Agus Supriyanto: Di Balik Ruang Belajar Anak Jalanan di Tengah Rimba Beton

Senin, 11 Februari 2019 | 07:00 WIB
Agus Supriyanto: Di Balik Ruang Belajar Anak Jalanan di Tengah Rimba Beton
Agus Supriyanto. (Suara.com/Yasir)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di balik Sekolah Alternatif Anak Jalanan ( SAAJA ) ada Agus Supriyanto. Agus Supriyanto mendirikan SAAJA, alternatif ruang bermain dan belajar bagi anak-anak dari keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial ( PMKS ), bahkan kebanyakan di sana anak jalanan.

Agus Supriyanto mempunyai jawaban pasti dan kongkrit, bagaimana cara orang miskin bisa sekolah. Tak perlu berjanji, dia langsung menjawabnya.

SAAJA menempati bangunan gubuk beratapkan rumbia berdiri tegak di tengah-tengah rimba beton di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Suara.com datang ke SAAJA, Kamis (7/2/2019) pekan lalu. Sekilas dari luar bangunan ini memang tidak tampak seperti ruang untuk belajar. Bangunan semipermanen dengan luas 9x12 meter hanya beratapkan rumbia, dan di dalamnya hanya tersedia satu buah papan tulis dengan lantai beralaskan karpet. Selain itu, SAAJA juga dilengkapi dengan taman bermain berukuran 4x12 meter yang dilengkapi dengan wahana permaianan seperti ayunan dan perosotan.

Agus Supriyanto, laki-laki kelahiran 4 Agustus 1969 itu bercerita banyak soal awal mula berdirinya SAAJA hingga saat ini. Ayah sapaan akrab Agus Supriyanto merupakan Pembina di SAAJA.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Pembina SAAJA, Agus Supriyanto:

Bagaiamna awal berdirinya SAAJA?

Awalnya pada tahun 1999, saya bersama teman-teman diajak almarhum Ahmad Farid Faqih berkeliling ke beberapa lokasi di pinggiran kota Jakarta, salah satunya itu di Pengarengan, Cakung, Jakarta Timur. Ketika itu, kami melihat dan menyaksikan bagaimana banyak anak-anak yang menghabiskan waktunya secara tidak sehat di jalanan, seperti mengamen dan mengemis.

Berawal dari keprihatinan itu, almarhum Ahmad Farid Faqih sahabat sekaligus teman diskusi dan berdebat kami, berkata kepada kami, "Apa lu tegak lihat adik-adik kita kaya begitu?".

Baca Juga: Efek Jera, Belasan Anak Jalanan Digunduli Satpol PP

Kemudian, kami pun tergugah dan berpikir bagaimana cara untuk menyediakan ruang bermaian dan belajar agar anak-anak tidak turun ke jalanan. Almarhum Ahmad Farid Faqih sendiri memang menaruh perhatian besar bagi pendidikan.

Sampai pada akhirnya, terbentuklah waktu itu pada tahun 2000 awalnya bernama Sekolah Rakyat Miskin (SRM) di sana.

Sejak kapan SAAJA berdiri?

Kalau SAAJA sendiri berdiri pada tahun 2001 di atas lahan milik Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DKI Jakarta. Pada tahun 2001 dulunya disini menjadi posko banjir, namanya itu posko Kuningan. Pasca banjir, posko di sini dulunya hanya berbentuk tenda-tenda yang terbuat dari terpal saja, belum berbentuk gubuk seperti sekarang. Kemudian, dibuatlah gubuk beratap rumbia oleh almarhum Ahmad Farid Faqih.

Setelah itu, pada perkembanganya pascabanjir tersebut, disini itu dulunya menjadi titik-titik transit angkutan bus, dari trayek Lebak Bulus-Senen, Manggarai-Blok M, dan Cililitan-Kota itu lewat sini semua dan jadi titik anak-anak mengamen.

Almarhum Ahmad Farid Faqih bilang begin, sama seperti di Pengarengan, "Lu ajak itu anak-anak biar pada belajar". Akhirnya, diajaklah mereka ke sini kita sediakan buku bacaan dan kadang kita adakan juga kegiatan makan bareng.

Ketika itu masih sebatas kegiatan belajar saja belum berbentuk sekolah. Sampai pada akhirnya, lama-lama terbentuklah sekolah dengan nama SAAJA ini.

Siapa saja pendiri SAAJA?

Kalau pendiri atau inisiator SAAJA itu almarhum Ahmad Farid Faqih. Sedangkan saya dan teman-teman hanya mengembangkan gagasan almarhum menjadi program-program. Untuk saat ini, saya sendiri sebagai Pembina di SAAJA menggantikan posisi almarhum Ahmad Farid Faqih.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Sebagai banguanan yang berdiri di tengah-tengah kota Jakarta, apa filosofi dari ruang belajar SAAJA yang berbentuk gubuk ini?

Ketika itu saya pernah bertanya ke almarhum Ahmad Farid Faqih, kenapa kok pakai gubuk? Almarhum Ahmad Farid Faqih bilang, kalau gubuk ini sebenarnya sebagai simbol bahwa masih ada di kota metropolitan ini akses pemerataan terhadap pendidikan itu belum merata, itu filosofi awalnya. Artinya, ada suasana kontras yang seharusnya pemerintah bisa melihat itu.

Gubuk yang berdiri yang mengelola kegiatan pendidikan masyarakat ini menjadi represntasi pendidikan nasional. Kalau Jakarta begini, bagaimana secara nasional.

Apa seluruh peserta didik di SAAJA ini berasal dari anak jalanan?

Awalnya memang kami sempat mengajak anak-anak yang ada dijalanan. Tapi sekarang ini, kami lebih fokus untuk bagaimana anak-anak di lingkungan sekitar sini yang berpotensi turun ke jalanan itu tidak ke jalanan, makanya kita bangun pendidikan anak usia dini (PAUD).

Semangat itu lah yang akhirnya kami namakan Sekolah Alternatif Jalanan (SAAJA), sebagai ruang alternatif belajar bagi anak-anak yang berpotensi turun ke jalan agar tidak turun ke jalanan.

Sementara bagi anak-anak yang memang sudah turun ke jalanan, akhirnya kami sempat berdiskusi dengan teman-teman sesama penggiat pendidikan untuk mengelola mereka. Sampai pada akhirnya, terbentuklah Bilik Pintar (Bilpin) sebagai jaringan SAAJA yang berlokasi di Menteng Atas, Jakarta Selatan.

Saat ini berapa jumlah peserta didik di SAAJA?

Sekarang ini total ada 83 siswa PAUD yang rata-rata berumur kisaran 4-6 tahun. Mereka dibagi kedalam tiga sesi, kelas pagi, siang dan sore. Selain itu, setiap hari Sabtu kita juga ada kegiatan bimbingan belajar untuk kelas 4 SD sampai SMP, sebagian besar dari mereka itu juga lulusan dari PAUD SAAJA.

Berapa jumlah tenaga pengajar yang dimiliki SAAJA?

Kalau tenaga pengajar tetap di SAAJA ada empat. Selain itu, juga ada tenaga pengajar relawan dari mahasiswa dan non guru atau profesional. Mereka biasanya lebih banyak mengisi untuk materi bimbingan belajar di hari Sabtu.

Metode beajar seperti apa yang diterapkan di SAAJA?

Metode belajar yang kita kembangkan sebenarnya 60 persen outdoor, yaitu berinteraksi dalam bentuk permainan dan 40 persen itu baca, tulis, hitung dan pengenalan terkait materi-materi formalnya, seperti pengenalan terhadap warna dan lain-lain.

Interaksi bermain mereka itu lebih kita dominankan, karena sebenarnya bermainnya anak-anak itu bagian dari belajar juga, bukan belajar sambil bermain.

Sehingga, anak-anak itu tidak ada beban untuk mereka berani mengekspresikan dirinya. Karena dari situ kita bisa merekam langsung bagaimana sisi tumbuh kembangnya anak. Sementara, untuk waku pembelajarannya itu sekitar dua jam, tidak lebih dari itu.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Selain sebagai Pembina di SAAJA, Anda juga berperan seabagai pengajar temporer, bagaimana pengalaman Anda mengajar anak-anak usia dini?

Menurut saya manjadi pengajar atau pendamping anak-anak itu, pertama kita harus mengenali diri mereka dahulu. Kalau tidak begitu, kita bisa frustasi, emosi, bahkan sampai marah. Kenapa bisa begitu? Karena ketika itu semata-mata hanya keinginan kita lah yang ingin kita transferkan ke mereka.

Tapi bagi saya, senakal-nakalnya anak itu saya harus mengenali mereka lebih dahulu. Kemudian, saya sentuh mereka. Karena ada anak secara motoriknya mungkin mereka lebih visual atau mendengar, setiap anak itu masing-masing berbeda. Jangan kita paksakan anak-anak, tapi kita yang harus lebih dulu mengenali mereka.

Selain itu, saya juga mencoba untuk lebih menggunakan bahasa positif, seperti tidak menggunakan kata ‘tidak boleh’ atau ‘jangan’, itu saya hindari. Karena itu justru bisa membatasi mereka.

Saya juga sebisa mungkin memposisikan diri saya sebagai sosok yang dekat dengan mereka, bisa menjadi ayah atau teman bagi mereka. Sehingga, tidak terkesan ada jarak diantara saya dan anak anak, kedekatan itu yang saya jaga.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Seberapa efektif metode belajar yang diterapkan SAAJA?

Saya sedikit bercerita, awalnya ketika tahun 2002-2003 banyak sekolah dasar (SD) di sekitar sini yang meragukan anak-anak lulusan dari SAAJA. Bahkan, sebagian dari SD di sekitar sini menolak anak-anak lulusan dari SAAJA.

Tapi, justru ketika mereka masuk dan bergabung dalam satu titik yang sama dengan lulusan PAUD yang ‘berbayar’ dan ‘berkelas’, nyatanya banyak anak-anak dari lulusan SAAJA yang berprestasi. Sampai pada akhirnya, saat ini guru-guru dari SD tersebut mengakui kalau membimbing anak-anak lulusan dari SAAJA itu lebih mudah.

Saya sempat merenungkan dan menyimpulkan, bahwa ternyata pendidikan bagi anak-anak usia dini itu yang terpenting adalah bagaimana membangun rasa percaya diri, tanggung jawab, dan keberanian untuk mengekspresikan dirinya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang kreatif. Jadi saya rasa dengan metode pembelajaran yang diterapkan SAAJA saat ini cukup efektif.

Pendekatan seperti apa yang Anda lakukan kepada orang tua peserta didik dan lingkungan di sekitar SAAJA?

Awalnya memang masih banyak orang tua yang justru mengarahkan anak-anaknya turun ke jalanan untuk membantu ekonomi mereka. Itu memang sempat menjadi tantangan bagi kami. Tapi, pergeseran semangat orang tua saat ini sudah berubah. Sebagian dari mereka kini pun sudah sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.

Di samping itu, kami juga melakukan pendekatan informal dengan orang tua anak-anak. Pertama, kami selalu berkomunikasi tatap muka dengan orang tua anak-anak. Sesekali kita juga membuat satu pertemuan bersama dengan orang tua anak-anak dan membuat satu kegiatan senam pagi bersama orang tua anak-anak setiap Sabtu, itu jug sebagai bentuk pendekatan kami dengan orang tua anak-anak.

Sementara, pendektan dengan lingkungan sekitar itu sendiri, berhubung di sini tidak terlalu banyak pemukiman warga hampir semua mengapresiasi. Kedua masyarakat yang berintekasi secara ekonomi disini juga tidak terganggu dengan kegiatan kita.

Mengapa Anda tertarik terjun dalam kegiatan sosial khususnya di bidang pendidikan bagi anak-anak dari keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial ( PMKS )?

Awalnya seperti yang sudah saya jelaskan terkait awal mula berdirinya SAAJA yang berangkat dari keprihatinan kami terhadap anak-anak di jalanan.

Kedua, jujur saya secara akademis tidak ada kaitannya dengan kegitan sosial ini. Saya sendiri merupakan lulusan manajemen ASMI ‘kampus ungu’. Saya juga enggak bisa menjelaskan, tapi bagamiana saya ketika berada di tengah-tengah anak-anak dan orang tua mereka hanya hanya meluapkan itu dengan rasa kasih sayangan saya.

Anak-anak sudah seperti anak saya sendiri, dan orang tua mereka sudah seperti keluarga bagi saya. Makanya anak-anak dan orang tua mereka memanggil saya ayah Agus. Ini yang pada akhirnya, dengan segala keterbatasan saya yang sebenarnya secara akademis saya tidak lah berkaitan dengan kegiatan yang saya bangun ini, tapi saya bisa berperan melalui kegiatan ini pada akhirnya semua itu mengalir saja.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Bagaimana anda menghidupkan SAAJA ini hingga berdiri hampir 18 tahun. Apakah ada donatur dari perusahaan atau perorangan untuk membiayai kebutuhan SAAJA?

Saat ini kami memiliki dua donatur tetap. Beberapa kali memang kami sempat mengalami fase-fase dimana stabil dan tidak stabil. Kalau memang tidak ada donatur tetap memang kami kerap mengalami kerepotan. Donatur ini membantu untuk insentif tenaga pengajar, tapi kebanyakan belakangan ini mereka memberikan fasilitas seperti buku dan sarana yang lain.

Tapi di luar itu juga ada sumbangan dari donatur tidak tetap. Bagaimana kegiatan ini bisa berjalan, memang dana ini menjadi kendala kami. Kami juga berharap donatur tetap itu terus ada. Meski begitu, kami bersyukur, ada relawan-relawan yang turut membantu kami sebagai tenaga pengajar.

Anda sempat mengatakan kalau SAAJA sempat beberapa kali ingin digusur, bagaimana ceritanya?

Iya, memang kami memiliki kendala terkait legalitas domisili SAAJA yang berdiri di atas lahan milik Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DKI Jakarta.

Ada beberapa kali, seingat saya lebih dari tujuh kali saya menerima surat penggusuran. Tapi, saya selalu mempertanyakan apa alasannya, kalau memang mau menggusur gubuk ini saya selalu ajak mereka untuk berbicara. Kami hanya ingin mengetahui alasan dan solusinya.

Kalau hanya serta-merta menggusur tanpa ada alasan dan solusi kedepan untuk kami, itu sama saja menggusur semangat SAAJA dan saya akan lawan itu. Tapi sampai saat ini, memang tidak ada kejelasan, jangan juga kami ini terus digantung dan dihantui penggusuran.

Seharusnya, pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta, jangan juga melihat kelompok masyarkat penggiat pendidikan seperti kami ini, seakan-akan menggangu kebijakan, padahal tidak begitu. Kami hanya ingin meminta satu ruang untuk kegiatan belajar dengan masyarakat, dimonitor pun kami terima. Karena, kami juga tidak ada ketertutupan di sini.

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)
Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA). (Suara.com/Yasir)

Apa harapan Anda?

Saya berharap Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mau menjemput dan merangkul kami seagai penggiat pendidikan. Persoalan pendidikan di Jakarta diselesaikan.

Sehingga kami berharap, penggiat-penggiat pendidikan di Jakarta bisa diinventarisasi dan dipertemukan semua. Karena semangat semacam itu ada di masyarakat. Seharusnya, sebagai gubernur menjemput bola dan mengajak para penggiat pendidikan untuk sama-sama membantu membenahi permasalahan pendidikan di ibu kota ini yang memang nyatanya masih ada ketidakmerataan pendidikan itu.

Menurut saya masih banyak gubuk-gubuk pendidikan lainnya di Jakarta, tidak hanya SAAJA. Tapi sampai saat ini, saya belum melihat adanya upaya dari pemprov untuk meninventirisasi kami.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI