Suara.com - Menjelang Pilpres 2019, pendidikan menjadi salah satu komoditas politik yang paling banyak ditawarkan para kandidat kepada calon konstituennya.
Capres dan Cawapres nomor 1 Jokowi – Maruf Amin misalnya, menawarkan sejumlah program jaringan pengaman sosial yang dinilai mampu menambal persoalan biaya pendidikan.
Mulai dari Kartu Indonesia Pintar khusus Mahasiswa, Kartu Prakerja buat lulusan sekolah dan universitas yang masih menganggur, hingga meningkatkan peran balai-balai pelatihan.
Sementara sang rival, Capres dan Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno menawarkan program yang menyasar pada aspek kebijakan strategis pendidikan.
Baca Juga: Makan Cokelat Setelah Mie Goreng Bikin Meninggal, Hoaks atau Fakta?
Contohnya, penghapusan sistem Ujian Nasional bagi siswa-siswi sekolah karena dianggap tak efektif dan efisien.
UN dinilai menjadi beban dan cenderung tak adil sebagai ukuran kemajuan kualitas anak didik. Tak hanya itu, dana anggaran untuk menggelar UN juga dianggap terlampau besar.
Namun, banyak pihak yang mempertanyakan, apakah program-program para kandidat tersebut bisa secara radikal mengubah potret buram dunia pendidikan nasional?
Publik boleh saja merasa skeptis, karena hampir memasuki usia 74 tahun kemerdekaan Indonesia, pendidikan masih dihinggapi banyak persoalan.
Sebagai bukti, kualitas pendidikan Indonesia secara global berada dalam peringkat yang tak bisa dibilang baik.
Baca Juga: Jadi Pembicara Nasional, Rocky: Yang Kasih Saya Sertifikat Siapa?
Menurut data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, kualitas pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang.