Suara.com - "Kebenaran jadi lumer, tak ada arti. Darah datang tanpa kering lalu lenyap. Habis ruang untuk luka, dihisap metafora", Sisir Tanah, musikus asal Yogyakarta, menulis lirik tersebut dalam sebuah lagu berjudul 'Perahu Kertas'.
Lagu itu berbicara mengenai kebenaran dalam konteks hari ini, yang justru menjadi sebuah kegamangan dan seperti berjalan dalam kesunyian.
Kebenaran menjadi sesuatu yang bias, mengawang-awang, abu-abu. Produksi wacana terus berjalan sebagai antitesis dari produksi wacana sebelumnya. Kebohongan terkadang direkayasa menjadi hal yang sahih, untuk mengatakan sebuah kebenaran. Mungkin ada motif dibalik produksi wacana tersebut?
Termutakhir, Ratna Sarumpaet, aktivis gaek yang kerap melayangkan kritik keras terhadap pemerintahan, belum lama ini membuat publik heboh. Selasa (2/10/2018), kabar penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet berembus.
Melalui unggahan di media sosial lewat hasil tangkap layar yang diunggah, menunjukan wajah seorang wanita lebam-lebam. Wajah tersebut merujuk pada satu nama, Ratna Sarumpaet.
Kabar penganiayaan tersebut direspons oleh sejumlah pesohor politik, seperti politikus Partai Gerindra Rachel Maryam, Juru Bicara tim sukses Prabowo - Sandiaga Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Berembus kabar Ratna dianiaya sejumlah orang di Bandara Husein Sastranegara, Bandung pada tanggal 21/9/2018.
Selang sehari, Rabu (3/10/2018), Calon Presiden Nomor urut 02 Prabowo Subianto memberikan pernyataan di kediamannya, Jalan Kertanegara Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, soal penganiayaan terhadap Ratna.
Saat itu, Prabowo Subianto memberikan pernyataan sikap bahwa tindak penganiayaan terhadap Ratna merupakan tindakan represif dan melanggar hak asasi manusia. Simpati terhadap Ratna bermunculan. Rezim apakah ini, sampai tega memukuli seorang perempuan yang telah lanjut usia?
Di lain pihak, aparat kepolisian mengendus kebohongan Ratna.
Berdasarkan penyidikan aparat kepolisian, Ratna tidak dirawat di 23 Rumah Sakit di Bandung dan tidak melapor ke 23 Polsek. Penyidikan Polda Jawa Barat juga menemukan bahwa Ratna tidak berada di Bandung pada tanggal 21/9/2018 dan pada tanggal yang sama. Diketahui, Ratna berada di Rumah Sakit Bina Estetika, Menteng, Jakarta Pusat.
Secara mengejutkan, pegiat teater tersebut menggelar konfrensi pers di kediamannya di Jalan Kampung Melayu Kecil 5 Nomor 24, Jakarta Selatan pada hari yang sama.
Dengan berlinang air mata, Ratna mengakui jika dirinya adalah pencipta hoaks terbaik alias pemberitaan mengenai penganiayaan tersebut adalah sebuah kebohongan.
Publik geger, banyak pihak ikut kebakaran jenggot dan merasa dibohongi oleh Ratna Sarumpaet. Publik yang sebelumnya menyakini hal tersebut sebagai kebenaran menyanyangkan sikap Ratna. Kebenaran hari itu menjadi lumer.
Di tengah-tengah wacana berita bohong atau hoaks yang terus berkembang, Suara.com bertemu Guru Besar Filsafat Profesor DR Justinus Sudarminta SJ di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Romo Sudarminta, yang juga pengampu kuliah "Kebenaran dan Pascakebenaran" itu, menyebut situasi semacam itu sebagai sebuah "Post-Truth" atau era pascakebenaran. Publik lebih percaya pada hoaks ketimbang kebenaran objektif yang sebenarnya.
Lalu bagaimana menghubungkan era Post-Truth ini dengan kasus Ratna Sarumpaet? Berikut wawancara lengkap Suara.com degan Romo Sudarminta:
Bisa Anda jelaskan, apakah yang dimaksud Post-Truth?
Post truth itu zaman ditandai oleh pendapat publik yang ditentukan oleh ideologi dan keyakinan individu/pribadi, daripada oleh kebenaran objektif yang sungguh-sungguh terjadi.
Mengapa itu sampai terjadi demikian? Karena, dengan semakin banyaknya informasi yang beredar pada era produk digital, orang-orang juga kebanjiran begitu banyak informasi.
Namun, di tengah membanjirnya informasi, seringkali daya kritis publik tidak cukup berkembang. Alhasil, banyak pihak yang tak mampu menyaring informasi tersebut.
Saat kita menerima beragam informasi, terdapat respons spontanitas dalam otak. Setidaknya respons spontanitas itu bisa dinamakan sebagai mamalian brain, dan yang paling primitif itu adalah crocodile brain syndrom.
Crocodile brain syndrom itu sebenarnya reaksi spontan otak kita dalam menyaring apa yang masuk. Itu tolok ukurnya adalah, mana yang menakutkan, dan mana yang menyenangkan. Jadi, secara spontan otak kita itu menyaring informasi yang muncul berdasarkan apa yang berbahaya, dan apa yang tidak berbahaya.
Yang membahayakan cenderung saya singkirkan, tinggalkan, dan abaikan. Ini bahayanya kalau orang sudah tidak lagi kritis. Nanti kecenderungannya banyak berita atau wacana yang langsung saja disebarkan. Menurut orang itu benar, padahal hal tersebut belum tentu benar.
Tapi kebenaran tersebut hanya berdasarkan kesenangannya saja. Ini kalau dimanfaatkan orang, untuk katakankanlah kepentingan politik dan sebagainya, kan bisa berbahaya juga.
Karena kebohongan yang berkali-kali disampaikan, disebarkan, dan banyak orang yang percaya, maka hal tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Kalau publik semakin tidak kritis terhadap sebuah informasi yang diterima, dapat membuat opini publik yang sebenarnya salah menjadi dianggap benar atas dasar emosi belaka.
Ini sebenarnya juga ada di balik kasus kemenangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Ketika Trump berhadapan dengan Hillary Clinton. Sebenarnya, dalam survei, Hillary unggul. Tapi pada pemilihan umum, dia justru kalah.
Trump ternyata memanfaatkan kabar hoaks yang beredar untuk meraih kemenangan. Dalam dunia politik internasional, kecenderungan itu mulai akut juga.
Bahaya juga ke depannya. Sebab, bisa jadi, pemimpin yang terpilih nanti tidak sungguh-sungguh berdasarkan pada fakta objektif.
Lalu bagaimana menghubungkan teori Post-Truth dengan hoaks yang marak di Indonesia? Terutama soal hoaks yang menjadi senjata politik.
Sebenarnya, pemimpin yang sejati akan sangat berhati-hati menggunakan itu. Teknologi kekinian sudah semakin maju, sehingga bisa mendeteksi hoaks. Cepat atau lambat, setiap hoaks pasti terbongkar.
Pada masa lampau, ketika kebohongan itu masih sulit untuk dilacak, mungkin orang masih menggunakan berita bohong atau hoaks sebagai senjata. Apalagi kalau dibarengi dengan ancaman ketakutan.
Soal kabar hoaks yang juga di dalamnya berisi ancaman ketakutan, erat terkait crocodile brain syndrome. Sederhananya, kalau seseorang takut setelah mendapat hoaks tersebut, reaksi utamanya adalah mencari selamat atau "main aman", ketimbang menyatakan hal yang sebenarnya.
Pola itu pula yang memunculkan mekanisme "sensor diri" (self sensorship) terutama di negeri-negeri para pemimpin otoriter.
Misalnya, pada era Orde Baru, setiap orang pasti berhati-hati untuk berbicara sesuatu hal. Akan bisik-bisik. Jangan-jangan bisa bocor dan nyawanya akan terancam pula, sehingga akhirnya yang dipercakapkan ya yang aman-aman saja.