Batasan keonaran itu apa?
Menerbitkan keonaran berarti bahwa peristiwa bisa memunculkan kerusuhan atau keonaran. Nah ini, kalau kita pakai sebagai undang-undang hukum materiil, sangat sulit, karena harus tunggu ada kerusuhan beneran. Tapi kalau hukum formil, cukup berpotensi bisa. Persoalannya, banyak ahli hukum mengatakan ini hukum materiil harus tunggu kerusuhan. Jadi sebenarnya saya katakan, (soal) hoaks itu jauh dari aman, karena sulit digunakan pasal pidana.
Jadi kita nggak punya payungnya untuk menangkal hoaks?
Boleh dikatakan (jika) dari Dewan Pers menegakkan demokrasi, sekarang di Mahkamah Konstitusi aturan hukum yang mencoba menghilangkan kebebasan itu sudah nggak ada. Jadi kesulitan. Cuma masih ada, kalau misalnya dia menyebarkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras atau golongan, itu masih ada, masih bisa. Atau penghinaan terhadap seseorang masih bisa. Tapi kalau yang sudah terkait menyerang sistem dan sebagainya, tidak terkait keonaran, itu agak sulit. Ini yang saya katakan (bahwa) seharusnya negara ini darurat. Makanya sampai ada wacana UU Terorisme mau dipakai, sebenarnya itu kebingungan saja.
Baca Juga: Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden
Hoaks yang tersebar di Whatsapp cukup banyak, bukan hanya di media sosial Twitter, Facebook atau Instagram. Itu bagaimana?
Memang trennya, termasuk di Brazil itu di WhatsApp. Hoaks yang disebar di Brazil itu di WhatsApp. Bawaslu tidak bisa masuk ke WhatsApp, dan mesinnya juga nggak bisa masuk ke WhatsApp karena lebih privat. Tapi sekarang kita kerjasama terus dengan WhatsApp. Kenapa hanya membatasi forward sampai 5 (misalnya). Dulu nggak tertulis kalau itu diforward, sekarang ada tulisannya.
Ke depan, akan kita coba seperti yang di Brazil, walaupun lewat pengadilan, mereka bisa menghapus akun-akun yang secara teknologi dia kelihatan suka share yang sama.
Kalau WhatsApp dihapus, kan tinggal beli nomor baru?
Kalau nomor baru sudah ada mekanismenya, sudah tidak mudah lagi, selain KTP dan sebagainya. Ini masih dalam proses. Tapi nantinya kalau ada pelanggar pidana menggunakan nomor baru, suatu hari nanti, ini masih dibuat regulasinya, bisa hanya diblokir nomornya, bisa yang diblokir NIK (Nomor Identitas Kependudukan)-nya, sehingga nggak bisa dipakai lagi kalau dia ganti nomor baru dengan NIK yang sama. Jadi ini wacana yang sedang kita kembangkan di kementerian (Kominfo).
Baca Juga: Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet
Saya mau kembangkan sedikit mengenai literasi. Literasi yang perlu kita sampaikan ke publik. Tadi (dikatakan) banyak yang masih mendukung atau menyebarkan hoaks. Mereka (yang) menyebarkan hoaks itu akan kesulitan di masa depan, karena mereka akan sama saja dengan menunjukkan karakternya yang buruk sebagai pro kebohongan. Itu ditunjukkan dalam reputasi dirinya. Kalau mau jadi pegawai negeri, itu tidak hanya diperlukan surat kelakuan baik, tapi akan dilihat medsosnya. Bahkan ketika nanti kita bisa bekerjasama dengan para pemilik big data, itu tidak hanya itu, tapi semua perilaku digital kita bisa ketauan. Jadi kalau misalnya alim, tapi masih suka bukain bokep, itu ketahuan. Karena teknologi itu mencatat semua perilaku kita. Dia boleh dikatakan membantu Malaikat Rakib dan Atid, perilaku kita ada di situ semua. One day, pelaku kejahatan, pelaku penyebar hoaks (akan) ketahuan kok, dan akan merugikan dirinya sendiri.