Henricus Priyosulistyo : Rumah Tahan Gempa Butuh Kesadaran Kita

Jum'at, 31 Agustus 2018 | 19:38 WIB
Henricus Priyosulistyo : Rumah Tahan Gempa Butuh Kesadaran Kita
Henricus Priyosulistyo, salah seorang ahli bangunan atau rumah tahan gempa di Universitas Gadjah Mada (UGM). [Suara.com/Abdus Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rumah tahan gempa kembali menjadi bahan pembicaraan, ketika rangkaian gempa demi gempa terus terjadi belakangan dan memakan banyak korban, terutama di Lombok dan sekitarnya. Salah satu sosok yang paham tentang struktur bangunan, bahkan sudah melakukan penelitian khusus soal ketahanan terhadap gempa itu adalah Henricus Priyosulistyo.

Peneliti di Teknik Sipil UGM yang meraih gelar Ph.D dari University of Strathclyde, Glasgow, ini mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat bisa saja memiliki rumah yang relatif tahan gempa. Namun, ia menggarisbawahi perlunya kesadaran dari masyarakat sendiri untuk itu, terutama terkait penggunaan material dan pengerjaannya saat membangun rumah. Dalam hal ini, prinsip ingin hemat semata menurutnya harus disingkirkan.

Lantas, apa lagi yang bisa disampaikan Henricus terkait antisipasi menghadapi gempa tersebut, juga soal rangkaian gempa itu sendiri yang diprediksi masih akan terus terjadi? Bagaimana pula dengan mitigasi bencana yang sudah berjalan? Berikut petikan wawancaranya dengan Suara.com di Yogyakarta:

Bagaimana Anda menjelaskan gempa yang belakangan berulang kali terjadi --bahkan sampai ratusan kali-- di Lombok?

Gempa di Lombok ini aneh ketimbang gempa lain. Sifatnya gempa itu tidak sekali mainshock, kemudian aftershock beberapa kali, setelah itu menghilang. Ternyata di sana muncul beberapa mainshock, akan tetapi tempatnya berbeda, walaupun di jalur yang sama.

Apakah ada daerah di mana akan terjadi gempa serupa dengan gempa Lombok?

Tidak bisa diprediksi. Ada yang mengisukan megathrust bisa terjadi. Tapi kapan? Nggak tahu. Itu kan gempa keras yang menimbulkan tsunami, yang diperkirakan akan terjadi di sepanjang patahan di Sumatera bagian barat, kemudian ke bawah, lalu (ke) Pulau Jawa ini. Ada yang meramalkan itu. Biasanya kalau gempa besar lama tidak terjadi, ada orang yang meramal akan ada gempa besar.

Gempa Lombok dikategorikan sebagai hal baru. Apakah itu benar? Bagaimana Anda melihat hal tersebut dari kajian ilmu pengetahuan?

(Iya) Baru. Paling nggak, seumuran saya baru kali ini. Ketika diumumkan Dwikora (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika/BMKG Dwikorita Karnawati -Red), ia mengaku ini bukan aftershock, tapi mainshock. Mainshock itu gempa paling besar pertama kali terjadi. Biasanya gempa itu gempa primer, atau yang disebut juga gempa awal, kemudian akan masuk gempa sekunder yang potensinya terjadi lebih besar.

Mainshock-nya di sini ini berjarak beberapa detik saja. Misalnya jarak dekat 1 detik itu kurang lebih 7-11 kilometer, sehingga (jika) gempa primer dan sekunder berjarak 10 detik, maka gempa itu berjarak sekitar 70-110 km. (Jika) Rekaman gempa itu dilakukan, biasanya gempa besar itu jaraknya pendek, sehingga orang tidak bisa menyelamatkan diri pada umumnya. Kalau ada gempa lagi yang sama, itu bukan aftershock lagi, namun mainshock yang posisinya beda-beda.

Assessment dalam fenomena di Lombok tidak bisa dilaksanakan karena gempa-gempa berikutnya lebih tinggi daripada mainshock-nya. Kalau menurut FEMA, umumnya sehabis mainshock pasti aftershock, sehingga bisa (dilakukan) assessment. Tapi itu tidak terjadi di Lombok, sehingga tidak bisa melakukan penilaian pada gedung bangunan dalam kategori rusak ringan, sedang, dan berat. Saat ini membingungkan. Kalau dinilai sekarang, jangan-jangan ada mainshock lagi. Terus kalau melakukan penilaian (sekarang), bisa menimbulkan (rasa) tidak percaya masyarakat. Kemarin sudah dinilai, kok sekarang roboh. Ini yang membingungkan. Memang gempa tidak bisa diprediksi. Ini gempa (yang) jarang terjadi; gempa susul-menyusul tidak semakin mengecil, namun (malah) berlanjut.

Nyatanya itu tidak muncul di peraturan. Dalam peraturan itu hanya menegaskan mainshock dan aftershock. Misalnya kan, assessment dilakukan setelah mainshock. Beberapa hari kemudian, berselang satu minggu, sudah boleh dilakukan penilaian cepat, supaya orang yang memiliki gedung bisa meyakini gedung itu aman atau tidak. Kalau rumah tinggal, bisa ditempati (atau tidak). Kan kalau tidak melakukan penilaian atau kalau dibiarkan, akan muncul masalah sosial. Tapi itu kan assessment itu tidak bisa dilakukan. Itu belum diatur dalam peraturan gempa dunia. Sehingga, harus apa sekarang, kalau gempanya mainshock terus-menerus? Apakah boleh melakukan penilaian rumah, atau bangunan sosial maupun umum?

Jadi, di dunia, gempa ini juga dikategorikan baru pertama kali terjadi?

Sejauh ini mungkin nggak ada di tempat lain, (atau) tidak terekam dengan baik. Saya hanya melihat aturan. Tidak ada yang mengatur ada mainshock beberapa kali dalam satu lokasi. Itu belum ada. (Lantas) Harus bagaimana, coba? FEMA belum mengatur juga.

Disebutkan bahwa Sesar Naik Flores menjadi dasar gempa tersebut. Bagaimana proses Sesar Naik itu terjadi dalam gempa Lombok?

Lempeng Australia ini masuk ke Indonesia yang munculnya di sebelah utara Pulau Lombok. Mereka tabrakan. Kan lempengan itu diperkirakan 7 milimeter per tahun bergerak. Penekanan dari lempengan itu bisa membuat ambrol, karena menimbulkan tegangan. Ambrolnya di mana? Ini orang tidak ada yang tahu.

Kalau ada pelepasan energi karena tekanan terus-menerus, maka akan meledak. Seperti keramik, kalau dipasang, suatu ketika akan meledak, karena bahannya memiliki perubahan panjang, susut. Kalau kena air dia akan mengembang. Ketika ada keramik lama tidak dipel, lalu dikasih air, ia akan naik. Lempeng juga begitu. Kalau terus ada tekanan, akan ada patahan. Tidak ada yang bisa mengamati secara detail, sekali pun (dilakukan) pengamatan dari luar angkasa per meternya.

Warga korban gempa melaksanakan salat Jumat di sekitar tempat pengungsian Pemenang, Lombok Utara, NTB, Jumat (10/8). ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Warga korban gempa melaksanakan salat Jumat di sekitar tempat pengungsian di Pemenang, Lombok Utara, NTB, Jumat (10/8/2018). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Lalu bagaimana ke depan. Apakah masih akan ada gempa? Atau mungkin di daerah lain?

Saya percaya akan selalu ada gempa, namun tidak selalu di Lombok, tapi di sepanjang patahan tersebut. Secara teoretis memang di sana tempatnya, tidak akan berubah banyak. Hanya (soal) kapannya, itu tidak bisa diramalkan.

Bicara soal rumah, banyak rumah dan bangunan roboh dalam gempa tersebut. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

Gampang dijelaskan. Itu masalah sosial. Manusia kan sudah lama tidak mengalami derita, jadinya kan lupa. Gempa Jogja tahun 2006, orang shock ada gempa besar dan merusak rumah. Lalu orang sadar dan paham kalau itu disebabkan karena tidak benarnya dia menggunakan bahan bangunan saat membangun rumahnya. Misalnya, antara pondasi dan tiang atau kolom, tidak disangkutkan dengan baik, hanya ditempelkan. Kalau tidak ada gempa, ya kuat. Kolom kan kekuatannya 1 cm persegi bisa menahan 125 kg. Nah, kalau 10x10 cm kan 100, dikali 125 kg kan kuat sekali itu. (Tapi) Itu kalau nggak ada gempa.

Kolom tadi, kalau gempanya vertikal atau gempa primer, akan kuat. Namun ketika gempanya horizontal, gempa sekunder, (ia) tidak kuat. Sehingga sambungan balok dan kolom yang hanya ditempelkan, tidak diikat, nggak akan kuat. Harusnya besi balok masuk ke dalam kolom, kolom masuk ke balok, saling mengunci. Itu bisa lebih kuat. Tapi masyarakat tidak melakukan itu. Alasannya menghemat. Itu yang menyebabkan kerusakan.

Kedua, tidak ada balok. Hanya kolom, lalu pasang bata, kasih kayu, lalu genteng. Nah, kalau itu, mudah lepas pasangan batanya. Maka itu yang mencelakai orang, karena pasangan bata yang lepas.

Jadi, kebanyakan rumah roboh karena tidak memiliki struktur bangunan yang tahan gempa? Lalu bagaimana menurut Anda?

Saya kira ada beberapa yang sudah melakukan. Yang roboh itu (lebih karena) tidak memenuhi syarat. Kolomnya saja hanya ditempelkan di atas batu, ujung kolom tidak diikat lagi. Lalu temboknya tidak digunakan plester yang baik, hanya sekadar plesteran biasa. Kalau dilakukan dengan baik, pasti bisa bertahan kalau (gempa) 7 SR dengan jarak 10-20 km. Masih kuat saya rasa.

Idealnya seperti apa bangunan tahan gempa itu?

Kalau sampai 7 SR dengan jarak 10-20 km, idealnya ada kolom, lalu dalam kolom ada tulangan 4 biji, lalu diikat dengan begel (pengikat) dengan jarak 10 cm. Baloknya juga begitu, ada 4 buah tulangan atau besi diikat dengan begel 10 cm. Satu dengan yang lain, antara balok dan kolom, diikatkan dengan 40 kali diameter. Itu sudah mampu menahan. Namun yang menjadi masalah itu isiannya. Kalau pakai bata, itu dia kuat, tapi getas. Sehingga perlu ada bahan lain yang membuat dia liat.

Dalam penelitian kita, yang bisa digunakan adalah stripping band, bahan yang biasanya dipakai untuk ikat tas koper. Pakai itu bisa, lalu diplester, itu sudah sangat kuat. Kalau itu diaplikasikan, itu relatif mudah. (Dan) Itu bisa membuat pasangan bata lebih liat kalau ada gempa besar. Temboknya (bisa) hancur, tapi tidak merebahkan. Lebih ideal lagi mengunakan kawat ayam. Itu akan lebih sempurna, karena kawat ayam bisa molor karena memiliki kelenturan tertentu. Tidak ambrol, tapi mengikuti gempa. Itu salah satu model untuk bangunan di tempat rawan.

Seperti apa sih, struktur bangunan yang tahan gempa?

Gempa kan getaran dari bawah, kemudian merambat ke atas. Simpangan tertinggi paling atas, gaya terbesar ada di bawah. Sehingga buat bagian bawah, dibuat lebih kuat. Maka pondasi dan kolom dan balok harus kuat. Kalau itu hancur, atap akan hancur. Pemerintah menerapkan (besi) kolom ukurannya 12 mili. Itu jika dipakai baik. Kalau nggak punya uang, lebih kecil bisa, asal dilakukan dengan baik. Misalnya, balok dan kolom jangan hanya ditempel, tapi disatukan, dikunci, diameter balok tidak akan hancur. Biasanya di lapangan saat terjadi gempa, itu beton dan kolom pasti hancur. Maka, kualitas harus dijaga. Memang beton bisa kuat sekali. Tapi kalau tulangannya lepas, betonnya bisa lepas semua. Maka pengikat itu penting. Saya katakan, jaraknya jangan lebih 10 cm. Lalu ikatannya ditekuk, sehingga dapat mengekang beton yang berusaha keluar. Kalau sudah ikut itu, selesai. Bangunan itu (akan) tahan gempa, tidak mudah lepas.

Rumah bisa tahan gempa berapa SR yang pernah dibuat, dan yang harusnya dibuat?

Kalau bicara SR saja tidak mencerminkan. "SR" ada di dalam perut bumi kalau jaraknya terhadap bangunan belum terakumulasi. Mungkin lebih pas kalau orang teknik sipil bicara soal percepatan permukaan bumi. Prinsipnya, percepatan bumi yang normal tahan 0,1 gravitasi. Itu sudah standar minimum. 10 persen G itu standar sebelum negara berdiri. Sekarang ini sudah meningkat menjadi 0,5 G. Jadi bangunan harus tahan dari setengah gravitasi.

Maka kalau bicara seberapa besar, tergantung fungsi bangunannya untuk apa dulu. Kalau untuk mempertahankan diri karena di dalamnya ada nuklir yang membahayakan, paling tidak itu sampai 1 G percepatannya. Kalau bangunan rumah sekarang kan, 0,4 G itu sudah cukup besar. Itu pun biayanya cukup besar. Kalau rumah biasa, ya 0,3 sampai 0,2 sudah bagus. Kalau rumah sakit, sekolah, ya 0,4 sampai 0,5 sudah bagus.

Bagaimana Henricus memandang rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bangunan rumah yang ideal? Simak laman berikutnya, di mana ia juga mengaku punya 'resep' untuk memasyarakatkan rumah tahan gempa...

Kontributor : Abdus Somad

Indonesia dikategorikan sebagai daerah rawan gempa, namun masyarakat masih belum menyadari proses dan pentingnya membangun rumah tahan gempa. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

Nah, itu. Pengalaman di Sumatera, saya diminta mengevaluasi bangunan setelah sekian bulan, kita menjumpai ada masalah. Ternyata kalau ada orang masih merasakan kesedihannya, (dia) masih mau ditempatkan di rumah tahan gempa. Kalau sudah hilang kesedihannya, dia tinggalkan rumah tahan gempa itu, lalu tinggal di tempat lain. Bahkan ada juga (rumahnya) dibongkar, dipasangi bata, karena merasa rumah baik itu (pakai) pasangan bata. Itu yang susah. Ini masalah sosial. Padahal idealnya, bertempat tinggal di tempat (rawan) gempa itu bangunannya harus ringan, terbuat dari bahan liat seperti baja alumunium. Ini bahan tahan gempa.

Artinya, yang jadi problem adalah kesadaran masyarakat untuk membangun rumah tahan gempa?

Iya, kesadaran masyarakat susah. Dulu pernah dibangunkan rumah bertingkat, dengan harapan ketika ada tsunami bisa melakukan evakuasi. Tapi justru malah dia bongkar, lalu buat (rumah) pasangan bata lagi. Saya heran. Satu sisi kurang sadar, di sisi lain (banyak) masyarakat orangnya taqwa dan pasrah, berpikir hidup-mati di tangan Tuhan. Ini yang susah, hanya mau (mengikuti) pikirannya sendiri, bukan pikiran orang lain.

Lantas, susahkah memberikan penyadaran kepada masyarakat?

Saat-saat seperti ini mudah, di mana ada gempa terjadi. Sekian tahun kemudian masih mudah. Masyarakat masih menerima kalau membangun (itu) mengikuti cara membangun rumah tahan gempa. (Tapi) Kalau sudah beberapa tahun, pasti lupa. Lalu pasti akan kembali ke masa lalu, membangun rumah yang murah dan secara estetika bagus, tanpa memperhatikan bangunan tahan gempa.

Kalau melihat nenek moyang, dulu masyarakat malah sudah memikirkan rumah tahan gempa. Orang dulu bangun rumah pasti ada opaknya dari batu. Satu sisi kita mikir (itu) untuk mengamankan kayu agar tidak mudah lapuk. Lalu batu itu dilobangkan, tujuannya mengunci. Lalu di bagian atas dikasih kayu, dikasih puluhan kayu seperti rumah Joglo. Kenapa tidak satu saja? Oh, ternyata saat ada gempa, empat soko guru itu utuh, yang lainnya hancur. Secara pengetahuan logis, kalau ada guncangan besar (itu) bisa meredam. Kan yang kerja melawan gaya itu di atas, yang di bawah meredam.

Sekarang ini, (kita) bangun beton bertulang, tapi lupa cara meredamnya. Kekuatannya ada di bawah, tapi yang meredamnya tidak ada. Ini sedang dipikirkan bagaimana meredam gempa untuk bangunan standar. Kita pernah melakukan penelitian, kita bisa pakai karet. Itu sudah pernah diuji. Selain itu, bisa pakai metal. Itu yang baru kita lakukan riset. Mudah-mudahan kita bisa memproduksi itu, agar bisa dipakai di rumah standar.

Apakah sudah ada yang menggunakan bangunan tahan gempa (seperti itu) di Indonesia?

Ada di Bantul. Itu cukup ketat, karena kita awasi. Sudah banyak yang melakukan rumah tahan gempa. Hanya saja, (suka) ada bangunan tambahan yang dibuat masyarakat. Artinya, ada pengubahan sendiri dilakukan masyarakat, tanpa melihat sisi tahan gempa. Itu (yang) saya kurang paham, karena kurang memantau. Selain itu, ada (juga) di Padang.

Anjing polisi K-9 mengendus bangunan yang runtuh akibat gempa bumi saat proses pencarian korban di Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8). ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Anjing polisi K-9 mengendus bangunan yang runtuh akibat gempa bumi saat proses pencarian korban di Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8/2018). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Lantas apakah itu mungkin bisa diterapkan di seluruh daerah, mengingat Indonesia sebagai kawasan yang rawan bencana?

Saya punya resep, (bahwa) orang mau membuat (bangunan) tahan gempa itu kan ujung-ujungnya duit. Jadi, dia tidak punya uang, maka akan kembali ke pasrah tadi. Namun beda kalau masyarakat dirangsang. Misalnya, masyarakat yang mau mengikuti standar gempa dibebaskan dari pajak bangunan selama sekian tahun. Artinya masyarakat (itu) tidak bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sekian tahun, namun dia aman dari gempa, dan uang pajak dan bangunan dibangun buat rumah tahan gempa. Itu menarik untuk mengajak masyarakat memiliki rumah tahan gempa.

Kemudian mengurangi (biaya) IMB. Kalau bangunan permanen dua lantai tiga lantai, kalau (dia) mengikuti standar, itu dapat mengurangi biaya IMB atau pajak bangunan. Saya kira pemerintah harus ikut campur di sana. Karena lebih baik melakukan itu, ketimbang memberikan atau mengeluarkan dana setelah terjadi gempa.

Kalau itu diberikan jauh hari, sehingga orang terangsang membangun rumah tahan gempa, itu biayanya lebih murah daripada uang yang dikeluarkan pemerintah saat terjadi gempa. Menurut saya harus ke sana. Kalau hanya menyuruh-nyuruh, itu mau bagaimana?

Lalu kedua, kesadaran moral. Kalau masyarakat punya mental pasrah, itu susah. (Tapi) Kalau mentalnya peduli dengan orang lain, peduli anak-cucu, (bahwa) saya harus buat rumah tidak hanya untuk saya, melainkan untuk anak-cucu dan keluarga saya, bahkan tetangga saya, itu bisa.

Bicara soal mitigasi bencana, apakah menurut Anda sejauh ini sudah efektif diterapkan di Indonesia?

Saya kebetulan mengajar mitigasi gempa. Indonesia belum efektif melakukan mitigasi, karena mitigasi itu efektif kalau terlihat di RT/RW. Ketika mereka berkumpul membicarakan, membantu orang-orang menyadarkan apa bahaya gempa, sampai bahas rumah tahan gempa. (Itu) Perlu disisipkan dalam urusan penyelamatan di tingkat RT dan RW.

BPBD dalam penilaian saya belum menjangkau institusi terendah itu. Yang baru nampak itu pembuatan jalur evakuasi. Tapi itu kan tidak cukup. Itu baik, tapi tidak cukup. Kita melihat korban itu ada di rumah penduduk sederhana, rumah tembokan tapi tidak dibuat proporsional. Yang mematikan (menelan korban) itu kan pasangan bata dan genteng. Maka mitigasi harus dilakukan terus-menerus. Mitigasi diperlukan untuk menyadarkan orang, ada tindak lanjut atau monitoring. Menurut saya, mitigasi lebih penting daripada (sekadar) memberikan dana setelah terjadinya gempa.

Lalu ada masalah apa lagi dengan tidak berjalannya mitigasi di Indonesia?

BNPB hanya menangani di tingkat makro; mengatasi kekurangan air, tenda dan makanan, tapi melakukan mitigasi tidak pernah. Ini belum ada aparat yang bisa menjangkau ke bawah. Kan masyarakat harusnya diingatkan terus, kalau lupa harus diingatkan terus. Tapi kadang logika masyarakat dalam urusan rumah kan bagaimana membangun rumah hemat, bukan rumah kuat.

Memang, menyadarkan masyarakat membangun rumah dengan benar harus dimulai dengan program pemerintah. BNPB harus aktif membuat kegiatan sampai ke bawah tadi. Sampai ke keluarga, kecamatan, kelurahan, RT/RW, ada orangnya, ada tim. Selain itu, pemerintah perlu memberikan kemudahan untuk membangun rumah tahan gempa.

***
Riwayat Hidup Singkat

Nama: Prof. Ir. Henricus Priyosulistyo, M.Sc, Ph.D
Tempat/tanggal lahir: Gunung Kidul, Yogyakarta, 15 Juli 1954
Pendidikan:
-Sarjana Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, 1980
-Master of Science, University of Strathclyde, UK, 1988
-Doctor of Philosophy, University of Strathclyde, UK, 1992
Karir:
-Dosen/peneliti (1981 - sekarang)
-Direktur Aset UGM (2015 – 2017)
Penelitian: Design of Earthquake Resistant Buildings (Desain Bangunan Rumah Tahan Gempa), Bandung, Departemen PU - JICA, 1982
Keanggotaan profesional: HAKI, PII

Kontributor : Abdus Somad

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI