Jadi (terhadap semua itu), kita bukan menghindarinya, tapi bagaimana cara mengantisipasinya?
Betul. Yang pertama itu enggak buta huruf, (harus) melek digital. Belajar coding, programming, itu harus. Dan sekarang anak-anak milenial itu sudah kayak begitu. Anak-anak Gen Z sudah mulai.
Di Indonesia juga sudah mulai?
Iya. Anak-anak sudah mulai, baik melalui sekolah, atau kursus-kursus. Jadi nanti, kita enggak akan survive di dalam kehidupan ini, kalau kita enggak kuasain digital. Banyak yang Gen X itu sudah bebal, udah enggak bisa belajar lagi. Ya sudah, pensiun. Artinya sudah enggak mampu berkompetisi kan. Milenial yang pengen terus berkompetisi, tapi enggak punya keahlian, itu dia akan kalah. Jadi landscape itu akan berubah.
Baca Juga: Caleg Berlomba Ciptakan Poster Menarik, Milenial Suka yang Mana?
(Jadi) Sekarang orang ngejar keahliannya, bukan teorinya?
Iya, sebenarnya ada teorinya juga. Tapi begini. Orang-orang harus memprediksi kompetensi masa depan itu apa. Sekarang ini yang lagi hot (adalah) program blockchain, maupun AI. Itu di dunia enggak banyak. Kalau di Indonesia, masuknya di Traveloka, Go-Jek, Bukalapak. Bukalapak punya 1.100 di Bandung digital engineer-nya. Dia lulusan engineering enggak bakal masuk ke Indofood. Kenapa? Karena enggak ada wahananya, ilmunya enggak berkembang. Berkembangnya di perusahaan yang kayak Tiket.com, Bukalapak, kayak Traveloka. Jadi sekarang yang terjadi, orang-orang yang punya keahlian ini, ya, terserap di startup. Jadi milenial enggak tertarik bekerja di brand gede (lagi). Trennya akan ke sana. Karena di sana mengembangkan kemampuan digital ada wahananya. Jadi memang magnet digital mengerikan, dan itu akan menentukan. Makanya saat ini semua keahlian "rohnya" (adalah) melek digital.
Lalu, apakah nanti ada millennial disruption?
Jadi gini. Saya baru bikin tulisan. Jadi milenial (itu) membunuh, digital disruption; saya bikin istilah millennial disruption. Jadi milenial juga sebagai "pembunuh berdarah dingin", banyak industri yang dibunuh milenial. Dibunuh itu maksudnya milenial bergeser perilakunya. Itu digital lagi. Otaknya terekspose digital. Ketika terekspose terus, maka otaknya berubah, dan enggak balik lagi. Makanya otaknya beda dengan Gen Z. Itu yang menyebabkan terjadi pergeseran dengan perilaku.
Misalnya musik rock, itu akan mati. Coba sekarang, milenal ada enggak yang punya musik rock? Dia sekarang (sukanya) EDM, hip-hop. Saya juga enggak sadar. Setelah saya riset, bener juga, mati. Rock itu terakhir siapa (ikonnya)? Guns n Roses, Nirvana. Sekarang ini milenial enggak mau. Milenial enggak suka melodi rock; cita rasa itu berbeda.
Baca Juga: CEK FAKTA: Prabowo Sebut Indonesia Alami Deindustrialisasi, Benarkah?
Grup lawak itu (juga) mati, karena ganti stand-up comedy. Harley Davidson tinggal tunggu waktu akan mati. Kenapa? Karena milenial enggak punya duit. Milenial lahir tahun 1980an sampai 1997, paling tua umur 36-37 tahun. Kalau di perusahaan pangkatnya manajer, sudah punya anak, butuh Avanza, butuh kredit macam-macam. Jadi butuhnya banyak, gajinya kecil. Boro-boro beli Harley Davidson, enakan beli susu anaknya. Sekarang milenial itu butuh duit. Siapa bilang milenial kaya? Memang posisi kerjanya belum tinggi, butuh duit banyak, gajinya sedikit, terus tambah liburan. Gen X itu yang levelnya direktur, (itu) yang dibutuhkannya cuma dua: berlibur dan berobat.
Golf itu (juga akan) mati. Karena milenial enggak mampu olahraga golf. Dan lagi golf itu olahraganya baby boomers. Harley Davidson olahraganya baby boomers. Cash mati, karena digital payment. Termasuk high heels, penjualannya turun, karena milenial sukanya sneakers, yang butuh cepat, butuh praktis. Jam kerja 9-5 itu di-kill oleh milenial, karena milenial mau kerja kapan pun, tempat kerja di mana pun. Kenapa Tanamera ramai kayak gini? Karena milenial enggak mau kerja di kantor. Kerjanya di Starbucks sambil dengerin musik, sambil ngobrol, sambil kerja; tetap produktif.
Long term employement itu (juga) di-kill oleh milenial. Karena milenial itu begitu daftar perusahaan sekarang, tahun depan sudah mikir keluar. Surveinya setahun. Jadi ada digital disruption dan millennial disruption. Pengaruh enggak ke profesi? Wah, itu kombinasi keduanya; gonjang-ganjing enggak karuan.
(Tapi) Perusahaan malah diuntungkan dengan jam kerja seperti itu?
Betul. Makanya perusahaan kalau mindset-nya Gen X, kalau tempat kerja enggak millennial friendly, nanti akan ditinggalkan oleh milenial. Semua market isinya milenial. Begitu produk enggak disukai milenial, dia akan mati. Begitu kantor jadul, akan ditinggalin. Tahun 2025, 75 persen work force dunia akan diisi milenial.
Jadi (mereka) lebih pilih passion dibandingkan kebutuhan?
Betul. Jadi dia cari apa yang disuka, meskipun bayarannya kecil. Surveinya ada. Dia enggak apa-apa gaji kecil, tapi fleksibel, ada namanya remote working. Sekarang sudah mulai. Di Bali ada namanya Hubud. Itu kalau pagi isinya bule semua, kerjanya di Silicon Valley. Dia kerjanya digital nomad. Dia kerja programming segala macam, terus dia nomad, berpindah-pindah. Tiga bulan di Bali, nanti bulan berikutnya ke Chiang Mai. Itu mulai muncul, dan itu maunya milenial. Gen X lihatnya aneh, tapi trennya ke arah situ.
Jadi 10 tahun terakhir, dari baby boomers ke Gen X itu linier. Artinya, Gen X kelanjutannya baby boomers. Tapi di era digital, Gen X ke milenial itu kayak gempa bumi, kayak patah. Kalau ini nyambung, kalau itu patah. Expert digital perilakunya beda sekali dengan gen milenial. Sekarang, nikah Gen X semua diundang. Kalau milenial enggak gitu, jadi yang diundang belasan. Dia enggak mau duitnya habis untuk sewa gedung. Lebih baik duitnya untuk liburan, untuk bulan madu, di kebun maunya. Terus, zaman dulu pakai pakaian adat, sekarang pakai sneakers juga udah biasa; pakai sneakers di kebun. Itu beda dengan Gen X. Dari milenial ke Gen Z itu linier, karena enggak ada perubahannya yang linier lagi. Kalau studi berdasarkan lahir, cohort. Sebelumnya cohort enggak menarik. Studi baby boomers enggak menarik, studi Gen X enggak menarik, enggak ada yang omongin. Tapi tiba-tiba milenial muncul, studi cohort semua orang milenial. Jadi ini mengapa studi milenial jadi sangat seksi.
Jadi, ada dua digital disruption. Kalau kita ngomong AI, blockchain, big data, itu digital disruption. Profesi ter-disrupted oleh industri 4.0. Profesi juga akan ter-disrupted dengan perilaku shifting yang milenial tadi itu. Kalau digital disruption, perubahan model binis menjadi digital. Kalau millennial disruption, perubahan preferensi, perubahan perilaku milenial tapi dampaknya sama. Dari Gen X ke milenial terjadi patahan, makanya korbannya banyak. Salah satunya adalah industri tadi. Contohnya eye contact, kita ngomong pakai eye contact. Kalau milenial, membunuh eye contact, karena dia nunduk terus kan. Jadi makin lama eye contact enggak ada. Terus milenial komunikasinya pakai tasking. Ketika tasking, maka rona muka enggak perlu. Bahasa tubuh enggak perlu, ekspresi enggak perlu; ada emoticon. Banyak terjadi, ada yang berbela sungkawa, tapi lagi di kafe senang-senang. Jadi (kalau) Gen X social skill-nya bagus, tapi milenial social skill-nya rendah. Makanya social skill-nya yang dibunuh oleh milenial; sopan santun terbunuh oleh milenial.
Apakah Indonesia siap menghadapi dua disruption itu?
Jadi, disruption (itu) enggak ngomong Indonesia. Disruption itu terjadi (berdasarkan) apa yang terjadi di Amerika dan terjadi di Indonesia. Kalaupun ada jeda, enggak banyak.
Jadi, mau enggak mau, harus siap?
Iya. Kalau enggak siap, akan menghilang dari peredaran, enggak relevan. Ini (contohnya) orang stres makin banyak.
Dampak yang bisa terjadi, apa lagi?
Ya, itu, perubahan itu. Pekerjaan akan hilang, bisnis banyak hilang.
Solusinya?
Kalau bicara solusi, solusi menurut siapa? Eye contact, kalau bilang menurut Gen X, itu kan kiamat. Tapi begitu hilang, mungkin ini "it's OK". Jadi, baik atau jelek itu menurut siapa? Kalau menurut orang yang tahu social skill, itu dinilai jelek. Tapi kalau (bagi) milenial itu enggak penting, yang penting produktivitas. Ngomong solusi, relatif menurut siapa. Tapi kan sekarang orang tahu relatif Gen X. Milenial berubah enggak masalah. Contohnya Gen Z diramalkan paling diverse, (lebih) Bhineka Tunggal Ika lah, lebih menerima LGBT, itu menjadi new normal. Kalau kalangan baby boomers dan Gen X itu segala macam, itu dunia-lah, itu terjadi di Barat. Mungkin generasi berikutnya melihat begitu hal yang biasa, namanya new normal. Yang namanya congklak, layang-layang, (sekarang) hilang. Jadi anak-anak permainannya enggak fisik lagi, permainannya semua di handphone. Jadi ada positifnya dan negatif. Sesuatu yang di kalangan Gen X enggak normal, menjadi normal.
Kita bermain layang-layang di lapangan (dianggap) enggak efisien. Kerja capek ini efisien, ngelatih otak. Makanya diakui milenial lebih cepat mikirnya, lebih smart, lebih multitasking. Tapi ada jeleknya, (yaitu) social deficit-nya. Kayak (kasus) Audrey, itu salah faktor utamanya karena ini. (Dari) Facebook, tiba-tiba ngeroyok.
Saya lihat (soal dikotomi pasangan capres) 01-02, kok bisa begitunya. Itu orang panas karena komunikasi tasking, ngomong beda. Komunikasi tasking belum komplit jawabnya, udah ngomong lagi, gampang panasnya. Berantem melalui tasking 10 kali lebih sering. Kenapa orang itu tiba-tiba emosian? Saya heran (kenapa) orang perilakunya buruk. Saya terus terang (soal) 01-02, terus melihat Indonesia seperti ini, sedih. Bagaimana Indonesia bisa seperti ini? Itu luar biasa. Dan ini pertama dalam sejarah, dan itu tak terkendali. Bahkan negara enggak bisa campur tangan, karena individu, dan ditambah isu agama.
Milenial kecenderungannya pilih siapa?
Kalau kayak gini, menurut saya lebih ke 01, karena Jokowi... ini. Kalau debat-debat, Prabowo kelihatan konservatifnya, terus militer, secara image, secara citra. Misalnya kalau ngomong startup, startup itu (kan) asing. Jika Prabowo yang jadi (Presiden), itu takut Google dibalikin, ada nasionalisasi. Artinya nanti belum bisa. Startup kita akui semuanya dikuasai asing, Google. Kebijakan pemerintahnya enggak pro salah satu variabel. Prabowo enggak millennial friendly.