Henri Subiakto: Kalau Indonesia Otoriter, Mungkin Bisa Bebas Hoaks

Senin, 01 April 2019 | 23:48 WIB
Henri Subiakto: Kalau Indonesia Otoriter, Mungkin Bisa Bebas Hoaks
Ilustrasi profil Henri Subiakto, Staf Ahli Menkominfo. [Suara.com/Muhaimin/Grafis oleh Aldie]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jelang Pilpres 2019, kabar bohong atau hoaks makin sering muncul dan meresahkan warga. Tidak sedikit masyarakat yang nyaris tak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, lantaran kini perbedaan keduanya begitu samar, dan itu termasuk diakui oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Prof. Dr. Henri Subiakto.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun selama ini selalu dijadikan payung untuk berlindung dari serangan hoaks. Namun nyatanya, satu-satunya aturan yang mengatur mengenai aktivitas di dunia maya itu seringkali tak mampu membendung hoaks-hoaks yang bermunculan.

Prof. Henri Subiakto, dalam perbincangannya dengan Suara.com pada Jumat (29/3/2019), mengakui bahwa keberadaan UU ITE sama sekali tidak tepat dijadikan sebagai payung penangkal hoaks. Sebab menurutnya, berbagai pasal yang tertuang dalam peraturan perundangan itu memang tidak secara khusus diarahkan untuk menangkal hoaks.

Dari beberapa pasal yang ada dalam UU ITE, hanya ada satu pasal yang membahas soal hoaks yakni pasal 28 ayat 1. Namun, pasal itu pun tidak secara jelas mendefinisikan hoaks dan ancaman yang menjerat pelaku penyebarnya.

Baca Juga: Darmaningtyas dan PR Dunia Pendidikan untuk Dua Calon Presiden

Berikut hasil wawancara lengkap Suara.com dengan Henri Subiakto mengenai gejolak hoaks yang disebutnya hampir mirip dengan kasus di Pilpres Amerika Serikat, hingga ketidaksiapan UU di Indonesia dalam menangkal hoaks yang merebak.

Gambaran hoaks di dunia sudah mewabah seperti apa?

Hoaks itu, kalau tadi ada pertanyaan apakah politik itu bisa tanpa hoaks, saya katakan agak sulit, bahkan mungkin itu sesuatu yang utopia. Politik itu selalu ada tiga level. Level pertama level ideal; cita-cita banyak orang, banyak membicarakan teori ataupun filsafat. Ini biasanya di level ideal adalah orang-orang kampus atau aktivis, yang termasuk wartawan, yang memimpikan politik tanpoa hoaks.

Level kedua adalah level normatif, (terkait) aturan hukumnya seperti apa. Apakah mampu menghilangkan hoaks atau tidak itu level normatif. Yang ketiga level praktis. Nah, level praktis ini persoalan bagaimana mencapai kekuasaan, mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan. Pernyataan yang praktisnya justru sudah menjadi bagian political game, permainan politik di berbagai negara di era digital, di era post-truth tadi. Nah ini persoalannya. Dan kalau kita mau searching, banyak hoaks tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di setiap negara yang sedang ada Pilpres atau Pemilu. Itu hoaksnya banyak sekali dan ada tren yang hampir mirip-mirip.

Nah, kalau sudah seperti itu, karena apa? Dunia kan trennya bebas. Ada kebebasan, ada katakanlah, negara tidak seperti zaman otoriter. Kalau Indonesia otoriter, bisa tanpa hoaks. Tapi kalau negara Indonesia masih demokrasi, ada kebebasan, maka hoaks besar kemungkinan akan sulit sekali ditiadakan.

Baca Juga: Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet

Karena apa? Ini juga sempat tadi kita sampaikan, karena hoaks itu jauh lebih aman dibandingkan "Operasi Subuh", dibandingkan money politics, dan lebih murah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI