Intinya, 20 persen anggaran khusus pendidikan itu masih kurang?
Ya masih kurang. Karena dulu, menurut desain awalnya yang diperjuangkan, 20 persen anggaran khusus pendidikan itu di luar gaji guru dan dosen. Khusus untuk pengelolaan pendidikan.
Kalau soal kurikulum, apa sudah bisa membuat kita bersaing dengan sarjana luar negeri atau masih kuno?
Itu jawabannya ada pada penjelasan saya di awal. Ada sekolah-sekolah yang sudah bagus, termasuk sampai perguruan tinggi, sehingga kalau melanjutkan ke luar negeri bisa tanpa harus melewati matrikulasi. Artinya, kurikulum sekolah dan universitas Indonesia dengan luar negeri sudah cocok.
Baca Juga: Makan Cokelat Setelah Mie Goreng Bikin Meninggal, Hoaks atau Fakta?
Tapi, kurikulum kita sendiri banyak yang tak cocok dengan situasi di daerah-daerah. Misalnya daerah agraris, tapi kurikulum pendidikannya tak ada konten agraris.
Mestinya, melalui kurikulum, anak-anak didik mendapat bekal hidup mandiri yang sesuai daerahnya dan potensi lokal.
Kurikulum yang bersifat nasional harus ada, seperti Kewarganegaraan, Matematika, IPA, atau Bahasa Indonesia, dan Sejarah.
Tapi harus pula dimasukkan konten lokal yang praktis. Misalnya saja Pelajaran Sejarah, setiap daerah harus dimaksimalkan pengetahuan sejarah lokal.
Intinya, kurikulum nasional harus disesuaikan dengan potensi lokal. Dengan begitu, bagi anak didik di wilayah agraris, konten kurikulumnya harus sesuai. Begitu juga anak didik di wilayah perkebunan, daerah pesisir pantai. Jadi, saat mereka lulus, tidak merasa asing dengan lingkungan geografis dan ilmunya bisa diterapkan.
Baca Juga: Jadi Pembicara Nasional, Rocky: Yang Kasih Saya Sertifikat Siapa?
Sekarang, karena kurikulumnya tunggal di seluruh Indonesia, maka orientasi orang yang sekolah itu juga seragam: jadi PNS atau swasta. Jadi, kurikulum kita melahirkan orang-orang bermental pegawai.