Mestinya kalau pemerintah mau mengembangkan vokasi itu , ketika menggaji seseorang dasarnya bukan pada tingkat pendidikan, tapi berdasar pada keahlian.
Kenapa? Karena bisa juga orang pendidikannya cuma STM misalnya, tapi keahliannya sama dengan S1 Teknik.
Kalau kemudian gajinya lebih tinggi yang S1 Teknik, malas juga lulusan STM yang punya keahlian tadi. Akhirnya mereka terpaksa mengejar gelar juga.
Jadi saya kira untuk pengembangan vokasi tidak semata-mata letaknya pada pembenahan di lingkungan pendidikan, tapi saya kira birokrasi rekrutmen pegawai harus juga dibenahi. Misalnya, saat saya merekrut staf, saya tak pernah tanya ijazahmu apa? tapi keterampilanmu apa? punya kemampuan apa?
Baca Juga: Makan Cokelat Setelah Mie Goreng Bikin Meninggal, Hoaks atau Fakta?
Kalau khusus Pilpres 2019, apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh si pemenangnya untuk membenahi dunia pendidikan?
Saya kira, kalau membaca visi misi Capres – Cawapres nomor urut 1 maupun 2, beberapa beririsan. Misalnya, penuntasan wajib belajar 12 tahun, peningkatan kualitas pendidikan, kemudian juga soal peningkatan kualitas vokasi.
Sekarang, yang menjadi persoalan adalah, apakah mereka sudah punya strategi untuk mewujudkan semua itu?
Misalnya, saat ini angka partisipasi pendidikan tinggi kita masih rendah. Warga berusia 18 tahun sampai 23 tahun yang menempuh jalur pendidikan tinggi baru sekitar 30 persen.
Nah, mestinya masing-masing calon punya target. Misalnya pada akhir jabatan mereka nanti, partisipasi warga pada pendidikan tinggi harus mencapai 50 persen.
Baca Juga: Jadi Pembicara Nasional, Rocky: Yang Kasih Saya Sertifikat Siapa?
Itu ukurannya jelas. Tapi kalau cuma menambah daya tampung atau lainnya, ya ukurannya tak jelas.