Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet

Selasa, 05 Maret 2019 | 14:21 WIB
Johan Budi: Teror KPK dari Kaki Patah, Penembakan Misterius, sampai Santet
Ngopi Sore Bersama Johan Budi SP (Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Anda sekarang menjadi juru bicara presiden, mana yang lebih enak?

Mengukur enak atau nggak enak darimana? Tapi kalau soal stress nggak stress, sekarang lebih nggak stress dibandingkan dulu. KPK itu stress benar, tekanannya terlalu tinggi. Sekarang saya kira, dari sisi beban stress lebih ringan dibanding KPK.

Tentu ada enak nggak enak juga, semua kerja gitu. Sebagai jurnalis juga gitu, kadang enak tapi kadang ada nggak enaknya juga kan. Sama saja menurut saya.

Saat ini Anda menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan. Anda pun izin dengan Jokowi. Bagaimana respon Jokowi saat itu?

Baca Juga: Johan Budi Tewas Tenggelam di Sungai

Sekitar 4 bulan sebelum penutupan pendaftaran caleg, saya memang pernah ditawari. Kemudian saya masih pertimbangkan, saya berdiskusi dengan ibu saya. Tentu ada pro kontra, ada yang setuju dan tidak.

Kemudian setelah mendekati akhir saya izin ke pak presiden dan pak Jokowi mengizinkan kemudian memberi restu juga untuk saya ikut caleg sebagai caleg PDIP dapil 7 Jatim yaitu Ngawi, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ponorogo nomor urut 1.

Masuk Pilpres banyak serangan ke penyidik KPK, minta tanggapannya sebagai orang yang pernah di KPK?

Jadi sebenarnya teror intimidasi sudah terjadi sejak lama kepada lembaga KPK. Saya sendiri sering mengalami teror. Pimpinan KPK dulu juga pernah mengalami teror. Penyidik zaman dulu di KPK juga sama. Bahkan anda tidak tahu ada penyidik KPK yang sampai kakinya patah, ada dulu sampai lumpuh pernah ada juga di KPK. Tapi akhirnya sembuh.

Tapi dulu ada kebijakan memang tak tertulis itu tidak boleh dipublikasikan zaman dulu itu. Kenapa tidak boleh ditunlikasikan? Dulu zaman Pak Ruki jadi pimpinan kemudian Pak Antasari juga. Jangan sampai kalau kita publikasikan itu public menjadi tahu bahwa KPK itu gampang diteror, intimidasi dan takut.

Baca Juga: Johan Budi Bantah Ada Hubungan Istana dengan Asia Sentinel

Zaman dulu gitu, tak tertulis memang. Pernah diancam bom, pernah ada kalau kamu riset di pemberitaan ada ancaman tak hanya secara fisik tapi supranatural juga. Istilahnya santet gitu, bener itu ada unsur begitunya juga.

Kita bukan percaya klenik tapi memang ada ancaman begitu. Di gerbang KPK kita pernah temukan bungkusan kain putih, ada kulit kambing dikasih rajah. Saya nggak tahu maksudnya apa supaya KPK nggak ngusut apa saya nggak tahu.

Itu ditemukan, dibuang oleh seorang wanita. Pernah juga ditemukan di kamar mandi lantai 3, dulu belum yang digedung sekarang. Kalau dulu kita parkirnya di luar karena terbatas di luar, sering diganggu-ganggu.

Anda sudah masuk lingkaran Istana tanggapan Jokowi gimana soal kasus teror penyiraman air keras Novel yang mangkrak di kepolisian?

Tidak benar Pak Jokowi tidak melakukan apapun kepada Novel. Saat Novel mengalami penyiraman air keras di hari pertama, saya diperintahkan datang ke sana. Bahkan atas perintah Pak Jokowi, sampai kirim dokter kepresidenan ke sana, cuma nggak terekspos secara luas.

Saat itu kapolri langsung bentuk tim khusus untuk selidiki. Tapi bukan excuse, tentu polisi punya argumentasi. Saya nggak tahu sejauh mana bukti yang dikumpulkan pihak kepolisian.

Pak presiden sampai tiga kali ya secara khusus memanggil kapolri untuk menanyakan progress penyelidikan Novel waktu itu. Bahkan Kapolri juga pernah ekspos ke public melalui media mengenai progress penyelidikan yang dilakukan kepolisian terhadap kasus Novel Baswedan.

Ada polisi yang ditembak di depan gedung KPK. Coba anda riset, sampai hari ini tidak ketemu siapa pelaku penembakan terhadap polisi yang sampai meninggal dunia. Yang ingin saya katakana adalah bahwa tentu masing-masing kasus itu handycapnya beda-beda. Sekali lagi saya nggak tahu polri sejauh mana kesulitannya mengusut atau menyelidiki kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Saya tidak tahu sejauh mana kendalanya tapi tidak semua kasus itu bisa terungkap.

Saya ambil contoh itu polisi sendiri yang ditembak mati di tempat. Saya ikut menyksikan itu sehingga saya bisa cerita. Ada polisi yang ditembak sampai meninggal di depan KPK waktu itu sampai hari ini belum terungkap, siapa pelakunya. Dia penegak hukum juga.

Dari mana modal uang untuk nyaleg?

Saya terjun ke politik itu adalah sesuatu yang baru, saya kampanye juga nggak ngerti cara kampanye itu seperti apa. Tapi saya punya prinsip bahwa jadi atau tidak jadi bukan tujuan utama. Karena itu saya memegang prinsip yang memang selama ini jadi komitmen saya. Top record saya selama ini yang saya punya, saya nggak mau money politic.

Saya datang ke desa-desa. saya nggak mau kalau harus amplopin gitu. Yang saya tawarkan adalah komitmen tentu perlu biaya. Apa itu, yang saya butuhkan itu ke daerah perlu naik kendaraan, kalau dari sini kan biar cepat naik pesawat, sampai sana sewa mobil, biaya penginapan. Terus saya harus beli juga APK (Alat Peraga Kampanye) seperti kaos, stiker, itu pasti ada biaya-biaya itu untuk itu.

Kalau gagal jadi caleg gimana?

Biasa saja tadi seperti yang saya bilang, jabatan itu jangan ditaruh di hati, tapi di tangan. Nggak jadi anggota DPR mati nggak? Saya kira nggak.

Banyak sekali lahan pengabdian yang bisa saya lakukan, banyak yang masih bisa saya lakukan kalau nggak jadi anggota DPR. Kalau itu jadi DPR tujuan yang utama kemudian nggak jadi, ada caleg yang jadi gila. Ya gila aja orang itu, ngapain, nggak jadi anggota DPR kok jadi gila.

Biasa saja buat saya, kalau saya nggak jadi, saya bisa jadi jurnalis lagi banyak juga yang tawarin.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI