Ini kenyataan yang tak bisa dihindari, tapi harus dipikirkan bersama, ketika keyakinan benar dan salah sudah kabur batasnya. Bagaimana (dengan itu)?
Pertama tadi, mengenai post-truth tadi, kebenaran itu dianggap sesuatu yang belum tentu benar kalau belum sesuai dengan apa yang kita sukai. Masyarakat sudah mengalami atau terhinggap penyakit bahwa kebenaran hanya sesuai dengan kesukaannya. Seorang profesor, walaupun dia profesor, dia guru besar, walaupun sudah keliling dunia, dia bisa dianggap tidak benar ketika tidak disukai apa yang dia sampaikan. Seorang ustadz dan seorang kiai sama saja, tiba-tiba dia jadi (dinilai) munafik ketika dia tidak disukai. Itu post-truth.
Dalam konteks seperti ini, memang sekarang yang bermain itu apa yang sekarang kita sebut bermain di media sosial. Media sosial-lah tempat untuk berperang opini, berperang hoaks, berperang informasi. Ada buku namanya "LikeWar: The Weaponization of Social Media" yang ditulis oleh Peter Singer. Peter Singer ini sangat terkenal sekali. Di Indonesia seharusnya terkenal karena bukunya sempat di-quote, yaitu berjudul Ghost Fleet yang mengatakan Indonesia akan musnah pada 2030.
Peter Singer mengatakan bahwa sosial media memang tempat perang. Kalau bisa menang perang di sosial media, maka bisa menang di dunia fisik di negara. Maka, itu yang terjadi di berbagai negara.
Baca Juga: Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden
Dengan adanya post-truth itu, meskipun ada data sekalipun, kalau kita tak suka, ya, akan susah mengungkapnya?
Ada beberapa survei yang dianggap bahwa survei itu bohong. Jadi survei itu kalau dianggap menguntungkan akan dipercaya, tapi tak percaya dari data yang sama pada survei yang sama. Jadi misalnya, ini capresnya, naik dia senang. Oh ini partainya akan hilang, dia nggak senang. Walaupun ini sudah satu survei. Jadi semua tergantung pada apa yang dia sukai.
Ketika hoaks ini menyebar, ada di mana-mana, kemudian ada penegakan hukum. Karena kita juga mencoba sebagai negara, karena negara itu mencoba kalau ada pelanggaran hukum, ya, dicoba ditegakkan. (Lalu) Muncul hoaks baru. Hoaks barunya apa? (Bahwa) Penegakan hukum itu merupakan bentuk kriminalisasi. Itu merupakan kezaliman yang baru yang terjadi. Sehingga sekarang hoaks itu sulit. Mau ditangani, muncul hoaks kriminalisasi atau penzaliman; mau tidak ditangani juga, ini mau jadi apa negara ini.
Ketika kemudian politik hoaks jitu untuk Pilpres, Pileg belum tentu. Praktik-praktik itu (apakah) sekarang masih ada?
Secara pengalaman, Donald Trump itu dianggap sebagai biang hoaks, sampai dikatakan persoalan post-truth mulai mengemuka setelah fenomena Donald Trump. Tapi Donald Trump berhasil jadi Presiden, Jair Bolsonaro di Brazil juga berhasil jadi Presiden. Artinya memang, ada orang yang memanfaatkan hoaks dan itu berhasil, berhasil dalam artian sukses mendapatkan kekuasaan. Kalau kita lihat dari beberapa negara, termasuk Indonesia, hoaks itu yang diserang adalah mayoritas. Yang ditakut-takuti segala macam "awas hilang azan" (misalnya) pasti mayoritas, bukan awas hilang lonceng gereja. Polanya sama dengan di luar negeri.
Baca Juga: Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet
Ada beberapa contoh di luar negeri. Misal (orang) Amerika tahu bahwa mayoritas kulit putih Amerika tidak suka dengan imigran. Dulu Amerika punya Ku Klux Klan yang rasisme, anti-kulit hitam dan sebagainya. Sekarang yang dibuat oleh Trump adalah menakut-nakuti kulit putih, bahwa kulit putih nanti akan kehilangan pekerjaan, kulit putih akan kedatangan imigran dari Timur Tengah dan terjadi Islamisasi. Jadi yang ditakut-takuti selalu mayoritas. Ini contohnya. Hoaks-hoaks ini membuat mereka semakin takut dengan imigran.