Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks

Selasa, 09 April 2019 | 06:50 WIB
Rustika Herlambang: Rata-rata Netizen Sebenarnya Sudah Resah dengan Hoaks
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang. [Suara.com / Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di acara talkshow Politik Tanpa Hoax yang digelar dalam rangka HUT ke-5 Suara.com, Jumat (29/3/2019) lalu, beberapa narasumber yang hadir mengutarakan kegelisahan senada soal maraknya peredaran hoaks di Tanah Air. Terutama terkait kenyataan bahwa jumlah, frekuensi, maupun ragam hoaks yang muncul kian ramai mendekati momen penentuan Pemilu 2019.

Salah satu yang turut menuturkan pandangan sekaligus memaparkan beberapa hasil risetnya adalah Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator. Tampil bersama pembicara lain seperti Henri Subiakto dari Kemenkominfo, Imam Wahyudi dari Dewan Pers, Imam Gunawan dari Kemenpora, serta dua politisi perempuan yaitu Tina Talisa (Nasdem) dan Annisa Tyas Palupi (Demokrat), Rustika mengutarakan beberapa poin menarik.

Ketika berbincang lebih jauh, dia pun antara lain menegaskan bahwa sebenarnya rata-rata netizen sendiri sudah sangat resah dengan keberadaan hoaks yang notabene membanjiri dunia maya sehari-harinya. Berikut petikan pembicaraan Suara.com selengkapnya dengan Rustika Herlambang.

Kondisi hoaks di Indonesia saat ini, bagaimana gambarannya?

Baca Juga: Henri Subiakto: Kalau Indonesia Otoriter, Mungkin Bisa Bebas Hoaks

Saya melanjutkan Henri Subiakto (Staf Ahli Menkominfo). Jadi, Henri mengatakan hoaks berkaitan dengan political game. Jadi kita pernah melakukan riset dari 2012 sampai 2018. Dan ternyata hoaks itu diberitakan atau dibicarakan dari 2012 sampai 2015 itu sepi, kecil sekali. (Lalu) Terjadi peningkatan yang sangat tajam di 2016 dan 2017 awal. Setelah itu, 2017 sama 2018 hoaks mulai menurun, dan kembali meningkat tajam menjelang 2019. Jadi kalau bicara political game, memang itu terkait.

Kalau kita buka data berikutnya, sebenarnya kita ingin tanya sih, masyarakat di media sosial, mereka itu sebenarnya senang nggak sih sama hoaks. Nah, ternyata mereka rata-rata mengutarakan keresahan mereka terhadap hoaks. Dalam satu bulan ada 200 ribu hingga 300 ribu percakapan dari lebih 10 ribu akun manusia, itu menyampaikan keresahan mereka: "Kami tidak suka hoaks". Jadi sentimen netizen ketika membahas hoaks cukup besar. Artinya, masyarakat sendiri juga tidak suka hoaks.

Peta penyebaran hoaks di Indonesia seperti apa?

Jadi kita pernah membuat riset sepanjang Pilpres, hoaks yang paling ramai seperti apa. Lanjut top hot issue di Indonesia. Nah, ini saya cuma bercerita betapa media sosial berjalan dengan sangat cepat ... Jadi ini adalah isu hoaks yang paling banyak dibicarakan di media sosial Twitter di Indonesia: tertinggi Ratna Sarumpaet (sebanyak) 327.001.

PKI masih banyak dibicarakan juga, ya?

Baca Juga: Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden

Ada isu hoaks yang sifatnya momentum, jadi hanya saat-saat tertentu. Seperti (soal) 7 kontainer (surat suara tercoblos), sekali (muncul) tapi pembicaraannya besar. Kemudian #savepulpen juga besar. Tapi ada beberapa isu hoaks yang dia bertahan setiap bulan, di antaranya memang (soal) PKI dan TKA. Kalau PKI rata-rata pembicaraan itu mencapai 100.000, kemudian kalau (soal) TKA ada 25.000 dalam satu bulan.

Apakah memang terstruktur, ada yang mengeluarkan rutin setiap bulan? Kok bisa kemudian sampai dipetakan seperti itu?

Memang kita sebenarnya hanya menghitung di antara sekian banyak isu hoaks itu, isu hoaks mana sih yang mendapatkan reaksi netizen paling banyak. Jadi sebenarnya, misal, kasus tiga emak beberapa waktu lalu, ternyata di media sosial itu mereka nggak banyak omong. Tapi, isu terkait dengan TKA dan PKI, itu adalah isu yang terus berlangsung hampir tiap bulan. Apakah itu terstruktur atau tidak terstruktur, memang kita melihat di dalam komposisi isu-isu yang terkait dengan PKI dan TKA, ada beberapa komposisi yang terdiri atas mereka yang berasal dari akun-akun mesin. Jadi bukan hanya akun manusia, tapi ada juga mesin.

Dan di sisi lain juga, isu-isu kalau dia dianggap seksi, dia akan terus berada di media sosial. Karena akan terus dibicarakan, kan akhirnya dia muncul, dan muncul, dan muncul (terus).

Data lainnya, apa lagi?

(Untuk) Data sebenarnya kita cukup banyak ya, terkait dengan isu hoaks lebih banyak ke sini. Tapi kita melihat sebenarnya kita ini sedang menuju pesta demokrasi. Pesta demokrasi, namanya pesta, jadi ternyata kaum milenial dan netizen di media sosial baik di Facebook maupun Twitter, (itu) mereka mengutarakan kegembiraan mereka. Jadi setiap bulan misalnya, percakapan yang ditujukan misalnya kepada paslon nomor 01 bisa mencapai 5 juta, paslon nomor 02 bisa mencapai 4 juta setiap bulan. Dan mereka itu rata-rata berasal dari 100 ribu akun, dan ini adalah kelompok milenial Facebook.

Jadi ternyata, kalau kita bicara soal kaum netizen dan milenial, ada 63,39 (persen) netizen itu dari Facebook, mereka tidak mengutarakan preferensi politiknya secara terbuka di timeline mereka. Artinya bukan berarti mereka tidak punya pilihan, ya. Mereka punya pilihan, tapi mereka sungkan untuk menyampaikan itu kepada masyarakat secara terbuka. Sementara sisanya, mereka sudah punya pilihan. Ada yang ke 01, ada yang milih 02, ada juga yang galau. Ini kalau di Facebook.

Di Twitter juga bisa kita lihat datanya. Kalau di Pilpres, sebenarnya tadi kelihatan kontestasi bulan ke bulan itu 250 sampai 350 ribu percakapan. Kontestasi ini semakin ketat dari hari ke hari, dan ini sampai tadi malam (28 Maret), persaingan semakin ketat. (Bisa) Kita lihat siapa saja yang banyak bicara soal Pilpres.

Politisi Partai Nasdem Tina Talisa, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat & Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi, Staf Ahli Menkominfo Hendri Subiakto, Direktur Komunikasi Indonesia Indikator Rustika Herlambang, dan Prita Laura memberi paparan saat Talkshow Politik Tanpa Hoax di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (29/3). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang (kanan), bersama narasumber lainnya dalam acara talkshow Politik Tanpa Hoax di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (29/3/2019). [Suara.com / Muhaimin A Untung]

Semakin dekat pemilihan (apakah) semakin banyak jumlah pembicaraannya?

Betul sekali. Ada peningkatan cukup tajam khususnya di wilayah Twitter, setiap kali menjelang Pilpres itu terjadi lonjakan yang luar biasa. Kalau dulu sebelum Januari hanya sekitar 1 juta percakapan, tapi sekarang itu bisa mencapai 5,6 juta dalam sebulan, hanya untuk berbicara paslon tertentu. Artinya ada tingkat kenaikan luar biasa terkait dengan jumlah percakapan dan jumlah akun.

Dan ada satu sisi menarik (lainnya) adalah kenaikan jumlah netizen perempuan. Jadi komposisi antara perempuan dan laki-laki bicara politik itu dulunya hanya di bawah 25 persen, mereka sepertinya kurang atau tidak bisa mengekspresikan pilihannya. Tapi ternyata menjelang Pilpres itu 35 sampai 40 persen. Menariknya lagi, setiap debat nih, debat itu rata-rata mencapai 40 persen (netizen perempuan).

(Jadi) Perempuan cukup vokal ya, untuk membicarakan debat?

Betul sekali. Dan hal yang satu lagi adalah terkait kaum milenial. Jadi ternyata, antara 75 sampai 80 persen mereka yang merespon soal politik dan Pilpres (itu) adalah kaum milenial.

Peran dari para buzzer di sini seperti apa? Tadi katanya robot-robot itu ada? Apakah akan ada lagi buzzer seperti Saracen yang terstruktur?

Kalau bicara buzzer dan mesin politik, itu terkait bagaimana kita bisa meningkatkan satu isu jadi sebuah trending topic. Jadi, trending topic itu salah satu hal yang menjadi perhatian netizen di mana pun.

Saya punya catatan menarik tentang buzzer. Jadi dulu itu, komposisi terkait dengan akun mesin sebelum ada kebijakan dari Kominfo, itu yang namanya buzzer bisa besar sekali. Bahkan saat saya live di Metro TV, itu buzzer-nya lebih dari 50 persen pada saat itu. Ternyata setelah ada kebijakan dari Kominfo, yang biasanya sangat tinggi itu tinggal 4 persen komposisinya jika dibandingkan dengan akun-akun manusia. Jadi secara jumlah juga sedikit. Cuma belakangan ini mulai naik lagi. Jadi buzzer sudah mulai meningkat, rata-rata 6 sampai 7 persen dari setiap komposisi percakapan.

Apakah seseorang yang tidak menyebarkan informasi sesuatu, tetapi dia mengemas percakapan sedemikian rupa menjadi seolah-olah pernyataannya sendiri, tapi menajamkan berita yang tersebar, (itu) masuk hoaks nggak?

Kayaknya (soal ini) nggak tepat kalau ke saya. Saya cuma bisa menjelaskan apakah hoaks itu bisa ditangkap atau tidak oleh netizen. Mungkin ada yang di bidang hukum yang bisa menjelaskan, apakah (itu) masuk hoaks atau tidak.

Kalau pertanyaannya dibalik, ditangkap nggak yang seperti itu oleh netizen?

Jadi, netizen itu dia bisa mengambil hoaks itu (berdasarkan) sesuatu yang 'seksi'. Jadi ada hoaks yang dia bisa masif, tapi juga ada hoaks yang sangat meresahkan. Seperti (soal) ibu-ibu itu, ternyata dia tidak banyak bergerak liar di media sosial. Jadi mereka sepertinya, kalau dikatakan by design, bisa jadi by design. Karena memang ada isu tertentu yang dia dipelihara, jadi tiap bulan ada, tapi juga ada isu yang sifatnya sekali selesai.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI