Nah, kita juga yang dibuat hoaks (soal) imigran, tapi imigrannya TKA yang berada di negara lain dan mengancam mayoritas. Kalau ada antek asing dan sebagainya, di Amerika (tahun) 2016 sudah ada istilah traitor, ada pengkhianat di antara kita. Ini antek asing juga, yang kena Obama. Traitor berikutnya, Hillary Clinton. Bahkan ada pola-pola kalau isunya PKI, pulpen, surat suara. Nah, ini (soal) surat suara juga pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2016 di Ohio, bahwa surat suaranya sudah tercoblos Hillary ada (sebanyak) 10 ribu, dan yang menyebarkan namanya Christian Times, bukan New York Times. Kenapa? Kalau New York Times belum tentu dipercaya dan tidak mudah mengelabui.
Mengenai penggunaan microphone, sudah pernah terjadi. Jadi sudah pernah terjadi... kalau di Indonesia pulpen dan microphone kan. Itu sudah pernah terjadi. Jadi hoaks itu ada yang copy-paste, dalam mempelajari dan mempergunakan hoaks. Dan ini kita memang kalau cerdas, kita akan lihat bagaimana di beberapa negara.
Di Brazil juga sama, mayoritas di sana yaitu Katolik, ditakut-takuti. Kalau mayoritas ditakut-takuti, ya sama, (soal) agama akan hilang, pelajaran agama hilang, azan nggak boleh. Nanti lama-lama sunat juga (disebut) nggak boleh.
UU ITE senjata ampuh tidak, untuk melawan hoaks?
Baca Juga: Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden
Pertama, kalau ada yang mengatakan UU ITE alat untuk melawan hoaks, itu salah, karena UU ITE muncul di 2008, di era pemerintahan sebelumnya. Dan UU ITE itu dikatakan tidak mampu. Saya sebagai ketua (tim) revisi dari pemerintah. Kalau DPR ada Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, yang dari pemerintah saya ketuanya. Ini saya sering sekali dilibatkan sebagai saksi ahli, seringkali nggak bisa untuk mengurusi hoaks. Tidak mampu.
Tidak mampu kenapa? Apakah di pasalnya, atau lainnya?
Ini persepsi masyarakat saja. Ada yang menganggap UU ITE bisa menegakkan hukum dan menghilangkan hoaks. Itu persepsi masyarakat. Ketika persepsi itu muncul dan kuat, kasihan penegak hukum, karena ketika diurus, dilakukan pengusutan, nah lepas.
Jadi salah (kalau) kita mengharapkan UU ITE sebagai payung?
Dalam UU ITE, yang bicara tentang hoaks cuma satu pasal, yaitu pasal 28 ayat 1. Itu pun dikatakan kabar bohong yang merugikan konsumen. Mana ada hoaks merugikan konsumen? Sehingga (pasal) 28 ayat 1 tidak bisa dipakai. Akhirnya yang terjadi adalah penegak hukum menggunakan bukan UU ITE, tapi UU Nomor 1 Tahun 1946 yaitu UU tentang (Peraturan Hukum) Pidana. (Di situ) Ada pasal 14 yang menyatakan bahwa hoaks itu kabar bohong yang dibuat secara sengaja untuk memunculkan atau menerbitkan keonaran. Jadi hanya yang menerbitkan keonaran itu dalam UU Nomor 1 Tahun 1946. Kalau di UU ITE hanya penghinaan. Kalau penghinaan atau pencemaran nama baik, itu bisa masuk. Tapi kalau penghinaan pada Presiden atau hoaks yang menuduhkan seseorang itu, katakanlah Presiden, nah itu polisi nggak bisa melakukan penegakan hukum. Harus Presidennya datang, lapor, mengadu. Mana ada Presiden datang, melapor, mengadu (untuk itu)? Kalau hanya datang, lapor dan mengadu, waktunya habis hanya untuk itu.
Baca Juga: Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet
Saat SBY dulu jadi Presiden, melaporkannya melalui pengacara. Masalahnya Pak Jokowi tidak mengangkat pengacara pribadinya, sehingga akhirnya tidak bisa. Itu satu. Yang kedua, banyak yang namanya hoaks tidak menyerang pribadi, tapi menyerang sistem. Misalnya tadi, (bahwa) sudah ada kertas suara dicoblos. Mau siapa yang harus menuntut? Maka itu tidak bisa pakai UU ITE, bisa jadi pakai UU Nomor 1 Tahun 1946. Tapi banyak juga di UU itu tidak bisa, kalau dia tidak memunculkan keonaran, tapi hanya merusak cara berpikir.