Suara.com - Islam kembali beranjak naik ke pentas politik nasional, setelah sempat berada di pinggiran pentas selama puluhan tahun pada era Orde Baru. Sejak era awal reformasi hingga kekinian, kekuatan kelompok Islamis perlahan mulai mewarnai dan terus mencoba mendominasi.
Kebangkitan Islam politik di Indonesia pada zaman reformasi kali pertama ditandai dengan bermunculannya partai-partai politik dengan beragam varian, dan tampil sebagai peserta Pemilu 1999.
Dalam prosesnya, organisasi politik Islam arus utama yang mampu bertahan hingga kekinian adalah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Namun, di luar parpol-parpol tersebut, ada pula organisasi-organisasi massa berbasis Islam yang mampu tampil sebagai grup penekan alias pressure group. Misalnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Baca Juga: Sudah Pilih Jokowi, Warga Tabanan Bali Tolak Sandiaga
Tak hanya itu, kekinian, terdapat ormas Islam lain yang cenderung baru juga muncul ke pentas politik sebagai kelompok penekan seperti FPI, GNPF Ulama, dan beragam varian organisasi 212.
Kelompok Islam politik yang disebut belakangan justru paling banyak disorot oleh media-media massa. Sebab, di satu sisi, mereka mampu memobilisasi massa secara besar dalam demonstrasi-demonstrasi yang bertujuan politis.
Tapi di lain sisi, ada pula yang menilai kelompok-kelompok tersebut tak memunyai visi dan misi yang jelas, atau hanya sebagai kendaraan politik pragmatis.
Terbaru, kelompok-kelompok tersebut menggelar acara bertajuk Munajat 212 yang dinilai banyak pihak bernilai politis menjelang Pilpres 2019, dan disorot negatif karena terdapat insiden intimidasi terhadap jurnalis.
Acara yang diadakan di Monas pada hari Kamis (21/2/2019) tersebut dinilai politis, karena turut dihadiri sejumlah politikus pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.
Baca Juga: Jokowi: Kalau Ada yang Mau Mengembalikan Tanah, Saya Tunggu Sekarang!
Terlepas dari penilaian itu, kiprah kelompok Islam politik yang relatif baru lahir tersebut mampu unjuk gigi seperti melalui aksi berjilid-jilid yang menyerang Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama—calon gubernur petahana DKI Jakarta pada Pilkada 2017.
ABC, kantor berita Australia, pada Rabu (17/5/2017) atau setelah Pilkada DKI selesai, menerbitkan artikel menarik, yakni menyebut kemenangan mengejutkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai kemenangan kaum radikalis Muslim.
Namun, Vedi R Hadiz—ilmuwan sosial Indonesia yang menjadi Professor of Asian Studies di Asia Institute, University of Melbourne, Australia—memunyai penilaian berbeda.
Menurutnya, Pilkada DKI yang dianggap sebagai miniatur pertarungan Pilpres 2019 bukanlah palagan yang dimenangkan oleh kaum radikalis Islam ataupun populisme Islam.
Begitu pula gerakan-gerakan dari sejumlah kelompok Islamis menjelang Pilpres 2019, baik yang mendukung Prabowo – Sandiaga maupun Jokowi – Maruf Amin.
Menurut Vedi, pemenang dalam Pilkada DKI 2017 justru adalah klik oligarkis atau segelintir orang yang menguasai sumber daya politik maupun ekonomi skala besar.
"Sebenarnya pihak pemenang seperti dalam Pilkada DKI itu adalah sebuah faksi oligarki politik di Indonesia yang telah memobilisasi sentimen populisme Islam," ujar Profesor Vedi.
Ia mengatakan, identitas politik Islam yang secara tradisi selalu berada di tengah pentas politik Indonesia selalu terfragmentasi atau terbelah-belah.
Karenanya, tidak pernah ada satu organisasi politik yang tunggal sebagai representasi keinginan ”umat”. Kata ”umat” sendiri diartikan Vedi sebagai terminologi pengganti ”rakyat” (the people) dalam skema pemikiran populisme.
Ketika kekuatan Islam politik tersebut terserak, massa pendukungnya menjadi sasaran empuk bagi kelompok atau elite untuk dimobilisasi demi kepentingan mereka sendiri.
Vedi menuturkan, mobilisasi politik identitas Islam yang terfragmentasi tersebut, mensyaratkan adanya kontroversi yang konstan sehingga upaya itu efektif serta berhasil.
"Kontroversi konstan ini membuat kepentingan oligarki yang kental serta sentimen keterpinggiran umat Islam bisa saling mendukung. Justru hal tersebut yang dilakukan Ahok saat itu, yaitu menyediakan kontroversi tersebut," terangnya.
Atas dasar argumentasi itulah, Vedi menilai kaum radikalis Islam bukan pihak yang menjadi pemenang dalam pilkada di ibu kota tersebut, “Lebih tepatnya, suatu bagian dari oligarki yang menang di Jakarta dengan menggunakan Islam,” imbuhnya.
Meski begitu, Vedi menegaskan penilaiannya itu tidak bisa diartikan situasi intoleransi yang berkembang di Jakarta maupun daerah lain di Indonesia merupakan fenomena wajar.
"Situasi seperti itu justru menunjukkan taktik tersebut (elite oligarkis memobilisasi sentimen Islam terpinggirkan) bisa berhasil dan mungkin akan kembali digunakan di masa depan,” tukasnya.
Menurut Vedi, fenomena oligarkis memobilisasi sentimen Islam itu adalah dampak dari peningkatan “illiberalisme” demokrasi di Indonesia.
"Sebab, yang ada adalah sejenis demokrasi dan sejenis Islam yang kurang respek terhadap keberagaman sosial dan hak-hak minoritas," terangnya.
Konsep illiberalisme demokrasi sering pula disebut sebagai "demokrasi kosong", yakni sistem demokrasi yang meskipun melaksanakan pemilu, warga secara umum tidak mengetahui kegiatan para pemegang kekuasaan politik karena kurangnya kebebasan sipil.
***
Vedi R Hadiz adalah Direktur dan Profesor Studi Asia di Asia Institute dan Asisten Wakil Rektor Internasional, University of Melbourne Australia.
Dia sebelumnya adalah Profesor Asian Societies and Politics di Asia Research Centre Murdoch University. Ia juga Direktur Program Penelitian Indonesia. Vedi tercatat sebagai Future Fellow Dewan Riset Australia pada 2010-2014.
Profesor Vedi R Hadiz mendapat gelar PhD dari Murdoch University pada tahun 1996. Setelahnya, ia menjadi profesor di Departemen Sosiologi National University of Singapore hingga 2000.
Seusai mengajar di NUS, Vedi sempat kembali ke Murdoch University pada tahun 2010 sebelum mengajar di University of Melbourne Australia.
Minat penelitiannya adalah pada bentang keilmuan sosiologi politik dan masalah ekonomi politik, terutama yang terkait dengan kontradiksi pembangunan di Indonesia dan Asia Tenggara, dan baru-baru ini merambah ke Timur Tengah.
Profesor Vedi R Hadiz juga menjadi dosen serta profesor tamu di Advanced Studies in the Social Sciences (EHESS) Prancis; International Institute of Social Studies di Belanda; Centre of Southeast Asian Studies at the University of Kyoto Jepang; Department of Humanities and Social Sciences at the Indian Institute of Technology - Delhi India; dan, Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia.
Buku terbaru Profesor Vedi R Hadiz berjudul Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (Cambridge University Press) tahun 2016.
Sebelumnya, ia juga menulis buku Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford University Press 2010); dan, Workers and the State in New Order Indonesia (Routledge 1997);
Selain itu, bersama Indonesianis Richard Robison, Vedi R Hadiz menulis buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Routledge Curzon 2004).
Ia juga menyumbang naskah sekaligus editor buku Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia (Palgrave Macmillan 2014); dan, Empire and Neoliberalism in Asia (Routledge 2004).
Sementara artikel-artikelnya bisa disimak pada banyak jurnal ilmiah seperti Development and Change; New Political Economy; International Political Science Review; Democratization; Journal of Development Studies; Pacific Review; Pacific Affairs; Third World Quarterly; Journal of Contemporary Asia; Critical Asian Studies; Indonesia; Inter-Asia Cultural Studies; dan Historical Materialism.
Suara.com beberapa waktu lalu melakukan korespondensi via surat elektronik dengan Profesor Vedi R Hadiz, khusus membahas geliat populisme Islam di Indonesia menjelang Pilpres 2019. Simak wawancara selengkapnya ini:
Apakah varian populisme, termasuk populisme Islam cenderung konservatif atau justru bernilai progresif? Sebab, menjelang Pilpres 2019, populisme kerapkali diartikan secara negatif semisal gerakan intoleran. Padahal, seperti Chantal Moufffe—teoritikus politik kontemporer dari University of Westminster—justru menilai populisme sebagai kekuatan progresif dalam tatanan politik liberal.
Populisme itu tidak secara inheren progresif atau konservatif, demikian juga populisme Islam. Jadi jika populisme secara serta-merta diidentikkan dengan intoleransi, itu sebetulnya keliru.
Namun, memang sebagian besar bentuk populisme yang berkembang di dunia saat ini berwatak konservatif. Demikian juga populisme Islam.
Mengapa populisme bisa progresif atau konservatif? Sangat terkandung kondisi sosial historis yang melahirkannya, basis sosialnya, konstelasi kekuatan sosial secara lebih menyeluruh—yang semuanya membentuk agenda sosial populisme itu sendiri, termasuk dalam varian Islamnya.
Jadi, populisme yang diusung Syriza di Yunani atau Podemos to Spanyol – walaupun sifat kendaraannya amat berbeda – boleh dibilang cenderung progresif.
Syriza (bahasa Yunani: Synaspismós Rizospastikís Aristerás), adalah koalisi partai-partai sayap kiri dan kiri radikal. Kekinian, Syriza menjadi partai politik.
Sedangkan Podemos adalah partai politik sayap kiri di Spanyol. Partai ini didirikan pada bulan Maret 2014 setelah demonstrasi Gerakan 15-M melawan kesenjangan pendapatan dan korupsi oleh Pablo Iglesias.
Tapi tidak demikian dengan populisme Donald Trump di Amerika Serikat; British National Party dan UK Independence Party—partai sayap kanan di Inggris; Le Pen—pemimpin Front National yang merupakan partai neo-fasis di Prancis; Geert Wilders (pemimpin Partai untuk Kebebasan Belanda); Orban; atau Modi di India, dan sebagainya.
Populisme Islam pun cenderung hadir dalam bentuk yang konservatif, karena kebutuhan untuk membangun aliansi antarbagian-bagian masyarakat yang sangat berbeda—tapi sama-sama merasa dirugikan oleh sistem sosial yang ada, lewat solidaritas umat yang dibangun dengan memakai simbol-simbol keislaman.
Hasilnya adalah, bahasa politik yang amat sarat dengan kandungan moralitas–tapi yang berdasarkan interpretasi doktrin yang amat kaku. Interpretasi macam itu berguna karena mudah dipakai untuk membedakan mana yang termasuk umat dan mana di luar mereka.
Apakah ada perbedaan antara Populisme Islam di Indonesia dan negara-negara lain? Kalau ada seperti apa dalam tataran teori maupun praktiknya? dan populisme Islam di Indonesia cenderung bisa dimaknai positif atau negatif?
Populisme Islam di Indonesia itu sebetulnya lebih banyak bunyinya daripada isinya. Sebetulnya, hal itu mencerminkan bahwa lepas dari sifatnya yang kadang-kadang mampu menciptakan ‘spectacle’ (pertunjukan besar) politik, populisme Islam di Indonesia masih bersifat cukup rentan.
Beda dengan populisme Islam di Turki misalnya, yang secara lebih utuh mempersatukan elemen-elemen masyarakat yang berbeda lewat bahasa politik Islam. Mereka mampu merangkul sebagian kelas pemodal—terutama dari daerah Anatolia—yang sebelumnya kalah bersaing dengan pemodal Istanbul.
Populisme Islam di Turki juga bisa mempersatukan kelas menengah terdidik kota baru yang semakin relijius; serta, kaum miskin yang tidak punya kendaraan politik, tetapi mendapatkan keuntungan dari karitas (bantuan) negara yang bersumber dari pemodal berkultur Islam.
Musuhnya populisme Islam di Turki juga jelas: aliansi bisnis, militer dan birokrasi era Kemalisme. Tujuannya pun jelas, mengambil alih kuasa terhadap negara dan sumber daya ekonomi untuk kepentingan mereka yang merasa dahulu dipinggirkan oleh Kemalisme, dan struktur kekuasaan yang dibangunnya.
Sementara di Indonesia, tiadanya kelas pemodal besar yang betul-betul mewakili kepentingan umat, membuat populisme Islam cenderung berpijak pada kelas menengah kota.
Mereka tidak mempunyai sumber daya untuk memobilisasi massa, meskipun mengembangkan bahasa politik yang mempersamakan umat dengan kaum yang tertindas.
Akibatnya, populisme Islam di Indonesia jadi mainan faksi oligarki—turunan Orde Baru—yang berkompetisi, karena merekalah yang memiliki sumber daya.
Perlu diingat, belum tentu juga para wakil populisme Islam, apalagi umat secara keseluruhan, akan diuntungkan bila faksi oligarki tersebut ‘menang’.
Apakah ada perbedaan antara gerakan Islam Politik pada era Soekarno, Orde Baru, dan saat ini?
Populisme Islam, di mana pun juga, terus berevolusi. Pada zaman Soekarno dan sebagian Orde Baru, basis sosial populisme terutama ditemukan pada golongan pengusaha kecil berkultur Islam yang posisi sosialnya sudah terancam sejak zaman kolonial.
Populisme Islam ini diekspresikan lewat berbagai kendaraan politik dan sosial, tetapi tidak mampu berkompetisi untuk menguasai negara dan ekonomi pada masa awal pasca-kolonial. Mereka kalah dari aparat birokrasi sipil maupun militer yang cenderung mengembangkan ideologi Nasionalisme.
Sementara pada zaman Soeharto, ada elemen-elemennya yang ke ‘bawah tanah’ dan menjadi gerakan yang dihantam aparat represi negara karena dianggap anti-Pancasila.
Namun, berkembangnya kelas menengah kota yang lebih relijius pada tahun 1980an dan 1990an sedikit mengubah sifat basis sosial riil/potensial tersebut.
Pada era itu, basis massa populisme Islam adalah kelas menengah yang semakin terdidik, beraspirasi sosial tinggi, tapi yang mobilitas sosialnya agak mandek karena sistem kekuasaan dan ekonomi dikuasai pihak yang dianggap bukan bagian dari umat.
Kekuatan Islam politik di Indonesia, terutama yang mainstream seperti NU, Muhammadiyah, masuk dalam pertarungan elite semisal dalam Pemilu atau Pilpres 2019. Bagaimana anda menilai hal ini? Apa merugikan atau justru menguntungkan Islam politik? Apakah mereka bisa memasukkan agenda-agenda alias kepentingan rakyat atau justru hanya menguntungkan segelintir elite ormas?
NU dan Muhammadiyah dalam sejarahnya cenderung berusaha untuk berdamai dengan sistem kekuasaan yang ada, walaupun kadang-kadang menjadi sumber protes juga.
Namun, kedua organisasi ini sekarang mengalami masalah, karena bahasa politik ‘moderat’-nya kalah ‘seksi’ dengan bahasa politik ‘galak’ dari organisasi-organisasi lain yang sebetulnya masih relatif baru.
Tapi terutama bagi anak muda kelas menengah dan menengah bawah yang membludak dan agak frustrasi terhadap kondisi sosial dan khawatir akan masa depan mereka, bahasa politik galak tersebut akan jauh lebih menarik.
Sebab, yang sebetulnya dilontarkan adalah ide bahwa umat sudah dari dulu tertindas dan terpinggirkan oleh keserakahan ekonomi pihak non-umat yang tadinya didukung Belanda, dan kemudian oleh aparatur negara yang korup.
Solusi yang diberikan juga gampang: kurang lebih, negara yang dipimpih oleh orang bermoral, yang mempunyai kaidah-kaidah moral yang jelas sehingga segala jenis ketidakadilan, termasuk ketidakadilan sosial, bisa teratasi.
Ada pula kelompok Islam politik yang tak berbentuk partai—apalagi ikut pemilu—tapi memunyai kekuatan untuk tawar-menawar dengan elite politik. Apakah mereka sudah mencerminkan kekuatan Islam politik yang baik atau justru hanya menjadi alat?
Tentunya mereka tidak merasa sebagai alat karena mempunyai niat untuk turut serta dalam kompetisi kekuasaan sebagai agen yang otonom.
Mungkin keberhasilan membawa ratusan ribu orang pada sejumlah aksi memberikan keyakinan diri tertentu.
Namun, sebenarnya keberhasilan itu tercapai dalam konteks adanya persaingan sengit antarfaksi oligarki menjelang pilkada, pilpres, atau pemilu.
Mereka belum memunyai organisasi sampai ke akar rumput dan bersifat koheren untuk memelihara loyalitas massa, di luar waktu-waktu yang penuh gejolak politik seperti ketika ada pemilihan umum.
Maka gejolak itu pun sewaktu-waktu harus dibikin, untuk mempertahkan ’eksistensi’ politik di luar masa pemilihan itu.
Jadi, saat ini, kelompok Islam politik dan faksi oligarki mungkin lebih tepat dikatakan saling memanfaatkan.
Namun, bargaining position kelompok Islam politik terhadap oligarki dapat segera memudar setelah pilkada/pemilu.
Contohnya adalah bagaimana FPI dikesampingkan dalam perayaan kemenangan Anis Baswedan tahun 2017.
Kelompok Islam politik menilai aksi-aksi mereka hingga berkecimpung dalam dukung-mendukung pasangan calon pilpres adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi atau penindasan negara terhadap Islam, apa benar begitu? Bagaimana dari kaca mata historisitasnya di Indonesia?
Narasi yang dipergunakan adalah, memang, mereka mewakili umat yang sama dengan kelompok tertindas sejak zaman kolonial hingga masa awal kemerdekaan, hingga masa Orde Baru dan zaman demokrasi sekarang.
Di situlah simbol-simbol keumatan bertemu dan bergumul dengan perjuangan ekonomi politik konkret. Tetapi, menurut saya – kalau kita bicara pemilu 2019 misalnya– siapa pun yang menang tidak akan mengubah kondisi ketidakadilan sosial di Indonesia.
Sebab, kedua belah pihak (dua peserta Pilpres 2019) didukung oleh faksi-faksi oligarki yang sama-sama memuat kepentingan untuk mempertahankan sistem yang menjamin akumulasi modal dan kekuasaan di tangan segelintir orang.