Henricus Priyosulistyo : Rumah Tahan Gempa Butuh Kesadaran Kita

Jum'at, 31 Agustus 2018 | 19:38 WIB
Henricus Priyosulistyo : Rumah Tahan Gempa Butuh Kesadaran Kita
Henricus Priyosulistyo, salah seorang ahli bangunan atau rumah tahan gempa di Universitas Gadjah Mada (UGM). [Suara.com/Abdus Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Indonesia dikategorikan sebagai daerah rawan gempa, namun masyarakat masih belum menyadari proses dan pentingnya membangun rumah tahan gempa. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

Nah, itu. Pengalaman di Sumatera, saya diminta mengevaluasi bangunan setelah sekian bulan, kita menjumpai ada masalah. Ternyata kalau ada orang masih merasakan kesedihannya, (dia) masih mau ditempatkan di rumah tahan gempa. Kalau sudah hilang kesedihannya, dia tinggalkan rumah tahan gempa itu, lalu tinggal di tempat lain. Bahkan ada juga (rumahnya) dibongkar, dipasangi bata, karena merasa rumah baik itu (pakai) pasangan bata. Itu yang susah. Ini masalah sosial. Padahal idealnya, bertempat tinggal di tempat (rawan) gempa itu bangunannya harus ringan, terbuat dari bahan liat seperti baja alumunium. Ini bahan tahan gempa.

Artinya, yang jadi problem adalah kesadaran masyarakat untuk membangun rumah tahan gempa?

Iya, kesadaran masyarakat susah. Dulu pernah dibangunkan rumah bertingkat, dengan harapan ketika ada tsunami bisa melakukan evakuasi. Tapi justru malah dia bongkar, lalu buat (rumah) pasangan bata lagi. Saya heran. Satu sisi kurang sadar, di sisi lain (banyak) masyarakat orangnya taqwa dan pasrah, berpikir hidup-mati di tangan Tuhan. Ini yang susah, hanya mau (mengikuti) pikirannya sendiri, bukan pikiran orang lain.

Lantas, susahkah memberikan penyadaran kepada masyarakat?

Saat-saat seperti ini mudah, di mana ada gempa terjadi. Sekian tahun kemudian masih mudah. Masyarakat masih menerima kalau membangun (itu) mengikuti cara membangun rumah tahan gempa. (Tapi) Kalau sudah beberapa tahun, pasti lupa. Lalu pasti akan kembali ke masa lalu, membangun rumah yang murah dan secara estetika bagus, tanpa memperhatikan bangunan tahan gempa.

Kalau melihat nenek moyang, dulu masyarakat malah sudah memikirkan rumah tahan gempa. Orang dulu bangun rumah pasti ada opaknya dari batu. Satu sisi kita mikir (itu) untuk mengamankan kayu agar tidak mudah lapuk. Lalu batu itu dilobangkan, tujuannya mengunci. Lalu di bagian atas dikasih kayu, dikasih puluhan kayu seperti rumah Joglo. Kenapa tidak satu saja? Oh, ternyata saat ada gempa, empat soko guru itu utuh, yang lainnya hancur. Secara pengetahuan logis, kalau ada guncangan besar (itu) bisa meredam. Kan yang kerja melawan gaya itu di atas, yang di bawah meredam.

Sekarang ini, (kita) bangun beton bertulang, tapi lupa cara meredamnya. Kekuatannya ada di bawah, tapi yang meredamnya tidak ada. Ini sedang dipikirkan bagaimana meredam gempa untuk bangunan standar. Kita pernah melakukan penelitian, kita bisa pakai karet. Itu sudah pernah diuji. Selain itu, bisa pakai metal. Itu yang baru kita lakukan riset. Mudah-mudahan kita bisa memproduksi itu, agar bisa dipakai di rumah standar.

Apakah sudah ada yang menggunakan bangunan tahan gempa (seperti itu) di Indonesia?

Ada di Bantul. Itu cukup ketat, karena kita awasi. Sudah banyak yang melakukan rumah tahan gempa. Hanya saja, (suka) ada bangunan tambahan yang dibuat masyarakat. Artinya, ada pengubahan sendiri dilakukan masyarakat, tanpa melihat sisi tahan gempa. Itu (yang) saya kurang paham, karena kurang memantau. Selain itu, ada (juga) di Padang.

Anjing polisi K-9 mengendus bangunan yang runtuh akibat gempa bumi saat proses pencarian korban di Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8). ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Anjing polisi K-9 mengendus bangunan yang runtuh akibat gempa bumi saat proses pencarian korban di Pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8/2018). [ANTARA FOTO/Zabur Karuru]

Lantas apakah itu mungkin bisa diterapkan di seluruh daerah, mengingat Indonesia sebagai kawasan yang rawan bencana?

Saya punya resep, (bahwa) orang mau membuat (bangunan) tahan gempa itu kan ujung-ujungnya duit. Jadi, dia tidak punya uang, maka akan kembali ke pasrah tadi. Namun beda kalau masyarakat dirangsang. Misalnya, masyarakat yang mau mengikuti standar gempa dibebaskan dari pajak bangunan selama sekian tahun. Artinya masyarakat (itu) tidak bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sekian tahun, namun dia aman dari gempa, dan uang pajak dan bangunan dibangun buat rumah tahan gempa. Itu menarik untuk mengajak masyarakat memiliki rumah tahan gempa.

Kemudian mengurangi (biaya) IMB. Kalau bangunan permanen dua lantai tiga lantai, kalau (dia) mengikuti standar, itu dapat mengurangi biaya IMB atau pajak bangunan. Saya kira pemerintah harus ikut campur di sana. Karena lebih baik melakukan itu, ketimbang memberikan atau mengeluarkan dana setelah terjadi gempa.

Kalau itu diberikan jauh hari, sehingga orang terangsang membangun rumah tahan gempa, itu biayanya lebih murah daripada uang yang dikeluarkan pemerintah saat terjadi gempa. Menurut saya harus ke sana. Kalau hanya menyuruh-nyuruh, itu mau bagaimana?

Lalu kedua, kesadaran moral. Kalau masyarakat punya mental pasrah, itu susah. (Tapi) Kalau mentalnya peduli dengan orang lain, peduli anak-cucu, (bahwa) saya harus buat rumah tidak hanya untuk saya, melainkan untuk anak-cucu dan keluarga saya, bahkan tetangga saya, itu bisa.

Bicara soal mitigasi bencana, apakah menurut Anda sejauh ini sudah efektif diterapkan di Indonesia?

Saya kebetulan mengajar mitigasi gempa. Indonesia belum efektif melakukan mitigasi, karena mitigasi itu efektif kalau terlihat di RT/RW. Ketika mereka berkumpul membicarakan, membantu orang-orang menyadarkan apa bahaya gempa, sampai bahas rumah tahan gempa. (Itu) Perlu disisipkan dalam urusan penyelamatan di tingkat RT dan RW.

BPBD dalam penilaian saya belum menjangkau institusi terendah itu. Yang baru nampak itu pembuatan jalur evakuasi. Tapi itu kan tidak cukup. Itu baik, tapi tidak cukup. Kita melihat korban itu ada di rumah penduduk sederhana, rumah tembokan tapi tidak dibuat proporsional. Yang mematikan (menelan korban) itu kan pasangan bata dan genteng. Maka mitigasi harus dilakukan terus-menerus. Mitigasi diperlukan untuk menyadarkan orang, ada tindak lanjut atau monitoring. Menurut saya, mitigasi lebih penting daripada (sekadar) memberikan dana setelah terjadinya gempa.

Lalu ada masalah apa lagi dengan tidak berjalannya mitigasi di Indonesia?

BNPB hanya menangani di tingkat makro; mengatasi kekurangan air, tenda dan makanan, tapi melakukan mitigasi tidak pernah. Ini belum ada aparat yang bisa menjangkau ke bawah. Kan masyarakat harusnya diingatkan terus, kalau lupa harus diingatkan terus. Tapi kadang logika masyarakat dalam urusan rumah kan bagaimana membangun rumah hemat, bukan rumah kuat.

Memang, menyadarkan masyarakat membangun rumah dengan benar harus dimulai dengan program pemerintah. BNPB harus aktif membuat kegiatan sampai ke bawah tadi. Sampai ke keluarga, kecamatan, kelurahan, RT/RW, ada orangnya, ada tim. Selain itu, pemerintah perlu memberikan kemudahan untuk membangun rumah tahan gempa.

***
Riwayat Hidup Singkat

Nama: Prof. Ir. Henricus Priyosulistyo, M.Sc, Ph.D
Tempat/tanggal lahir: Gunung Kidul, Yogyakarta, 15 Juli 1954
Pendidikan:
-Sarjana Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, 1980
-Master of Science, University of Strathclyde, UK, 1988
-Doctor of Philosophy, University of Strathclyde, UK, 1992
Karir:
-Dosen/peneliti (1981 - sekarang)
-Direktur Aset UGM (2015 – 2017)
Penelitian: Design of Earthquake Resistant Buildings (Desain Bangunan Rumah Tahan Gempa), Bandung, Departemen PU - JICA, 1982
Keanggotaan profesional: HAKI, PII

Kontributor : Abdus Somad

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI