Suara.com - Johan Budi, dari menjadi jurnalis, lalu juru bicara KPK dan pimpinan KPK, kini dia bagian dari orang dalam Istana dan orang dekat Presiden Jokowi. Johan Budi pun kini mantap menjadi politisi dengan bergabung dengan PDI Perjuangan dan menjadi caleg daerah pemilihan Jawa Timur.
Perjalanan Johan Budi di kupas di Program Khusus Ngopi Sore Suara.com beberapa pekan lalu. Dalam Ngopi Sore, Johan Budi banyak cerita perjalanan kariernya sebagai jurnalis, penyuka motor dan pimpinan KPK.
Yang menarik, Johan Budi banyak cerita perngalamannya di KPK. Dia pernah diteror, ekstremnya ada teror tembak mati sampai santet ke KPK.
Johan Budi biasa dengan ancaman dan teror. Itu juga yang membuat Johan Budi mantap berpolitik.
Baca Juga: Johan Budi Tewas Tenggelam di Sungai
berikut wawancara lengkap Suara.com di Program Khusus Ngopi Sore:
Anda saat ini menjadi staf khusus kepresidenan, sebelumnya menjadi wakil ketua KPK. Apa perbedaan aktivitas Anda saat ini?
Aktivitas sehari-hari biasa lah mendampingi pak presiden atau kunjungan kerja atau ikut rapat terbats. Sehari-hari saya berkantor di Istana.
Latar belakang jurnalis, lalu menjadi jadi juru bicara KPK dan sempat jadi plt pimpinan KPK, lebih menikmati yang mana?
Saya cukup lama jadi jubir di KPK, 10 tahun lebih. Waktu itu dan tugas saya tak jauh berbeda dengan institusi saya dulu bekerja di KPK. Intinya saya memberi penjelasan tentang apa yang sedang, akan, atau sudah dilakukan oleh Pak Presiden Jokowi kalau sekarang.
Baca Juga: Johan Budi Bantah Ada Hubungan Istana dengan Asia Sentinel
Dulu menjelaskan apa yang sedang atau akan dilakukn KPK. Sama saja gitu ya. Cuma ruang lingkup persoalan lebih lebar di sini dibanding dulu saya di KPK. Kalau KPK kan fokus pada isu-isu pemberantasan korupsi, baik pencegahan maupun penindakan. Kalau sekarang lebih banyak berkaitan dengan politik.
Saya kira lebih lebar sekarang dibandingkan dari sisi apa yang harus dijelaskan public melalui media.
Bisa cerita singkat perjalanan pendidikan Anda sampai Anda menjadi jurnalis dan masuk Istana?
Setelah saya selesai kuliah di Universitas Indonesia, Fakultas Gas Petrokimia, saya sempat bekerja di teknik sesuai jurusan selama setahun.
Kemudian saya terjun menjadi jurnalis, wartawan waktu itu sekitar 11 tahun. Kemudian saya melamar ke KPK dan diterima di KPK kemudian ditunjuk sebagai jubir KPK. Saya masuk KPK tahun 2005.
KPK berdiri Desember 2003 baru punya pegawai yang direkrut dari luar itu 2005. Jadi saya angkatan pertama direkrut dari luar, maksudnya KPK merekrut tenaga bantuan dari kepolisian, kejaksaaan yang dikontrak KPK. Termasuk kementerian dan kelembagaan.
Pada 2005 ada seleksi dari orang umum, saya melamar keudian diterima akhirnya jadi jubir KPK sampai tahun 2015. Lalu, saya dipanggil Pak Presiden Jokowi diminta bergabung membantu di Istana.
Apakah sempat nolak permintaan Jokowi?
Saya kira karena presiden kita ini orangnya baik, yang penting tidak korupsi. Sehingga ketika ditawari ya saya mengiyakan.
Ada pengalaman berkesan selama jadi jurnalis?
Saya dulu, entah kebetulan tidak, lebih banyak meliput persoalan-persoalan hukum. Saya pertama masuk di Majalah Forum Keadilan tahun 1995. Kemudian 1999-2000 gabung dengan Majalah Tempo dan lebih banyak meliput hal berkaitan dengan politik dan hukum.
Saya pernah jadi redaktur investigasi di Majalah Tempo. Nggak jauh-jauh menulis tentang hukum berkaitan korupsi. Saya tertarik, kalau jurnalis hanya memberitakan, kenapa kita nggak ikut terjun langsung membantu kaitan dengan pemberantasan korupsi? Akhirnya itu saya melamar di KPK. Lalu, jadilah jubir KPK cukup lama juga.
Anda juga hobi motor, bisa cerita?
Saya dulu SMA sering ikut balap motor liar. Bukan balap motor yang resmi, nggak. Jadi dulu sama teman-teman zaman SMA dulu balapan. Rumah saya di Mojokoerto di pinggiran Surabaya.
Kalau iseng Sabtu malam minggu, jaman dulu orang pacaran, saya nggak pacaran tapi saya main motor, taruhan, balapan, sampai pernah mengalami kecelakaan juga. Saya memang senang banget naik motor. Terakhir saya jadi deputi di KPK, saya masih naik motor. Bukan saya nggak punya mobil, saya punya mobil.
Begitu jadi pimpinan, nggak boleh lagi naik motor. Jadi ada dikasih ajudan. Jadi nggak naik motor lagi. Sesekali saya naik motor.
Dulu motor saya Suzuki GP 100. Anda pasti nggak tahu karena kelahiran baru. Terus knalpotnya itu diganti, dimodif. Itu sering buat balapan liar tapi tahun 1980-an sekitar 984 atau 1983 baru masuk SMA.
Anda koleksi motor?
Nggak, saya punya motor cuma satu
Sempat ganti Vespa dan Pulsar?
Oh iya waktu di KPK sempat punya motor Pulsar India itu, kemudia ganti Vespa pernah juga. Jadi tidak fanatic pada satu merek ya, yang penting saya suka naik motor. Sampai sekarang. Kalau ke Istana boleh naik motor saya naik motor, tapi parkirnya susah.
Pernah ditegur satpam di Istana?
Nggak boleh masuk nanti, tapi saya suka. Saya sering kalau di rumah gitu iseng, sekarang nggak sempet lagi waktu sudah terlalu sibuk. Dulu sering kalau Sabtu malam naik motor saja keliling.
Anda sekarang menjadi juru bicara presiden, mana yang lebih enak?
Mengukur enak atau nggak enak darimana? Tapi kalau soal stress nggak stress, sekarang lebih nggak stress dibandingkan dulu. KPK itu stress benar, tekanannya terlalu tinggi. Sekarang saya kira, dari sisi beban stress lebih ringan dibanding KPK.
Tentu ada enak nggak enak juga, semua kerja gitu. Sebagai jurnalis juga gitu, kadang enak tapi kadang ada nggak enaknya juga kan. Sama saja menurut saya.
Saat ini Anda menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan. Anda pun izin dengan Jokowi. Bagaimana respon Jokowi saat itu?
Sekitar 4 bulan sebelum penutupan pendaftaran caleg, saya memang pernah ditawari. Kemudian saya masih pertimbangkan, saya berdiskusi dengan ibu saya. Tentu ada pro kontra, ada yang setuju dan tidak.
Kemudian setelah mendekati akhir saya izin ke pak presiden dan pak Jokowi mengizinkan kemudian memberi restu juga untuk saya ikut caleg sebagai caleg PDIP dapil 7 Jatim yaitu Ngawi, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ponorogo nomor urut 1.
Masuk Pilpres banyak serangan ke penyidik KPK, minta tanggapannya sebagai orang yang pernah di KPK?
Jadi sebenarnya teror intimidasi sudah terjadi sejak lama kepada lembaga KPK. Saya sendiri sering mengalami teror. Pimpinan KPK dulu juga pernah mengalami teror. Penyidik zaman dulu di KPK juga sama. Bahkan anda tidak tahu ada penyidik KPK yang sampai kakinya patah, ada dulu sampai lumpuh pernah ada juga di KPK. Tapi akhirnya sembuh.
Tapi dulu ada kebijakan memang tak tertulis itu tidak boleh dipublikasikan zaman dulu itu. Kenapa tidak boleh ditunlikasikan? Dulu zaman Pak Ruki jadi pimpinan kemudian Pak Antasari juga. Jangan sampai kalau kita publikasikan itu public menjadi tahu bahwa KPK itu gampang diteror, intimidasi dan takut.
Zaman dulu gitu, tak tertulis memang. Pernah diancam bom, pernah ada kalau kamu riset di pemberitaan ada ancaman tak hanya secara fisik tapi supranatural juga. Istilahnya santet gitu, bener itu ada unsur begitunya juga.
Kita bukan percaya klenik tapi memang ada ancaman begitu. Di gerbang KPK kita pernah temukan bungkusan kain putih, ada kulit kambing dikasih rajah. Saya nggak tahu maksudnya apa supaya KPK nggak ngusut apa saya nggak tahu.
Itu ditemukan, dibuang oleh seorang wanita. Pernah juga ditemukan di kamar mandi lantai 3, dulu belum yang digedung sekarang. Kalau dulu kita parkirnya di luar karena terbatas di luar, sering diganggu-ganggu.
Anda sudah masuk lingkaran Istana tanggapan Jokowi gimana soal kasus teror penyiraman air keras Novel yang mangkrak di kepolisian?
Tidak benar Pak Jokowi tidak melakukan apapun kepada Novel. Saat Novel mengalami penyiraman air keras di hari pertama, saya diperintahkan datang ke sana. Bahkan atas perintah Pak Jokowi, sampai kirim dokter kepresidenan ke sana, cuma nggak terekspos secara luas.
Saat itu kapolri langsung bentuk tim khusus untuk selidiki. Tapi bukan excuse, tentu polisi punya argumentasi. Saya nggak tahu sejauh mana bukti yang dikumpulkan pihak kepolisian.
Pak presiden sampai tiga kali ya secara khusus memanggil kapolri untuk menanyakan progress penyelidikan Novel waktu itu. Bahkan Kapolri juga pernah ekspos ke public melalui media mengenai progress penyelidikan yang dilakukan kepolisian terhadap kasus Novel Baswedan.
Ada polisi yang ditembak di depan gedung KPK. Coba anda riset, sampai hari ini tidak ketemu siapa pelaku penembakan terhadap polisi yang sampai meninggal dunia. Yang ingin saya katakana adalah bahwa tentu masing-masing kasus itu handycapnya beda-beda. Sekali lagi saya nggak tahu polri sejauh mana kesulitannya mengusut atau menyelidiki kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Saya tidak tahu sejauh mana kendalanya tapi tidak semua kasus itu bisa terungkap.
Saya ambil contoh itu polisi sendiri yang ditembak mati di tempat. Saya ikut menyksikan itu sehingga saya bisa cerita. Ada polisi yang ditembak sampai meninggal di depan KPK waktu itu sampai hari ini belum terungkap, siapa pelakunya. Dia penegak hukum juga.
Dari mana modal uang untuk nyaleg?
Saya terjun ke politik itu adalah sesuatu yang baru, saya kampanye juga nggak ngerti cara kampanye itu seperti apa. Tapi saya punya prinsip bahwa jadi atau tidak jadi bukan tujuan utama. Karena itu saya memegang prinsip yang memang selama ini jadi komitmen saya. Top record saya selama ini yang saya punya, saya nggak mau money politic.
Saya datang ke desa-desa. saya nggak mau kalau harus amplopin gitu. Yang saya tawarkan adalah komitmen tentu perlu biaya. Apa itu, yang saya butuhkan itu ke daerah perlu naik kendaraan, kalau dari sini kan biar cepat naik pesawat, sampai sana sewa mobil, biaya penginapan. Terus saya harus beli juga APK (Alat Peraga Kampanye) seperti kaos, stiker, itu pasti ada biaya-biaya itu untuk itu.
Kalau gagal jadi caleg gimana?
Biasa saja tadi seperti yang saya bilang, jabatan itu jangan ditaruh di hati, tapi di tangan. Nggak jadi anggota DPR mati nggak? Saya kira nggak.
Banyak sekali lahan pengabdian yang bisa saya lakukan, banyak yang masih bisa saya lakukan kalau nggak jadi anggota DPR. Kalau itu jadi DPR tujuan yang utama kemudian nggak jadi, ada caleg yang jadi gila. Ya gila aja orang itu, ngapain, nggak jadi anggota DPR kok jadi gila.
Biasa saja buat saya, kalau saya nggak jadi, saya bisa jadi jurnalis lagi banyak juga yang tawarin.