Suara.com - Rumah tahan gempa kembali menjadi bahan pembicaraan, ketika rangkaian gempa demi gempa terus terjadi belakangan dan memakan banyak korban, terutama di Lombok dan sekitarnya. Salah satu sosok yang paham tentang struktur bangunan, bahkan sudah melakukan penelitian khusus soal ketahanan terhadap gempa itu adalah Henricus Priyosulistyo.
Peneliti di Teknik Sipil UGM yang meraih gelar Ph.D dari University of Strathclyde, Glasgow, ini mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat bisa saja memiliki rumah yang relatif tahan gempa. Namun, ia menggarisbawahi perlunya kesadaran dari masyarakat sendiri untuk itu, terutama terkait penggunaan material dan pengerjaannya saat membangun rumah. Dalam hal ini, prinsip ingin hemat semata menurutnya harus disingkirkan.
Lantas, apa lagi yang bisa disampaikan Henricus terkait antisipasi menghadapi gempa tersebut, juga soal rangkaian gempa itu sendiri yang diprediksi masih akan terus terjadi? Bagaimana pula dengan mitigasi bencana yang sudah berjalan? Berikut petikan wawancaranya dengan Suara.com di Yogyakarta:
Bagaimana Anda menjelaskan gempa yang belakangan berulang kali terjadi --bahkan sampai ratusan kali-- di Lombok?
Gempa di Lombok ini aneh ketimbang gempa lain. Sifatnya gempa itu tidak sekali mainshock, kemudian aftershock beberapa kali, setelah itu menghilang. Ternyata di sana muncul beberapa mainshock, akan tetapi tempatnya berbeda, walaupun di jalur yang sama.
Apakah ada daerah di mana akan terjadi gempa serupa dengan gempa Lombok?
Tidak bisa diprediksi. Ada yang mengisukan megathrust bisa terjadi. Tapi kapan? Nggak tahu. Itu kan gempa keras yang menimbulkan tsunami, yang diperkirakan akan terjadi di sepanjang patahan di Sumatera bagian barat, kemudian ke bawah, lalu (ke) Pulau Jawa ini. Ada yang meramalkan itu. Biasanya kalau gempa besar lama tidak terjadi, ada orang yang meramal akan ada gempa besar.
Gempa Lombok dikategorikan sebagai hal baru. Apakah itu benar? Bagaimana Anda melihat hal tersebut dari kajian ilmu pengetahuan?
(Iya) Baru. Paling nggak, seumuran saya baru kali ini. Ketika diumumkan Dwikora (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika/BMKG Dwikorita Karnawati -Red), ia mengaku ini bukan aftershock, tapi mainshock. Mainshock itu gempa paling besar pertama kali terjadi. Biasanya gempa itu gempa primer, atau yang disebut juga gempa awal, kemudian akan masuk gempa sekunder yang potensinya terjadi lebih besar.
Mainshock-nya di sini ini berjarak beberapa detik saja. Misalnya jarak dekat 1 detik itu kurang lebih 7-11 kilometer, sehingga (jika) gempa primer dan sekunder berjarak 10 detik, maka gempa itu berjarak sekitar 70-110 km. (Jika) Rekaman gempa itu dilakukan, biasanya gempa besar itu jaraknya pendek, sehingga orang tidak bisa menyelamatkan diri pada umumnya. Kalau ada gempa lagi yang sama, itu bukan aftershock lagi, namun mainshock yang posisinya beda-beda.
Assessment dalam fenomena di Lombok tidak bisa dilaksanakan karena gempa-gempa berikutnya lebih tinggi daripada mainshock-nya. Kalau menurut FEMA, umumnya sehabis mainshock pasti aftershock, sehingga bisa (dilakukan) assessment. Tapi itu tidak terjadi di Lombok, sehingga tidak bisa melakukan penilaian pada gedung bangunan dalam kategori rusak ringan, sedang, dan berat. Saat ini membingungkan. Kalau dinilai sekarang, jangan-jangan ada mainshock lagi. Terus kalau melakukan penilaian (sekarang), bisa menimbulkan (rasa) tidak percaya masyarakat. Kemarin sudah dinilai, kok sekarang roboh. Ini yang membingungkan. Memang gempa tidak bisa diprediksi. Ini gempa (yang) jarang terjadi; gempa susul-menyusul tidak semakin mengecil, namun (malah) berlanjut.
Nyatanya itu tidak muncul di peraturan. Dalam peraturan itu hanya menegaskan mainshock dan aftershock. Misalnya kan, assessment dilakukan setelah mainshock. Beberapa hari kemudian, berselang satu minggu, sudah boleh dilakukan penilaian cepat, supaya orang yang memiliki gedung bisa meyakini gedung itu aman atau tidak. Kalau rumah tinggal, bisa ditempati (atau tidak). Kan kalau tidak melakukan penilaian atau kalau dibiarkan, akan muncul masalah sosial. Tapi itu kan assessment itu tidak bisa dilakukan. Itu belum diatur dalam peraturan gempa dunia. Sehingga, harus apa sekarang, kalau gempanya mainshock terus-menerus? Apakah boleh melakukan penilaian rumah, atau bangunan sosial maupun umum?
Jadi, di dunia, gempa ini juga dikategorikan baru pertama kali terjadi?
Sejauh ini mungkin nggak ada di tempat lain, (atau) tidak terekam dengan baik. Saya hanya melihat aturan. Tidak ada yang mengatur ada mainshock beberapa kali dalam satu lokasi. Itu belum ada. (Lantas) Harus bagaimana, coba? FEMA belum mengatur juga.
Disebutkan bahwa Sesar Naik Flores menjadi dasar gempa tersebut. Bagaimana proses Sesar Naik itu terjadi dalam gempa Lombok?
Lempeng Australia ini masuk ke Indonesia yang munculnya di sebelah utara Pulau Lombok. Mereka tabrakan. Kan lempengan itu diperkirakan 7 milimeter per tahun bergerak. Penekanan dari lempengan itu bisa membuat ambrol, karena menimbulkan tegangan. Ambrolnya di mana? Ini orang tidak ada yang tahu.
Kalau ada pelepasan energi karena tekanan terus-menerus, maka akan meledak. Seperti keramik, kalau dipasang, suatu ketika akan meledak, karena bahannya memiliki perubahan panjang, susut. Kalau kena air dia akan mengembang. Ketika ada keramik lama tidak dipel, lalu dikasih air, ia akan naik. Lempeng juga begitu. Kalau terus ada tekanan, akan ada patahan. Tidak ada yang bisa mengamati secara detail, sekali pun (dilakukan) pengamatan dari luar angkasa per meternya.
Lalu bagaimana ke depan. Apakah masih akan ada gempa? Atau mungkin di daerah lain?
Saya percaya akan selalu ada gempa, namun tidak selalu di Lombok, tapi di sepanjang patahan tersebut. Secara teoretis memang di sana tempatnya, tidak akan berubah banyak. Hanya (soal) kapannya, itu tidak bisa diramalkan.
Bicara soal rumah, banyak rumah dan bangunan roboh dalam gempa tersebut. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Gampang dijelaskan. Itu masalah sosial. Manusia kan sudah lama tidak mengalami derita, jadinya kan lupa. Gempa Jogja tahun 2006, orang shock ada gempa besar dan merusak rumah. Lalu orang sadar dan paham kalau itu disebabkan karena tidak benarnya dia menggunakan bahan bangunan saat membangun rumahnya. Misalnya, antara pondasi dan tiang atau kolom, tidak disangkutkan dengan baik, hanya ditempelkan. Kalau tidak ada gempa, ya kuat. Kolom kan kekuatannya 1 cm persegi bisa menahan 125 kg. Nah, kalau 10x10 cm kan 100, dikali 125 kg kan kuat sekali itu. (Tapi) Itu kalau nggak ada gempa.
Kolom tadi, kalau gempanya vertikal atau gempa primer, akan kuat. Namun ketika gempanya horizontal, gempa sekunder, (ia) tidak kuat. Sehingga sambungan balok dan kolom yang hanya ditempelkan, tidak diikat, nggak akan kuat. Harusnya besi balok masuk ke dalam kolom, kolom masuk ke balok, saling mengunci. Itu bisa lebih kuat. Tapi masyarakat tidak melakukan itu. Alasannya menghemat. Itu yang menyebabkan kerusakan.
Kedua, tidak ada balok. Hanya kolom, lalu pasang bata, kasih kayu, lalu genteng. Nah, kalau itu, mudah lepas pasangan batanya. Maka itu yang mencelakai orang, karena pasangan bata yang lepas.
Jadi, kebanyakan rumah roboh karena tidak memiliki struktur bangunan yang tahan gempa? Lalu bagaimana menurut Anda?
Saya kira ada beberapa yang sudah melakukan. Yang roboh itu (lebih karena) tidak memenuhi syarat. Kolomnya saja hanya ditempelkan di atas batu, ujung kolom tidak diikat lagi. Lalu temboknya tidak digunakan plester yang baik, hanya sekadar plesteran biasa. Kalau dilakukan dengan baik, pasti bisa bertahan kalau (gempa) 7 SR dengan jarak 10-20 km. Masih kuat saya rasa.
Idealnya seperti apa bangunan tahan gempa itu?
Kalau sampai 7 SR dengan jarak 10-20 km, idealnya ada kolom, lalu dalam kolom ada tulangan 4 biji, lalu diikat dengan begel (pengikat) dengan jarak 10 cm. Baloknya juga begitu, ada 4 buah tulangan atau besi diikat dengan begel 10 cm. Satu dengan yang lain, antara balok dan kolom, diikatkan dengan 40 kali diameter. Itu sudah mampu menahan. Namun yang menjadi masalah itu isiannya. Kalau pakai bata, itu dia kuat, tapi getas. Sehingga perlu ada bahan lain yang membuat dia liat.
Dalam penelitian kita, yang bisa digunakan adalah stripping band, bahan yang biasanya dipakai untuk ikat tas koper. Pakai itu bisa, lalu diplester, itu sudah sangat kuat. Kalau itu diaplikasikan, itu relatif mudah. (Dan) Itu bisa membuat pasangan bata lebih liat kalau ada gempa besar. Temboknya (bisa) hancur, tapi tidak merebahkan. Lebih ideal lagi mengunakan kawat ayam. Itu akan lebih sempurna, karena kawat ayam bisa molor karena memiliki kelenturan tertentu. Tidak ambrol, tapi mengikuti gempa. Itu salah satu model untuk bangunan di tempat rawan.
Seperti apa sih, struktur bangunan yang tahan gempa?
Gempa kan getaran dari bawah, kemudian merambat ke atas. Simpangan tertinggi paling atas, gaya terbesar ada di bawah. Sehingga buat bagian bawah, dibuat lebih kuat. Maka pondasi dan kolom dan balok harus kuat. Kalau itu hancur, atap akan hancur. Pemerintah menerapkan (besi) kolom ukurannya 12 mili. Itu jika dipakai baik. Kalau nggak punya uang, lebih kecil bisa, asal dilakukan dengan baik. Misalnya, balok dan kolom jangan hanya ditempel, tapi disatukan, dikunci, diameter balok tidak akan hancur. Biasanya di lapangan saat terjadi gempa, itu beton dan kolom pasti hancur. Maka, kualitas harus dijaga. Memang beton bisa kuat sekali. Tapi kalau tulangannya lepas, betonnya bisa lepas semua. Maka pengikat itu penting. Saya katakan, jaraknya jangan lebih 10 cm. Lalu ikatannya ditekuk, sehingga dapat mengekang beton yang berusaha keluar. Kalau sudah ikut itu, selesai. Bangunan itu (akan) tahan gempa, tidak mudah lepas.
Rumah bisa tahan gempa berapa SR yang pernah dibuat, dan yang harusnya dibuat?
Kalau bicara SR saja tidak mencerminkan. "SR" ada di dalam perut bumi kalau jaraknya terhadap bangunan belum terakumulasi. Mungkin lebih pas kalau orang teknik sipil bicara soal percepatan permukaan bumi. Prinsipnya, percepatan bumi yang normal tahan 0,1 gravitasi. Itu sudah standar minimum. 10 persen G itu standar sebelum negara berdiri. Sekarang ini sudah meningkat menjadi 0,5 G. Jadi bangunan harus tahan dari setengah gravitasi.
Maka kalau bicara seberapa besar, tergantung fungsi bangunannya untuk apa dulu. Kalau untuk mempertahankan diri karena di dalamnya ada nuklir yang membahayakan, paling tidak itu sampai 1 G percepatannya. Kalau bangunan rumah sekarang kan, 0,4 G itu sudah cukup besar. Itu pun biayanya cukup besar. Kalau rumah biasa, ya 0,3 sampai 0,2 sudah bagus. Kalau rumah sakit, sekolah, ya 0,4 sampai 0,5 sudah bagus.
Bagaimana Henricus memandang rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bangunan rumah yang ideal? Simak laman berikutnya, di mana ia juga mengaku punya 'resep' untuk memasyarakatkan rumah tahan gempa...
Kontributor : Abdus Somad