Justinus Sudarminta: Hoaks Ratna Sarumpaet di Era Post-Truth

Rabu, 10 Oktober 2018 | 14:06 WIB
Justinus Sudarminta: Hoaks Ratna Sarumpaet di Era Post-Truth
Justinus Sudarminta. (Suara.com/Arga)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Kebenaran jadi lumer, tak ada arti. Darah datang tanpa kering lalu lenyap. Habis ruang untuk luka, dihisap metafora", Sisir Tanah, musikus asal Yogyakarta, menulis lirik tersebut dalam sebuah lagu berjudul 'Perahu Kertas'.

Lagu itu berbicara mengenai kebenaran dalam konteks hari ini, yang justru menjadi sebuah kegamangan dan seperti berjalan dalam kesunyian.

Kebenaran menjadi sesuatu yang bias, mengawang-awang, abu-abu. Produksi wacana terus berjalan sebagai antitesis dari produksi wacana sebelumnya. Kebohongan terkadang direkayasa menjadi hal yang sahih, untuk mengatakan sebuah kebenaran. Mungkin ada motif dibalik produksi wacana tersebut?

Termutakhir, Ratna Sarumpaet, aktivis gaek yang kerap melayangkan kritik keras terhadap pemerintahan, belum lama ini membuat publik heboh. Selasa (2/10/2018), kabar penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet berembus.

Melalui unggahan di media sosial lewat hasil tangkap layar yang diunggah, menunjukan wajah seorang wanita lebam-lebam. Wajah tersebut merujuk pada satu nama, Ratna Sarumpaet.

Kabar penganiayaan tersebut direspons oleh sejumlah pesohor politik, seperti politikus Partai Gerindra Rachel Maryam, Juru Bicara tim sukses Prabowo - Sandiaga Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Berembus kabar Ratna dianiaya sejumlah orang di Bandara Husein Sastranegara, Bandung pada tanggal 21/9/2018.

Selang sehari, Rabu (3/10/2018), Calon Presiden Nomor urut 02 Prabowo Subianto memberikan pernyataan di kediamannya, Jalan Kertanegara Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, soal penganiayaan terhadap Ratna.

Saat itu, Prabowo Subianto memberikan pernyataan sikap bahwa tindak penganiayaan terhadap Ratna merupakan tindakan represif dan melanggar hak asasi manusia. Simpati terhadap Ratna bermunculan. Rezim apakah ini, sampai tega memukuli seorang perempuan yang telah lanjut usia?

Di lain pihak, aparat kepolisian mengendus kebohongan Ratna.

Berdasarkan penyidikan aparat kepolisian, Ratna tidak dirawat di 23 Rumah Sakit di Bandung dan tidak melapor ke 23 Polsek. Penyidikan Polda Jawa Barat juga menemukan bahwa Ratna tidak berada di Bandung pada tanggal 21/9/2018 dan pada tanggal yang sama. Diketahui, Ratna berada di Rumah Sakit Bina Estetika, Menteng, Jakarta Pusat.

Secara mengejutkan, pegiat teater tersebut menggelar konfrensi pers di kediamannya di Jalan Kampung Melayu Kecil 5 Nomor 24, Jakarta Selatan pada hari yang sama.

Dengan berlinang air mata, Ratna mengakui jika dirinya adalah pencipta hoaks terbaik alias pemberitaan mengenai penganiayaan tersebut adalah sebuah kebohongan.

Publik geger, banyak pihak ikut kebakaran jenggot dan merasa dibohongi oleh Ratna Sarumpaet. Publik yang sebelumnya menyakini hal tersebut sebagai kebenaran menyanyangkan sikap Ratna. Kebenaran hari itu menjadi lumer.

Di tengah-tengah wacana berita bohong atau hoaks yang terus berkembang, Suara.com bertemu Guru Besar Filsafat Profesor DR Justinus Sudarminta SJ di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Romo Sudarminta, yang juga pengampu kuliah "Kebenaran dan Pascakebenaran" itu, menyebut situasi semacam itu sebagai sebuah "Post-Truth" atau era pascakebenaran. Publik lebih percaya pada hoaks ketimbang kebenaran objektif yang sebenarnya.

Lalu bagaimana menghubungkan era Post-Truth ini dengan kasus Ratna Sarumpaet? Berikut wawancara lengkap Suara.com degan Romo Sudarminta:

Bisa Anda jelaskan, apakah yang dimaksud Post-Truth?

Post truth itu zaman ditandai oleh pendapat publik yang ditentukan oleh ideologi dan keyakinan individu/pribadi, daripada oleh kebenaran objektif yang sungguh-sungguh terjadi.

Mengapa itu sampai terjadi demikian? Karena, dengan semakin banyaknya informasi yang beredar pada era produk digital, orang-orang juga kebanjiran begitu banyak informasi.

Namun, di tengah membanjirnya informasi, seringkali daya kritis publik tidak cukup berkembang. Alhasil, banyak pihak yang tak mampu menyaring informasi tersebut.

Saat kita menerima beragam informasi, terdapat respons spontanitas dalam otak. Setidaknya respons spontanitas itu bisa dinamakan sebagai mamalian brain, dan yang paling primitif itu adalah crocodile brain syndrom.

Crocodile brain syndrom itu sebenarnya reaksi spontan otak kita dalam menyaring apa yang masuk. Itu tolok ukurnya adalah, mana yang menakutkan, dan mana yang menyenangkan. Jadi, secara spontan otak kita itu menyaring informasi yang muncul berdasarkan apa yang berbahaya, dan apa yang tidak berbahaya.

Yang membahayakan cenderung saya singkirkan, tinggalkan, dan abaikan. Ini bahayanya kalau orang sudah tidak lagi kritis. Nanti kecenderungannya banyak berita atau wacana yang langsung saja disebarkan. Menurut orang itu benar, padahal hal tersebut belum tentu benar.

Tapi kebenaran tersebut hanya berdasarkan kesenangannya saja. Ini kalau dimanfaatkan orang, untuk katakankanlah kepentingan politik dan sebagainya, kan bisa berbahaya juga.

Karena kebohongan yang berkali-kali disampaikan, disebarkan, dan banyak orang yang percaya, maka hal tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Kalau publik semakin tidak kritis terhadap sebuah informasi yang diterima, dapat membuat opini publik yang sebenarnya salah menjadi dianggap benar atas dasar emosi belaka.

Ini sebenarnya juga ada di balik kasus kemenangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Ketika Trump berhadapan dengan Hillary Clinton. Sebenarnya, dalam survei, Hillary unggul. Tapi pada pemilihan umum, dia justru kalah.

Trump ternyata memanfaatkan kabar hoaks yang beredar untuk meraih kemenangan. Dalam dunia politik internasional, kecenderungan itu mulai akut juga.

Bahaya juga ke depannya. Sebab, bisa jadi, pemimpin yang terpilih nanti tidak sungguh-sungguh berdasarkan pada fakta objektif.

Lalu bagaimana menghubungkan teori Post-Truth dengan hoaks yang marak di Indonesia? Terutama soal hoaks yang menjadi senjata politik.

Sebenarnya, pemimpin yang sejati akan sangat berhati-hati menggunakan itu. Teknologi kekinian sudah semakin maju, sehingga bisa mendeteksi hoaks. Cepat atau lambat, setiap hoaks pasti terbongkar.

Pada masa lampau, ketika kebohongan itu masih sulit untuk dilacak, mungkin orang masih menggunakan berita bohong atau hoaks sebagai senjata. Apalagi kalau dibarengi dengan ancaman ketakutan.

Soal kabar hoaks yang juga di dalamnya berisi ancaman ketakutan, erat terkait crocodile brain syndrome. Sederhananya, kalau seseorang takut setelah mendapat hoaks tersebut, reaksi utamanya adalah mencari selamat atau "main aman", ketimbang menyatakan hal yang sebenarnya.

Pola itu pula yang memunculkan mekanisme "sensor diri" (self sensorship) terutama di negeri-negeri para pemimpin otoriter. 

Misalnya, pada era Orde Baru, setiap orang pasti berhati-hati untuk berbicara sesuatu hal.  Akan bisik-bisik. Jangan-jangan bisa bocor dan nyawanya akan terancam pula, sehingga akhirnya yang dipercakapkan ya yang aman-aman saja.

Tapi mengapa publik bisa sampai mempercayai hoaks tersebut, meski terkadang, banyak informasi-informasi itu sejak awal bisa mudah diketahui sebagai hoaks?

Apalagi ini (Ratna Sarumpaet) aktivis yang dianggap sebagai perempuan yang kritis, berani. 

Orang-orang yang memunyai kepentingan politik, biasanya langsung cepat memanfaatkan peluang-peluang. Siapa tahu (hoaks yang dibuat Ratna) dapat menjadi jalan meraih kemenangan, kan begitu polanya.

Misalnya, menggunakan (hoaks penganiayaan Ratna) untuk memperburuk citra pemerintahan Presiden Jokowi, menjatuhkan kubu Jokowi.

Politikus pasti akan selalu melihat titik lemah dari lawannya.  Saya tidak tahu persisnya yang terjadi, tapi jangan-jangan ini (hoaks bikinan Ratna) bisa juga ini merupakan skenario yang produksi.

Jadi istilahnya, kalau (hoaks penganiayaan Ratna) tidak ketahuan oleh polisi, memang bisa menjadi seakan-akan betul terjadi tindak penganiayaan tersebut. Tapi karena polisi cepat bekerja, membuat penelitian faktual, maka sudah tidak bisa menghidar lagi kan?

Justru itulah, mengapa politik yang mendasarkan pada kebenaran itu juga ada kekuatannya. Dewasa ini, kebohongan-kebohongan publik itu cepat atau lambat pasti akan terungkap.

Setiap ada informasi yang kontroversial, kubu-kubu yang berseteru pasti berpolemik. Bagi yang pro, menganggap informasi itu adalah kebenaran. Sementara pihak yang kontra menganggap hal itu sebagai kebohongan alias hoaks. Ini sering terjadi di media-media sosial. Lantas, apakah kebenaran itu sendiri tak ada atau tidak tunggal pada era post-truth ini?

Kalau kita berada di ranah politik, akan penuh intrik dan kepentingan. Politik yang benar seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Tetapi fakta yang terjadi di lapangan, yang ada, malah merebutkan kekuasaan.

Alhasil, seakan-akan, dalam politik, terdapat kredo bahwa strategi untuk meraih kekuasaan adalah yang diutamakan.

Padahal, dalam tradisi filsafat Yunani kuno, pada era Platon dan Aristoteles, politik erat terkait etika. Setiap memegang tampuk pemerintahan, terdapat tanggung jawab sosial yang harus dilakukan. Kekuasaan, seharusnya diperuntukkan agar tanggung jawab sosial itu bisa diwujudkan.

Mestinya itu yang harus di perjuangkan. Tetapi dalam kenyataan, seringkali kepentingan idividu, keluarga, partai malah lebih dominan. Politik yang sesungguhnya itu harus didasari oleh etika dan tanggung jawab publik.

Ada pemikir yang mengatakan, kebenaran itu sebenarnya bukan dibuktikan melalui ”perang kata-kata atau argumentasi”, melainkan dalam praktik. Misalnya filsuf kekinian Prancis Alain Badiou mengklaim: ”kebenaran itu adalah sesuatu yang dideklarasikan dan di tataran praktik untuk diwujudkan”. Artinya, kebenaran itu adalah sesuatu yang dibuat, proses, apa benar demikian?

Dalam kenyataan pasti hal tersebut akan terkonstruksi. Tapi kalau kita masih percaya kepada realisme, kita tidak bisa mengonstruksi semaunya. Pastinya nanti realitas itu sendiri, entah itu realitas sosial atau realitas alam, tidak bisa kita perkosa, dia (realitas) akan berekreasi.

Memang, terdapat unsur konstruktif, misalnya terjadi interaksi antara subjek dan realitas sosial dalam pembentukan kebenaran, itu tak bisa dihindari. 

Bahkan dalam ilmu pengetahuan, sesuatu yang benar itu tak lebih dari apa yang sementara itu belum terbukti salah. Berarti, kemungkinan, nantinya suatu kebenaran bisa jadi salah.

Artinya, selama sesuatu yang dianggap benar itu belum ada bantahannya secara faktual, maka sesuatu itulah yang harus dipegang sebagai kebenaran.

Jadi, kebenaran itu bukanlah sesuatu yang mutlak, absolut dan berlaku untuk siapa saja, kapan saja, di mana saja, lepas dari lingkup kesejarahan (ahistoris).

Kasus hoaks Ratna Sarumpaet muncul di permukaan juga tidak terlepas dari pemberitaan di media massa. Entah televisi, cetak, maupun online. Seperti apa pandangan Anda?

Kadang kala pers ada kepentingan untuk banyak dibaca oleh orang ya, atau bisa dikatakan kebutuhan akan audiance. Itu tentu juga menjadi kepentingan di dunia pers itu sendiri. Baik pemilik media maupun wartawannya, sehingga apa yang nanti akan laku dan dibaca banyak orang, itu yang akan dicari.

Dari situ saja kan wartawan sangat berperan banyak, apalagi pemilik media, sehingga mestinya dewasa ini sikap kritis dalam menyikapi informasi semakin diperlukan. Tapi perlu juga disadari, bahwa semakin banyak dan cepatnya informasi itu beredar, semakin sedikit upaya untuk mengecek dari sumber yang terpercaya.

Hal lainnya adalah, mengecek kebenaran informasi atau sumber yang bisa dipercaya itu sangat memakan waktu, biaya, dan tenaga. Karena melacak sampai sumber informasi yang otoritatif--umpamanya yang punya kapasitas untuk bidang itu--terkadang memakan waktu. Jadi usaha untuk melakukan cek dan ricek menjadi sangat tipis.

Bagaimana kita harus membentuk pola pikir publik agar tak mudah termakan hoaks?

Sebenarnya unsur hukum masih masuk. Dalam hal ini Kementerian Informasi (Kemenkominfo) bisa membuat undang-undang anti hoaks. Itu sarana yang penting juga dari pihak negara untuk mengurangi jumlah hoaks tersebut.

Kalau sarana dari dunia pendidikan, baik sekolah maupun keluarga, itu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dari anak. Karena sekarang dengan adanya smartphone, informasi membanjir dan orang bisa mengakses informasi apapun dan dari belahan dunia mana pun.

Sikap anak di generasi milenial ini tidak tergantung lagi dengan orang tua, justru banyak dipengaruhi informasi-informasi dari media sosial. Ketika saringannya semakin longgar, maka bisa juga terjadi peningkatan intoleransi, pengaruh terorisme internasional, berdampak pada perkembangan kehidupan anak-anak muda.

Biografi singkat:

Justinus Sudarminta merupakan adalah Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta. Selama 30 tahun masa hidupnya sebagai imam Katolik (ditahbiskan 29 Desember 1979), Romo Sudarminta pernah menjadi pastor rekan di paroki Santa Theresia, Wonosari, Gunung Kidul selama kurang dari 2 tahun.

Setelah itu, dia menjalani 6 tahun studi khusus di New York, Amerika Serikat, termasuk 7 bulan Tersiat/mendalami spiritualitas ordo Serikat Yesus di Denver. Ia dianugerahi gelar Doktor (PhD) di bidang filosofi dari Fordham University, New York, pada tahun 1989.

Sesudahnya, selama 22 tahun terakhir, Romo Sudarminta terlibat dalam karya pembinaan para calon imam, termasuk 4 tahun menjadi Prefek Spiritual (pamong bidang kerohanian) sekaligus dosen filsafat di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta; menjadi Rektor Kolese Hermanum (rumah pembinaan para frater dan bruder muda Yesuit) di Jakarta (1992-1998); menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI (3 tahun); dan menjadi anggota Seksi Seminari Tinggi, Komisi Seminari KWI (3 tahun). Kemudian antara 1998 – 2008 dia menjadi Delegatus Formationis (koordinator pembinaan anggota) Provinsi Indonesia Serikat Yesus. Di antaraperiode ini, ia pernah mengambil waktu untuk menjadi dosen tamu di College of Holy Cross, Worcester - Massachussets, pada tahun 2000.

Saat ini Romo Sudarminta menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana dan Ketua Program Doktor Ilmu Filsafat (S3) di STF Driyarkara. Ia adalah Guru Besar dalam bidang Ilmu Filsafat dan mengajar di bidang Filsafat Bahasa, Hermeneutik, Filsafat Kebudayaan dan Pancasila.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI