Masalah-masalah pendidikan yang tampak jelas adalah, penyeragaman kurikulum tanpa menimbang kondisi geografis, keberagaman anak didik, serta ketersediaan infrastruktur. Alhasil, kurikulum justru menjadi beban bagi anak didik maupun guru.
Alokasi dana APBN dan APBD khusus untuk sektor pendidikan juga ternyata belum tuntas. Meski sudah diamanatkan konstitusi agar 20 persen dari total APBN/APBD diberikan untuk sektor pendidikan, masalah biaya ini terus mengemuka.
Persoalan lain yang juga cukup menyita perhatian pada sektor pendidikan adalah keberadaan guru honorer. Mereka masih banyak yang hidup jauh dari kesejahteraan. Padahal, kesejahteraan memengaruhi performa mereka saat mengajar.
Suara.com, pada hari Minggu (17/3) akhir pekan lalu, mengundang pakar dunia pendidikan Indonesia, Darmaningtyas untuk berbincang-bincang.
Baca Juga: Makan Cokelat Setelah Mie Goreng Bikin Meninggal, Hoaks atau Fakta?
Dalam perbincangan tersebut, Darmaningtyas mengungkap sejumlah persoalan mendasar dunia pendidikan yang harus diselesaikan oleh siapa pun Presiden dan Wapres RI nantinya.
Darmaningtyas sendiri, sudah sejak lama dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan sistem pendidikan gratis, ilmiah, dan bervisi kerakyatan.
Sebagai tokoh yang dikenal pakar pendidikan nasional, Darmaningtyas mengawali kariernya sebagai guru honorer di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul pada tahun 1982.
Di SMP Binamuda itu mulai tahun 1986, dia membuat eksperimen dengan mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Darmaningtyas juga pernah menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa. Sementara di ranah advokasi, ia merupakan salah satu motor penolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, serta yang mengajukan uji materi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: Jadi Pembicara Nasional, Rocky: Yang Kasih Saya Sertifikat Siapa?
Selain itu, Darmaningtyas menyumbang pemikirannya mengenai pendidikan melalui banyak buku di antaranya, Pendidikan pada dan Paska Krisis (Pustaka Pelajar, 1999); Pendidikan yang Memiskinkan (Galang Press, 2004); Pendidikan Rusak-rusakan (LKIS, 2005); serta, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan (2008).