Suara.com - Dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo Subianto, banyak mengumbar retorika mengenai persoalan energi, sumber daya alam, pangan, lingkungan hidup, dan infrastruktur dalam Debat kedua Pilpres 2019 yang digelar KPU di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (17/2/2018) malam.
Sesudahnya, tim sukses kedua capres itu saling klaim kemenangan. Juru Bicara TKN Jokowi – Maruf Amin, Aceh Hasan Syadzily misalnya, mengklaim Jokowi memenangkan debat kedua tersebut dengan skor 6-0 karena.
Sebab, menurut politikus Partai Golkar tersebut, Jokowi menguasai masalah dan menyampaikan capaian keberhasilan.
"Sementara Prabowo hanya bicara normatif dan banyak mengakui keberhasilannya Jokowi dalam banyak hal," kata Ace, Senin (18/2/2019).
Baca Juga: Sibuk, Meldi Keponakan Dewi Perssik Belum Siap Diperiksa
Dalam pemaparan visi dan misi menurut dia, Jokowi memaparkan visi dengan menjelaskan capaian dan langkah yang lebih konkret dan realistis.
Sementara Prabowo, menurut dia, bicara soal kemandirian namun tidak menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan untuk mendukung ke arah terwujudnya kemandirian tersebut.
"Prabowo melangit, Jokowi membumi. Prabowo bicara soal kemandirian namun tidak menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan untuk mendukung ke arah terwujudnya kemandirian tersebut," ujarnya.
Sementara Jubir BPN Prabowo – Sandiaga, Ferry Juliantono mengatakan klaim kemenangan 6-0 itu tidak berdasar. Sebaliknya, ia menglaim justru dalam debat tersebut Prabowo menang telak 6-0.
Dia menjelaskan, dalam debat tersebut Prabowo menegaskan tidak ingin impor karena beberapa komoditas pangan bisa diproduksi di dalam negeri.
Baca Juga: Ini Barang-barang Pribadi Bamsoet yang Ludes Dilalap Si Jago Merah
"Untuk mengatasi harga di tingkat konsumen tidak harus dengan impor dan sebenarnya untuk menyediakan harga yang terjangkau tidak harus impor namun memotong mata rantai produksi," ujarnya.
Ferry mengatakan, pada sektor kemandirian energi, Prabowo ingin membangun industri yang memiliki nilai tambah di migas, tambang dan mineral.
Sementara dalam sektor infrastruktur, Prabowo ingin membangun infrastruktur yang berkaitan dengan peningkatan produksi rakyat dan menyoroti tidak efisiennya biaya infrastruktur.
"Prabowo dalam debat menghindari menyudutkan pribadi namun sebaliknya Jokowi menyebutkan tanah yang sebenarnya bukan milik Prabowo namun itu hak guna usaha yang pada periode tertentu dikembalikan kepada negara," katanya.
Namun, terlepas dari klaim kemenangan masing-masing kubu beserta “bumbu-bumbu” tudingan semisal pulpen canggih Jokowi atau Prabowo yang gagal paham soal unicorn, ternyata banyak hal-hal yang tak diperdebatkan dalam arena tersebut.
Peneliti Auriga, Syahrul Fitra, dalam perbincangannya dengan Suara.com, sudah menduga isu-isu yang diperdebatkan oleh Jokowi – Prabowo tak bakal menyentuh persoalan esensial mengenai energi, infrastruktur, SDA, lingkungan hidup, maupun pangan.
Padahal, kata Syahrul, persoalan-persoalan esensial tersebut penting dikemukakan oleh kedua capres agar publik mengetahui secara utuh situasi konkret Indonesia kekinian berikut problematikanya.
Untuk diketahui, Auriga adalah sebuah organisasi non-pemerintah Indonesia yang bergerak dalam upaya untuk melestarikan sumber daya alam Indonesia dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Berikut hasil wawancara lengkap Suara.com dengan Syahrul Fitra, mengenai fakta-fakta yang hilang atau luput didebatkan oleh Jokowi dan Prabowo.
Dalam debat kedua, dikemukakan lima tema yakni energi, lingkungan hidup, sumber daya alam, infrastruktur dan pangan. Kalau ditelaah satu persatu, dimulai dari energi, apa yang sebenarnya menjadi masalah utamanya?
Pada sektor energi, tantangan utama Indonesia kekinian adalah, bagaimana negara yang sudah berkomitmen mendorong penurunan iklim menjadi 2 derajat, bisa mengimplentasikannya.
Salah satu pendorong penurunan suhu global yang semakin panas ini adalah mengubah penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Tapi di Indonesia ini, hampir 60 persen sumber energi untuk listrik misalnya, masih menggunakan batu bara. Sementara penggunaan sumber-sumber energi terbarukan belum besar, tak sampai 30 persen.
Jokowi sebagai presiden sudah membangun banyak pembangit listrik tenaga angin, kampanye soal energi terbarukan seperti tenaga surya, apakah itu sudah efektif?
Sejauh ini belum maksimal, karena instalasi itu masih terkonsentrasi di sejumlah daerah, belum merata. Apalagi pembangunan instalasi energi terbarukan itu masih skala kecil. Misalnya, tenaga surya, kekinian baru digunakan untuk penerangan lampu jalan, belum dilakukan untuk sumber energi di perumahan.
Kalau soal pangan, Prabowo mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang mengklaim dekat dengan petani. Bagaimana menurut Anda program-pogramnya? Tapi secara umum, bisa dijelaskan masalah pangan di Indonesia?
Kalau dalam sektor pangan, tema yang bisa didebatkan sebenarnya banyak sekali. Dalam debat, Prabowo mempersoalkan impor beras, yakni menyoroti pemerintah yang melakukan impor, padahal petani padi tengah panen. Jokowi lantas menjawab dengan membeberkan data resmi.
Tapi kendalanya adalah persoalan data. Masalah data di Indonesia ini sangat mendasar. Semisal jumlah sawah, pemerintah tak memiliki data konkret berapa luasan produksinya dan sebagainya.
Kalau soal sumber daya alam, apa yang menjadi pokok permasalahan?
SDA ini biasanya dibagi tiga pokok bahasan, yakni kehutanan, perkebunan, dan tambang. Ketiganya memunyai masalah utama yakni korporatisme alias penguasaan lahan oleh korporasi skala besar.
Misalnya kehutanan, hampir 37 juta hektare hutan Indonesia diberikan kepada pemegang konsesi. Dalam bidang perkebunan, ada sekitar 16,8 huta hektare dikuasai korporasi besar. Ini jumlah kebun sawit ya, belum ditambah kebun karet dan lainnya. Dalam dunia pertambangan juga begitu, didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar.
Kedua capres tak pernah memperdebatkan persoalan-persoalan itu secara detail
Padahal, persoalan penguasaan mayoritas lahan oleh koporasi besar ini berkaitan dengan program redistribusi lahan, sebab kedua capres mengklaim memunyai program reforma agraria.
Kunci meningkatnya kesejahteraan rakyat adalah penyelesaian soal ketimpangan penguasaan lahan. Akses rakyat terhadap lahan adalah jalan keluarnya.
Kenapa tak didebatkan secara detail?
Karena keduanya punya kepentingan juga dalam penguasaan sumber daya alam. Kalau kita lihat misalkan sektor batu bara, baik kubu Prabowo maupun Jokowi sama-sama memiliki bisnis bidang itu.
Kubu Prabowo misalkan, ada perusahaan milik Sandiaga Uno yang bergerak dalam pertambangan. Pada kubu Jokowi, ada Luhut Binsar Panjaitan dan Harry Tanoe yang memiliki konsesi-konsesi bidang batu bara. Bahkan perkebunan dan konsesi hutan juga mereka punya.
Pertarungan ada di situ, ada kepentingan mereka, penguasaan lahan oleh segelintir orang.
Ada data konkret kedua kubu punya kepentingan dalam sektor itu?
Kalau di kubu Prabowo ada Sandiaga Uno melalui Saratoganya. Kemudian Prabowo sendiri melalui PT Nusantara, dan banyak lainnya.
Kemudian dari kubu Jokowi ada Luhut Binsar Pandjaitan melalui PT Toba, maupun Harry Tanoe. Kemudian Oeman Sapta Odang juga memiliki konsesi batu bara.
Uniknya, melalui bisnis perusahaan-perusahaan ini kedua kubu bertemu. Misalnya, Saratoga milik Sandiaga Uno, relasi kepemilikan perusahaan itu akan ketemu dengan PT Toba di satu titik. Kemudian ketua tim pemenangannya Jokowi, yakni Erick thohir, yang juga rekan bisnisnya Sandiaga Uno, itu dia akan bertemu juga di Saratoga.
Kelindan bisnis batu bara ini juga menjadi fakta, bahwa komitmen Indonesia keluar dari energi fosil itu mimpi. Karena orang-orang yang berkuasa itu masih orang-orang yang memiliki kepentingan di bidang batu bara.
Kalau secara data, betul tidak ada kebocoran anggaran negara untuk sumber daya alam?
Kalau kebocoran itu dikatakan sebagai hilangnya penerimaan negara, ya ada. Kalau KPK pernah mencatat pemanfaatan kayu saja, itu hampir 78 miliar per tahun negara kehilangan penerimaan karena produksinya tak tercatat.
Dalam bidang perkebunan, data pemerintah mencatat masih 14 jutaan hektare luasan perkebunan. Tapi kami coba hitung sendiri, perkebunan yang sudah tertutup sawit di Indonesia itu hampir 16,8 juta hektare. Artinya ada selisih yang lumayan, 2 jutaan hektare yang produksinya tak tercatat. Bocornya seperti itu.
Apa ada orang perusak lingkungan di lingkaran Prabowo dan Jokowi?
Ada. Misalnya, data 115 orang korban tewas karena lubang bekas galian tambang. Korban di Kalimantan saja puluhan. Nah, itu ada perusahaan tambang milik Luhut di sana, ada perusahaan Sandiaga Uno, atau perusahaan Ferry Mursidan Baldan.
Perusahaan-perusahaan tambang mereka yang menyisakan lubang-lubang itu. Tidak ditutup kembali, sehingga banyak anak-anak yang mati di lubang tersebut.
Belum lagi bicara PLTU yang mereka bangun. Misalnya pengguaan batu bara untuk produksinya, cerobongnya, dan poses pengangkuatannya sejak dikeruk sampai dibawa ke PLTU, itu polusi semua. Uniknya, ada di antara mereka yang menyumbang dana kampanye ke kedua kubu peserta pilpres.
Artinya anda ingin bilang perusahaan perusak lingkungan menyumbang untuk kandidat?
Ya, mereka juga menyumbang ikut mendukung para kandidat.
Seperti apa pola perusahaan tambang perusak lingkungan itu menyumbang ke kedua kandidat capres?
Contohnya, kasus Nur Alam mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang divonis bersalah karena menyalahgunakan wewenang dengan meneken Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Nah, Nur Alam mengeluarkan izin untuk perusahaan batu bara itu. Kemudian dari izin yang diterbitkan itu, dia gunakan untuk mendukung dana kampanye.
Ada juga kasus Bupati Kutai Kertanegara Rita, juga kena kasus mengeluarkan izin perusahaan tambang. Nah, perusahaan-perusahaan itu tentu menyumbang ke partai-partai pendukung bupati.
Pola pemberiannya bagaimana? Apa langsung dari perusahaan ke kandidat?
Tidak. Kalau kita lihat dari catatan KPU, tidak ada sama sekali perusahaan-perusahaan itu yang menyumbang. Berarti tidak langsung menyerahkan kepada para kandidat. Tapi kalau ditelusuri, untuk dana kampanye pemilu, ada dari partai politik dan yayasan.
Nah, kalau sumbangan dari parpol kan bersumber dari iuran para anggotanya. Kader-kadernya itu ya seperti Rita dan Idrus Marham yang terlibat kasus PLTU Riau-1. Begitu juga dengan kubu lain.