Pertama, perpindahan ini mengakibatkan munculnya lawan-lawan yang tidak kelihatan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia kekinian mencapai 5,1 persen. Sebetulnya, persentase pertumbuhan ekonomi kita lebih besar lagi, karena terdapat angka-angka yang tak tercatat.
Apa angka-angka yang tak tercatat itu? Ini terkait banyak pelaku usaha yang sudah berpindah ke dunia siber, daring, online.
Contohnya, mulai dari yang paling sederhana, seperti usaha rumah tangga di Gunung Kidul Yogyakarta dalam bidang pembibitan tanaman, produsen gula Jawa di Banten, yang dijual secara online. Transaksinya tak tercatat, tapi terbilang besar.
Jadi, perpindahan platform bisnis analog ke digital di Indonesia sudah muncul, bahkan kentara sekali, yakni adanya pelaku-laku yang tak kelihatan karena melalui dunia maya. Inilah yang menjadi “lawan-lawan tak kasat mata” bagi pelaku usaha konvensional.
Baca Juga: Mulanya Dikira Tumor, Ternyata Lintah Hidup di Tenggorokan Wanita Ini
Selanjutnya, di tengah fenomena seperti itu, banyak pelaku usaha di Indonesia—baik besar, menengah, ataupun kecil—masih memunyai paradigma industrialis, yakni membuat produk yang sama untuk dipesaingkan dalam pemasarannya.
Padahal, pada era digital seperti saat ini, paradigma usahanya harus diubah, yakni analisis arena. Artinya, membuat banyak produk untuk memenuhi kebutuhan yang sama—bukan membuat produk yang sama. Jadi, barangnya bisa dibuat bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhan yang sama.
Jadi, Anda menilai Indonesia belum siap menghadapi pergeseran dalam bisnis analog ke digital?
Selalu ada yang siap dan ada yang tidak siap. Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat juga begitu, ada yang siap dan ada yang tidak siap.
Misalnya begini, pada saatnya nanti, muncul produk daging yang tidak dibuat dari ternak, tapi yang muncul dari sel. Kalau fenomena itu terjadi, peternak mungkin tidak siap. Tapi di lain sisi, pengusaha pembiakan sel bahan baku daging itu sudah siap.
Baca Juga: Vanessa Angel Seminggu Sekali Wajib Lapor, Hari Ini yang Kedua
Contohnya lagi, saat Uber muncul, taksi-taksi konvensional di AS pun tidak siap. Begitu juga di Indonesia. Saat aplikasi ojek online bermunculan, pengusaha ojek pangkalan merasa dirugikan.