh Mark Zuckerberg, Bill Gates, Steve Job, Elon Musk, (karena) dia menguasai robotnya. Jadi mengumpul duitnya. Karena duitnya dinikmati yang punya robot kan, dan yang punya robot enggak banyak; itu kapitalis dunia yang ada di Sillicon Valley. Sebagian besar masyarakat itu karena tergantikan oleh robot, dia (jadi) enggak punya gaji. Kalau enggak punya gaji, makannya gimana? Sementara kekayaan terhisap segelintir orang, hanya 1 persen, orang yang punya mesin itu. Maka nanti diperkirakan ekonominya subsidi silang. Kekayaan Mark Zuckerberg diambil 90 persen oleh negara, terus didistribusikan ke orang yang enggak punya gaji. Kalau enggak didistribusiin itu (bisa) terjadi riot, terjadi demonstrasi massal.
Sekarang udah kejadian. Jeff Bezos, akhir tahun (kekayaannya) 150 miliar dolar AS atau setara Rp 1.500 triliun, setara APBN. Itu satu orang, dan kecenderungannya monopolistik. Kalau dia punya kapital, dia mulai nyaplok-nyaplok. Itu kejadian. Google nyaplok-nyaplok, termasuk Google nyaplok Gojek. Sehingga, itu ngumpul di segelintir orang yang punya kapital. Itu skenario enggak jauh juga, mungkin 30-50 tahun, jadi mengerikan.
Saya sendiri yang konsultan brand kerjanya meneliti, enggak juga. Jadi karena ngambil data itu kerjanya sebelumnya. Kita kan kerjanya market research. Kayak polling lah; bikin kuisioner, diisi, bikin coding dikumpulkan, disimpulkan, bikin grafik, terus ini naik-turun. Strateginya begitu. Itu nanti ambil data pakai sensor. Misalnya kita pakai handphone, kita lari, smartwatch ini data semua ada. Kita beli (pakai) digital payment, itu untuk pengeluaran saya sehari, seminggu, sebulan, itu ada. Dan itu available di Google, Apple. Data itu dikuasai, sehingga dia itu ngerti aku tuh gajiku berapa, belinya berapa. Kalau dulu, ditanya pakai survei, ditanya aja mungkin keliru. Tapi kalau sensor ada datanya, dan enggak pernah keliru, karena itu data riil. Data ini sampai kiamat enggak akan hilang. Ada di Samsung, sehingga Samsung mau bikin analisis bagaimana pola saya dalam lari atau apa nanti, dia mau bikin produk apa untuk kesehatan atau apa, dia bisa. Itu yang dilakukan oleh konsultan pemasaran.
Apakah itu salah satu Big Data?
Ini Big Data kan, jadi semua orang nanti enggak bisa luput dari sensor. Ini pakai handphone ada sensor. Dia tahu kita ada di mana, pakai Google Maps segala macam. Jadi orang udah enggak bisa sembunyi, semuanya kecatat. Itu yang namanya Big Data itu. Sekarang saya beli barang kalau pake cash, enggak kecatat. Kalau pakai Go-Pay, digital payment, Go-Pay ada datanya, sejauh saya pakai Go-Pay terus. Dan kalau kecatat, sampai kapan pun enggak bakal hilang. (Itu) Namanya digital footprint. Kalau sudah begitu, perilaku kita sudah teramati, sudah terpola, bisa di-mapping siapa pun yang bikin produk dan ditawarkan ke kita. Kalau kayak gitu, saya enggak berfungsi lagi sebagai (pekerja) riset. Riset itu udah enggak berfungsi lagi kalau kirim kuisioner mati. Tapi ada pekerjaan baru lagi. Itu Gen X enggak bisa; yang bisa milenial dan Gen Z.
Ini memang sudah 2010. Kalau Thomas Ridman udah 2007, tapi gampangannya 2010. Sejak 2010, apa pun itu memang dunia kita digital. Ketika satu sama kosong, maka aktivitas kita akan tercatat implikasinya apa ke kompetensi. Tadi kan ke pekerjaan, nanti coding dan programming. Zaman Gen X itu baca sama berhitung. Kan kita minimal anak kita bisa baca dan berhitung. Kalau berhitung bisa berhitung duit, atau baca, ada kayak gini tulisan bisa baca. Nantinya memang di era digital, itu coding dan programming, orang yang enggak bisa itu buta huruf. Jadinya buta hurufnya digital, ketika dia enggak bisa coding dan programming, (sementara) semua orang akan bisa. Karena apa yang kita lakukan didigitalisasi.
Kalau kita ngomong disruption, kita enggak mau ngomong jangka panjang, kita enggak ngomong 5 tahun lalu. Saya (dulu) enggak kebayang ada mobil enggak ada sopirnya. Bagaimana itu? Enggak kebayang bagaimana geraknya acak gitu, dia bisa menghindar, bisa itu. Ketika dia di jalan bebas, dia bisa dengan sensor. Saya terus terang 5 tahun lalu enggak kebayang, sekarang (malah) kejadian.
Ya, memang kalau kasus Indonesia susah, banyak orang. Tapi (di) negara yang tertib kayak Singapura memungkinkan. Indonesia juga enggak kebayang Thamrin bisa begini, (ada) MRT enggak kebayang. Sekarang itu Indonesia kayak Singapura. Artinya, perubahan itu cepat sekali. China 10 tahun lalu masih terbelakang, sekarang udah bisa sama kayak Amerika. Makanya, kita enggak bisa bilang. Ini kecepatannya eksponensial, jadi bukan entermental. Jangan bilang ini 30-50 tahun lagi, bisa jadi 3 tahun lagi. Misalnya kayak tadi, nanti kasir hilang semua. Amazon sudah kayak gitu. Aku mikirnya 10 tahun lagi, eh tahunya... sudah ada. Jadi dia cuma pakai begini, sensor kayak Go-Pay. Dia ngambil barang langsung debet.
Jadi hidup kita enggak bisa lepas dari sensor. Kita akan diamati oleh sensor. Makanya penjahat segala macam enggak bisa lari. Itu belum yang blockchain. Blockchain transaksi bukan antar negara, antar perusahaan, tapi antara individu. Kita kalau ke Singapura, nukerin ke dolar. Tapi kalau pakai Bitcoin, orang Singapura kirim barang ke kita, kita kirim Bitcoin, transaksinya namanya blockchain. (Itu) Udah enggak pakai negara, antara orang ke orang.
Nanti adanya gig economy, semua orang akan jadi freelancer. Jadi misalnya Anda di Suara.com enggak pernah masuk kerja, Anda nanti reporting. Terus begitu tulisannya sudah (jadi), transaksinya, kan bayar. Masing-masing orang akan banyak transaksi kan. Seseorang reputable apa enggak (itu) akan muncul dari serangkaian transaksi itu, sehingga orang enggak bisa bujuk. Artinya, nanti era gig economy, kita kerja enggak ke perusahaan. Kita kerja ke yang ngasih pekerjaan, dan dilakukan dengan efisien dan bisa di mana saja, dan perusahaan mana saja, perusahaan unblunding, semua by project. Itu mereka kerjain. Transaksi di blockchain, begitu selesai, dia bayar duit, terjadi selesai diterima. Satu orang reputasinya akan ditentukan oleh transaksi blockchain. Makanya blockchain akan mengubah semuanya. Negara enggak ada, perusahaan enggak ada. Ini memang ngeri.
Seberapa parahkah ancaman itu, dan bagaimana cara mengantisipasinya? Bagaimana pula dengan ancaman milenial yang disebut bisa membunuh segalanya? Simak di laman berikutnya..!
Jadi (terhadap semua itu), kita bukan menghindarinya, tapi bagaimana cara mengantisipasinya?
Betul. Yang pertama itu enggak buta huruf, (harus) melek digital. Belajar coding, programming, itu harus. Dan sekarang anak-anak milenial itu sudah kayak begitu. Anak-anak Gen Z sudah mulai.
Di Indonesia juga sudah mulai?
Iya. Anak-anak sudah mulai, baik melalui sekolah, atau kursus-kursus. Jadi nanti, kita enggak akan survive di dalam kehidupan ini, kalau kita enggak kuasain digital. Banyak yang Gen X itu sudah bebal, udah enggak bisa belajar lagi. Ya sudah, pensiun. Artinya sudah enggak mampu berkompetisi kan. Milenial yang pengen terus berkompetisi, tapi enggak punya keahlian, itu dia akan kalah. Jadi landscape itu akan berubah.
(Jadi) Sekarang orang ngejar keahliannya, bukan teorinya?
Iya, sebenarnya ada teorinya juga. Tapi begini. Orang-orang harus memprediksi kompetensi masa depan itu apa. Sekarang ini yang lagi hot (adalah) program blockchain, maupun AI. Itu di dunia enggak banyak. Kalau di Indonesia, masuknya di Traveloka, Go-Jek, Bukalapak. Bukalapak punya 1.100 di Bandung digital engineer-nya. Dia lulusan engineering enggak bakal masuk ke Indofood. Kenapa? Karena enggak ada wahananya, ilmunya enggak berkembang. Berkembangnya di perusahaan yang kayak Tiket.com, Bukalapak, kayak Traveloka. Jadi sekarang yang terjadi, orang-orang yang punya keahlian ini, ya, terserap di startup. Jadi milenial enggak tertarik bekerja di brand gede (lagi). Trennya akan ke sana. Karena di sana mengembangkan kemampuan digital ada wahananya. Jadi memang magnet digital mengerikan, dan itu akan menentukan. Makanya saat ini semua keahlian "rohnya" (adalah) melek digital.
Lalu, apakah nanti ada millennial disruption?
Jadi gini. Saya baru bikin tulisan. Jadi milenial (itu) membunuh, digital disruption; saya bikin istilah millennial disruption. Jadi milenial juga sebagai "pembunuh berdarah dingin", banyak industri yang dibunuh milenial. Dibunuh itu maksudnya milenial bergeser perilakunya. Itu digital lagi. Otaknya terekspose digital. Ketika terekspose terus, maka otaknya berubah, dan enggak balik lagi. Makanya otaknya beda dengan Gen Z. Itu yang menyebabkan terjadi pergeseran dengan perilaku.
Misalnya musik rock, itu akan mati. Coba sekarang, milenal ada enggak yang punya musik rock? Dia sekarang (sukanya) EDM, hip-hop. Saya juga enggak sadar. Setelah saya riset, bener juga, mati. Rock itu terakhir siapa (ikonnya)? Guns n Roses, Nirvana. Sekarang ini milenial enggak mau. Milenial enggak suka melodi rock; cita rasa itu berbeda.
Grup lawak itu (juga) mati, karena ganti stand-up comedy. Harley Davidson tinggal tunggu waktu akan mati. Kenapa? Karena milenial enggak punya duit. Milenial lahir tahun 1980an sampai 1997, paling tua umur 36-37 tahun. Kalau di perusahaan pangkatnya manajer, sudah punya anak, butuh Avanza, butuh kredit macam-macam. Jadi butuhnya banyak, gajinya kecil. Boro-boro beli Harley Davidson, enakan beli susu anaknya. Sekarang milenial itu butuh duit. Siapa bilang milenial kaya? Memang posisi kerjanya belum tinggi, butuh duit banyak, gajinya sedikit, terus tambah liburan. Gen X itu yang levelnya direktur, (itu) yang dibutuhkannya cuma dua: berlibur dan berobat.
Golf itu (juga akan) mati. Karena milenial enggak mampu olahraga golf. Dan lagi golf itu olahraganya baby boomers. Harley Davidson olahraganya baby boomers. Cash mati, karena digital payment. Termasuk high heels, penjualannya turun, karena milenial sukanya sneakers, yang butuh cepat, butuh praktis. Jam kerja 9-5 itu di-kill oleh milenial, karena milenial mau kerja kapan pun, tempat kerja di mana pun. Kenapa Tanamera ramai kayak gini? Karena milenial enggak mau kerja di kantor. Kerjanya di Starbucks sambil dengerin musik, sambil ngobrol, sambil kerja; tetap produktif.
Long term employement itu (juga) di-kill oleh milenial. Karena milenial itu begitu daftar perusahaan sekarang, tahun depan sudah mikir keluar. Surveinya setahun. Jadi ada digital disruption dan millennial disruption. Pengaruh enggak ke profesi? Wah, itu kombinasi keduanya; gonjang-ganjing enggak karuan.
(Tapi) Perusahaan malah diuntungkan dengan jam kerja seperti itu?
Betul. Makanya perusahaan kalau mindset-nya Gen X, kalau tempat kerja enggak millennial friendly, nanti akan ditinggalkan oleh milenial. Semua market isinya milenial. Begitu produk enggak disukai milenial, dia akan mati. Begitu kantor jadul, akan ditinggalin. Tahun 2025, 75 persen work force dunia akan diisi milenial.
Jadi (mereka) lebih pilih passion dibandingkan kebutuhan?
Betul. Jadi dia cari apa yang disuka, meskipun bayarannya kecil. Surveinya ada. Dia enggak apa-apa gaji kecil, tapi fleksibel, ada namanya remote working. Sekarang sudah mulai. Di Bali ada namanya Hubud. Itu kalau pagi isinya bule semua, kerjanya di Silicon Valley. Dia kerjanya digital nomad. Dia kerja programming segala macam, terus dia nomad, berpindah-pindah. Tiga bulan di Bali, nanti bulan berikutnya ke Chiang Mai. Itu mulai muncul, dan itu maunya milenial. Gen X lihatnya aneh, tapi trennya ke arah situ.
Jadi 10 tahun terakhir, dari baby boomers ke Gen X itu linier. Artinya, Gen X kelanjutannya baby boomers. Tapi di era digital, Gen X ke milenial itu kayak gempa bumi, kayak patah. Kalau ini nyambung, kalau itu patah. Expert digital perilakunya beda sekali dengan gen milenial. Sekarang, nikah Gen X semua diundang. Kalau milenial enggak gitu, jadi yang diundang belasan. Dia enggak mau duitnya habis untuk sewa gedung. Lebih baik duitnya untuk liburan, untuk bulan madu, di kebun maunya. Terus, zaman dulu pakai pakaian adat, sekarang pakai sneakers juga udah biasa; pakai sneakers di kebun. Itu beda dengan Gen X. Dari milenial ke Gen Z itu linier, karena enggak ada perubahannya yang linier lagi. Kalau studi berdasarkan lahir, cohort. Sebelumnya cohort enggak menarik. Studi baby boomers enggak menarik, studi Gen X enggak menarik, enggak ada yang omongin. Tapi tiba-tiba milenial muncul, studi cohort semua orang milenial. Jadi ini mengapa studi milenial jadi sangat seksi.
Jadi, ada dua digital disruption. Kalau kita ngomong AI, blockchain, big data, itu digital disruption. Profesi ter-disrupted oleh industri 4.0. Profesi juga akan ter-disrupted dengan perilaku shifting yang milenial tadi itu. Kalau digital disruption, perubahan model binis menjadi digital. Kalau millennial disruption, perubahan preferensi, perubahan perilaku milenial tapi dampaknya sama. Dari Gen X ke milenial terjadi patahan, makanya korbannya banyak. Salah satunya adalah industri tadi. Contohnya eye contact, kita ngomong pakai eye contact. Kalau milenial, membunuh eye contact, karena dia nunduk terus kan. Jadi makin lama eye contact enggak ada. Terus milenial komunikasinya pakai tasking. Ketika tasking, maka rona muka enggak perlu. Bahasa tubuh enggak perlu, ekspresi enggak perlu; ada emoticon. Banyak terjadi, ada yang berbela sungkawa, tapi lagi di kafe senang-senang. Jadi (kalau) Gen X social skill-nya bagus, tapi milenial social skill-nya rendah. Makanya social skill-nya yang dibunuh oleh milenial; sopan santun terbunuh oleh milenial.
Apakah Indonesia siap menghadapi dua disruption itu?
Jadi, disruption (itu) enggak ngomong Indonesia. Disruption itu terjadi (berdasarkan) apa yang terjadi di Amerika dan terjadi di Indonesia. Kalaupun ada jeda, enggak banyak.
Jadi, mau enggak mau, harus siap?
Iya. Kalau enggak siap, akan menghilang dari peredaran, enggak relevan. Ini (contohnya) orang stres makin banyak.
Dampak yang bisa terjadi, apa lagi?
Ya, itu, perubahan itu. Pekerjaan akan hilang, bisnis banyak hilang.
Solusinya?
Kalau bicara solusi, solusi menurut siapa? Eye contact, kalau bilang menurut Gen X, itu kan kiamat. Tapi begitu hilang, mungkin ini "it's OK". Jadi, baik atau jelek itu menurut siapa? Kalau menurut orang yang tahu social skill, itu dinilai jelek. Tapi kalau (bagi) milenial itu enggak penting, yang penting produktivitas. Ngomong solusi, relatif menurut siapa. Tapi kan sekarang orang tahu relatif Gen X. Milenial berubah enggak masalah. Contohnya Gen Z diramalkan paling diverse, (lebih) Bhineka Tunggal Ika lah, lebih menerima LGBT, itu menjadi new normal. Kalau kalangan baby boomers dan Gen X itu segala macam, itu dunia-lah, itu terjadi di Barat. Mungkin generasi berikutnya melihat begitu hal yang biasa, namanya new normal. Yang namanya congklak, layang-layang, (sekarang) hilang. Jadi anak-anak permainannya enggak fisik lagi, permainannya semua di handphone. Jadi ada positifnya dan negatif. Sesuatu yang di kalangan Gen X enggak normal, menjadi normal.
Kita bermain layang-layang di lapangan (dianggap) enggak efisien. Kerja capek ini efisien, ngelatih otak. Makanya diakui milenial lebih cepat mikirnya, lebih smart, lebih multitasking. Tapi ada jeleknya, (yaitu) social deficit-nya. Kayak (kasus) Audrey, itu salah faktor utamanya karena ini. (Dari) Facebook, tiba-tiba ngeroyok.
Saya lihat (soal dikotomi pasangan capres) 01-02, kok bisa begitunya. Itu orang panas karena komunikasi tasking, ngomong beda. Komunikasi tasking belum komplit jawabnya, udah ngomong lagi, gampang panasnya. Berantem melalui tasking 10 kali lebih sering. Kenapa orang itu tiba-tiba emosian? Saya heran (kenapa) orang perilakunya buruk. Saya terus terang (soal) 01-02, terus melihat Indonesia seperti ini, sedih. Bagaimana Indonesia bisa seperti ini? Itu luar biasa. Dan ini pertama dalam sejarah, dan itu tak terkendali. Bahkan negara enggak bisa campur tangan, karena individu, dan ditambah isu agama.
Milenial kecenderungannya pilih siapa?
Kalau kayak gini, menurut saya lebih ke 01, karena Jokowi... ini. Kalau debat-debat, Prabowo kelihatan konservatifnya, terus militer, secara image, secara citra. Misalnya kalau ngomong startup, startup itu (kan) asing. Jika Prabowo yang jadi (Presiden), itu takut Google dibalikin, ada nasionalisasi. Artinya nanti belum bisa. Startup kita akui semuanya dikuasai asing, Google. Kebijakan pemerintahnya enggak pro salah satu variabel. Prabowo enggak millennial friendly.