Juru Bicara OPM Sebby Sambom: Ini adalah Perang Kemerdekaan Papua

Tim Liputan Khusus Suara.Com
Kamis, 06 Desember 2018 | 19:39 WIB
Juru Bicara OPM Sebby Sambom: Ini adalah Perang Kemerdekaan Papua
[Suara.com/Aldie Syaf Bhuana]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka, mengakui bertanggungjawab atas insiden penyerangan di lokasi proyek pembangunan jembatan Trans Papua ruas Kali Yigi – Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua.

Dalam penyerangan yang terjadi pada hari Minggu (2/12/2018) akhir pekan lalu itu, sejumlah korban tewas.

Awalnya, aparat kepolisian merilis jumlah korban tewas adalah 31 orang sipil karyawan PT Istaka Karya, BUMN yang menangani proyek tersebut.

Belakangan, jumlah korban tewas yang resmi dirilis pemerintah adalah 20 orang. Sementara korban selamat adalah 8 orang.

Baca Juga: TPNPB: Kami Bukan Kriminal, Korban Tewas di Trans Papua Bukan Dieksekusi

Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, membantah keterangan aparat keamanan Indonesia yang menyebut para pekerja dibunuh dengan cara dieksekusi.

“Kami yang bertanggungjawab. Ada kontak senjata. Itu serangan bersenjata, bukan eksekusi seperti yang disampaikan aparat keamanan Indonesia,” kata Sebby Sambom.

Untuk diketahui, Kapendam Cenderawasih Kolonel Muhamad Aidi sebelumnya mengatakan karyawan PT Istaka Karya dieksekusi di sebuah tempat bernama Puncak Kabo.

Sebby juga menegaskan, TPNPB-OPM bukanlah kelompok kriminal bersenjata, melainkan pejuang kemerdekaan Papua.

Sementara korban tewas dalam kontak senjata itu adalah anggota TNI berpakaian preman, yang dilibatkan dalam setiap proyek pembangunan infrastruktur di Papua.

Baca Juga: Kontak Senjata Masih Berlangsung di Nduga Papua, Evakuasi Jenazah Terganggu

Sebby Sambom sendiri, merujuk data pada laman Papuans Behind Bars, merupakan penduduk asli Wamena, 43 tahun silam.

Ia dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia dan aktif mengampanyekan kemerdekaan Papua. Saat kali pertama ditangkap, Sebby masih berusia 30 tahun pada tahun 2008.

Penangkapan Sebby kala itu, lantaran dirinya menggelar aksi damai mendukung peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di London, Inggris, 16 Oktober 2008. Seusai aksi itu, aparat menangkap Buchtar Tabuni, ketua umum komite perencanaan aksi tersebut.

Sebby lantas menggelar konferensi pers di Taman Makam Theys Eluay—aktivis pro-kemerdekaan yang wafat dibunuh—tanggal 17 Desember 2018, untuk mendesak pembebasan Buchtar Tabuni.

Namun, dalam konferensi pers itu Sebby justru ditangkap. Ia lantas didakwa atas tuduhan makar dan konspirasi, serta menghasut publik untuk bertindak menggunakan kekerasan terhadap aparat keamanan terkait demonstrasi bulan Oktober.

Pada persidangan vonis tanggal 10 September 2009, Sebby divonis bersalah dengan hukuman 2 tahun penjara.  Sebby dibebaskan secara bersyarat pada tanggal 14 Desember 2009, sebelum dia menyelesaikan masa hukumannya.

Seusai keluar penjara, ia beserta keluarga terpaksa bersembunyi ke daerah hutan. Namun, tanggal 4 Desember 2010, hampir setahun setelah pembebasan, Sebby kembali ditangkap di Jayapura saat sedang menunggu pesawat untuk terbang ke Hong Kong, menghadiri pelatihan dari Asian Human Rights Commission (AHRC). Ia ditangkap atas alasan membawa bendera Bintang Kejora pada tas komputer jinjingnya. Sebby sendiri menegaskan tak pernah membawa bendera tersebut.

Setelah sempat dipenjara untuk kali kedua, Sebby akhirnya dibebaskan bersyarat pada tanggal 26 Juli 2011.

Saat diwawancarai media massa sesaat setelah dibebaskan kala itu, Sebby menyatakan pernyataannya yang terkenal:  “Saya belum bebas dari penjara. Saya akan bebas dari penjara setelah semua rakyat Papua bebas dari penjajahan.”

Suara.com, Kamis (6/12/2018) pukul 17.00 WIB, menghubungi Sebby via telepon. Dalam percakapan selama 47 menit tersebut, Sebby mengungkapkan kronologi penyerangan di lokasi  pembangunan Trans Papua.

Selain itu, Sebby juga menjelaskan posisi TPNPB-OPM berikut pernyataan sikap mereka terhadap pemerintah Indonesia.

Berikut adalah petikan wawancara Suara.com terhadap Sebby Sambom.

Bagaimana kronologi peristiwa di Nduga versi TPNPB-OPM?

Ya, kami melakukan penyerangan ke daerah itu, termasuk pos TNI. Jadi itu bukan mengeksekusi, apalagi membantai. Itu adalah peperangan, sehingga yang ada adalah korban tewas dari pihak lawan dalam medan perang.

Kami tak pernah melakukan hal seperti itu, mengeksekusi atau membantai. Itu adalah penyerangan kami sebagai gerilyawan-gerilyawan kemerdekaan Papua.

TPNPB-OPM telah menyatakan deklarasi perang terhadap tentara Indonesia pada tanggal 23 Januari 2018. Itu bukti otentik bahwa penyerangan tersebut adalah bagian dari peperangan, bukan aksi kriminal.

Tahun lalu, Anda masih ingat 3 anggota TNI di Yigi tewas kami tembak dalam kontak senjata? Saat itu kami sudah memberikan peringatan kepada TNI dan pemerintah Indonesia supaya proyek pembangunan jalan Trans Papua itu tak boleh dilanjutkan.

Ternyata, proyek itu masih dilanjutkan, sehingga ada penyerangan kembali di daerah itu. Penyerangan itu dilakukan oleh Panglima Daerah TPNPB Makodap III Ndugama Egianus Kogeya. Sedangkan penyerangannya di lapangan dikomandoi Pemne Kogoya.

Pembangunan infrastruktur Jalan Trans Papua. [Dok Kementerian PUPR]
Pembangunan infrastruktur Jalan Trans Papua. [Dok Kementerian PUPR]

Jadi penyerangan itu terencana? Bukan karena insiden pemotretan saat 1 Desember?

Soal adanya pemotretan yang dilakukan anggota TNI berseragam sipil terhadap acara doa rakyat kami hari Sabtu 1 Desember 2018, itu adalah pemantiknya saja. Tapi yang jelas, sudah sejak tahun lalu kami memperingatkan agar proyek itu tak boleh diteruskan.

Artinya peristiwa di Nduga itu adalah aksi ofensif TPNPB-OPM?

Iya, sudah saya jelaskan tadi. Ini adalah penyerangan, aksi peperangan. Kami sudah memberikan peringatan. Sudah ada surat tulis tangan agar militer atau TNI tak mengganggu wilayah kami, tapi masih saja ada, sehingga kami serang.

Tapi, ada korban warga sipil dalam penyerangan itu, bagaimana?

Tidak, tidak. Mayoritas pekerja proyek Trans Papua itu adalah TNI. Anda perlu memeriksa keadaan sebenarnya, bukan klaim sepihak.

Kami sudah melakukan patroli dan pemantauan lebih dari tiga bulan sebelum melancarkan aksi ofensif. Jadi, kami tahu mana yang TNI berpakaian preman dan benar-benar pekerja sipil.

Begini, proyek itu berawal tahun 2013. Sewaktu Indonesia dipimpin SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2013, TNI dilibatkan dalam pembangunan jalan itu yang dulunya dinamakan Jalan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B).

Tahun 2016, saat Indonesia dipimpin Jokowi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerja sama dengan Zeni TNI AD sebagai mitra kerja membuka jalan trans Papua.

Ada 394 personel Zeni TNI AD yang dilibatkan dalam proyek, dengan komposisi meliputi Denzipur 10 dan Denzipur 12. Mereka mengerjakan jalan di Wamena – Habema dan Habema – Mbua.

Tak hanya itu, Yonzipur 18 ditugaskan di ruas Mbua – Mugi dan Mugi – Paro. Ada lagi Yonzikon 14 mengerjakan ruas jalan Paro – Kenyam dan Kenyam – Mamugu. Kekuatan mereka per kelompok 107 personel.

Selama patroli 3 bulan itulah kami perhatian. Ya, kami pastikan yang bekerja di Kali Aworak dan Kali Yigi adalah Zeni Tempur TNI.

Anda juga perlu tahu, hal itu bukan lagi rahasia di Papua. Bisa dikatakan, semua rakyat Papua sudah tahu bahwa pekerja proyek-proyek di tanah kami adalah TNI. Tak bisa disangkal lagi soal ini.

Termasuk Jonny Arung, yang disebut korban selamat dalam penyerangan kemarin, itu adalah anggota TNI. Kami punya dokumennya.

Kami tak pernah menembak warga sipil. Kami adalah pejuang revolusi, kami tak diperkenankan seperti itu. Tapi kalau dalam peperangan ada korban sipil di pihak mereka, itu adalah tanggungjawab TNI. Mereka sudah kami ultimatum tidak melanjutkan proyek tapi tak dilakukan.

Sambungan telepon sempat terputus. Dua menit kemudian, Suara.com baru bisa kembali menghubungi Sebby.

Anggota TPNPB yang dipimpin oleh Egianus Kogoya. [Tabloid Jubi/Istimewa]
Anggota TPNPB yang dipimpin oleh Egianus Kogoya. [Tabloid Jubi/Istimewa]

Apakah rakyat Papua mendukung aksi penyerangan TPNPB-OPM itu?

Maaf, tadi ada yang juga menelepon.

Soal pertanyaan itu, Saudara, jangan sekali-sekali menyalahkan rakyat Papua. Penyerangan itu adalah tanggungjawab kami sebagai tentara pembebasan nasional.

Prinsipnya begini, kami, TPNPB, OPM dan organisasi politik lainnya, berjuang menentang penjajahan pemerintah Indonesia terhadap bangsa Papua. Kami punya hak untuk merdeka.

Anda orang Indonesia bukan? Dari mana? Jawa, Kalimantan, Sumatera? (Jurnalis Suara.com menjawab Sumatera)

Nah, saya bangsa Papua, kalau saya datang ke Sumatera, daerah Anda, dan saya datang untuk mencuri, menjarah, memerkosa, apa yang Anda lakukan? Pasti Anda akan melawan saya, membunuh saya.

Seperti itulah akar masalah di Papua. Ada pencuri datang, kami sebagai tuan rumah harus membela diri. Indonesia datang merampok, mencuri, menjadi penjajah baru di Papua.

Setelah penyerangan di Nduga, apa yang dilakukan TPNPB dan OPM?

Saudara perlu mengetahui sejarah kami dan perjuangan kami. Indonesia menginvasi Papua sejak tahun 1969 (saat Orde Baru menggelar penentuan pendapat rakyat alias Pepera, yang hanya mengikutsertakan 1.024  perwakilan dan tak dipilih rakyat Papua) sampai detik ini.

Pertempuran terus terjadi sejak tahun 1969 hingga sekarang. Tapi sampai detik ini juga kami masih ada. Bangsa Papua tidak musnah meski dibunuhi.

Artinya, kami akan terus melawan, tidak ada kata mundur. Kami punya roh di tanah ini. Kami punya tanah ini. Militer, TNI, tak bakal bisa menguasai hutan-hutan kami, lembah-lembah kami.

Mereka hanya berani dari atas mobil, saudara boleh periksa. TNI hanya berani dari atas mobil, kami tembaki. Mereka tak berani masuk ke hutan, he-he-he.

Kenapa TPNPB-OPM tidak menyetujui proyek itu? Padahal pemerintah Indonesia membuat jalan itu untuk memodernisasi Papua?

TPNPB-OPM menolak semua itu. Kami menginginkan kemerdekaan bangsa Papua. Bangsa Papua tak bakal bisa memodernisasi diri, tak bisa sejahtera, tak bisa makmur, kalau belum merdeka.

Anda, bangsa Indonesia lebih dulu membuktikannya kan? Kolonial Belanda dulu membangun jalan, membangun segala macam di Indonesia, tapi apa bangsa Indonesia bisa sejahtera selama masih dijajah kolonial itu?

Sambungan telepon Suara.com - Sebby Sambom kembali terputus tiba-tiba. Ia baru bisa kembali dihubungi selang 3 menit.

Tapi, bukannya dengan pembukaan jalan-jalan itu memudahkan rakyat Papua beraktivitas, menumbuhkan perekonomian?

Tidak. Anda harus tahu, jalan-jalan itu tak dibuat untuk menyejahterakan bangsa Papua. Jalan itu dibuat untuk keperluan transportasi TNI, agar mereka mudah membunuh kami.

Saudara juga harus tahu, metode seperti itu sudah dilakukan TNI sejak 1969. Membangun jalan, membangun gedung, dan lain-lain, apa rakyat kami sejahtera? Yang ada rakyat kami terus ditekan militer.

Kami sudah memunyai pelajaran itu. Kami juga bersekolah, sehingga tak lagi bisa ditipu, dibodoh-bodohi seperti pendahulu kami.

Baiklah, proyek-proyek pembangunan itu mungkin didukung oleh segelintir orang Papua, seperti gubernur, bupati, camat dan lain-lain.

Tapi mereka adalah borjuis-borjuis yang menjual kemiskinan rakyat Papua, menjual nama OPM untuk mendapatkan uang kantong sendiri.

Borjuis-borjuis itu biasa cari makan seperti itu, dari proyek-proyek Indonesia. Borjuis-borjuis Papua yang melacurkan diri demi uang Indonesia.

Apa tak ada jalan lain kecuali perang?

Kami sudah kenyang diteror, diintimidasi, dibunuh sejak tahun-tahun dulu. Karena itulah ada TPNPB. Kini, kami ada 29 daerah komando. Ada 2.500 tentara tetap (organik) yang akan melawan semua penindasan itu.

Ya, TPNPB adalah sayap militer, sehingga yang ditempuh adalah jalan perang. Tapi selain itu, kami juga ada OPM, aktivis-aktivis di perkotaan yang menempuh jalur diplomasi dan kampanye damai sampai merdeka.

Melalui perang dan diplomasi, apa yang ingin ditunjukkan TPNPB-OPM?

Kami ingin Indonesia introspeksi diri. Dulu Indonesia menganeksasi Papua. Kini kalian harus bisa introspeksi, bijaksana membiarkan kami merdeka, menentukan nasib bangsa kami sendiri.

Kami juga tahu, semakin banyak rakyat Indonesia, intelektual-intelektual Indonesia yang berpikiran jernih, mengerti hak asasi manusia, sehingga mendukung perjuangan kami. Kami berterima kasih kepada rakyat progresif Indonesia.

Karenanya, pemerintah Indonesia juga harus begitu. Biarkan kami merdeka. Kalau tidak, kewibawaan Indonesia akan hancur di mata internasional.

Ingat, saat ini, seperti penyerangan kemarin adalah baru aksi ofensif. Kami belum mengumumkan revolusi total. Kalau sudah mendeklarasikan revolusi total, semua rakyat Papua akan bergerak. Rakyat Papua akan bergerak, tinggal menunggu komando kami.

Kalau sudah deklarasi revolusi total, semua bangsa Indonesia di Papua harus keluar, sehingga tinggal hanya TNI yang akan kami hadapi di pertempuran.

Kalian bisa membunuh di antara kami ini. Saya sendiri sudah 6 kali ditangkap dan dipenjarakan 2 kali. Tapi ada generasi-generasi muda kami, dan terus begitu serta akan melawan kolonial Indonesia.

Kami bisa dibunuh, tapi kalian tak bisa membunuh ideologi kami: kemerdekaan untuk bangsa Papua.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI