Berapa lama kira-kira (penerapannya sampai ke sana)?
Jadi begini. Tes buat teknologi tidak bisa dicapai dengan mudah, apalagi teknologi material. Beberapa di negara-negara lain itu memang teknologi seperti itu dikembangkan berpuluh-puluh tahun. Baik, kita bicara di Indonesia. Pertama, posisi saya sekarang sebagai dosen peneliti, bukan di industri, gitu. Apa tugasnya? Yaitu meneliti dan mendidik. Nah, meneliti itu kita coba meneliti yang tadi disebut, lalu dikembangkan dengan industri. Tinggal industri mana yang siap, ya, kita bisa kerja sama dan mengembangkan.
Terus yang kedua, mendidik. Kenapa setiap teknologi itu harus ada penelitiannya? (Sebab) Kalau tidak, teknologi itu akan diam, tidak akan berkembang. Maka perlu penelitian lanjutan. Nah, SDM kita yang bisa berinovasi itu bisa dibilang masih sedikit. Itu tugas saya, mendidik SDM kita untuk siap melakukan penelitian dan pengembangan. Nah, itu tugas dosen di situ. Belum sampai kita membuat di industri, tapi kita bisa memberikan masukan-masukan kepada mereka, bisa bekerja sama melakukan pengembangan, dan lain sebagainya, tapi tidak membuat secara pabrikasi, meskipun ada ya.
Jika ada tawaran dari industri atau perusahaan?
Baca Juga: Mito FullView A21 Meluncur, Seharga Rp 1 Juta
Tentu, kita menunggu siapa yang siap. Sebenarnya sudah ada, cuma ini masih ada off the record-lah.
Sejak memperoleh gelar sarjana, Anda lama di Jepang sampai memperoleh gelar doktor. Sementara, banyak juga ilmuwan dari Indonesia akhirnya menetap dan mengembangkan teknologi ciptaannya di sana. Tapi Anda, mengapa kembali ke Indonesia?
Saya yakin semua orang Indonesia ingin berkontribusi untuk bangsanya, sesuai bidangnya. Tapi bagi orang seperti saya yang bergerak di bidang material, ya, kita harus punya alat karakterisasi, harus punya alat pembuat untuk penunjang penelitian, dan sebagainya. Ini lebih pada beda sudut pandang saja, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Kalau saya pribadi merasa lebih ingin mengembangkan SDM yang di Indonesia, dari segi bagaimana nanti bisa melakukan inovasi, dan mengembangkan material di Indonesia. Kita memang tidak punya apa-apa, tapi saya merasa di-challenge di sini, karena di sini saya mulai dari nol lagi. Bisa nggak, kita melakukan penelitian? Meskipun penelitian itu masih step by step, karena mungkin keterbatasan alat, tapi kita terus coba kembangkan satu per satu. Berbeda mungkin kalau saya tinggal di Jepang. Tapi kok malah didiknya orang Jepang juga? Meskipun di sana menang fasilitas, tapi saya pilih pulang saja ke Indonesia, karena di sini potensi SDM lebih banyak yang bisa dikembangkan.
Apa yang Anda ingin kembangkan di Indonesia?
Baca Juga: Gempa Lombok Timbulkan Kerugian Rp 7,7 Triliun
Ini mimpi saya; karena Jepang itu bagi saya punya segalanya. Indonesia masih kalah jauh. Walaupun mereka sedikit punya SDA, (mereka) punya pemikiran bagaimana bisa hidup dengan perkembangan teknologi. Berbeda dengan Indonesia; di sini banyak SDA, cuma SDM-nya masih minim.
Saya inginnya anak-anak di sini sejak kecil sudah bisa melakukan penelitan dari hal-hal kecil. Karena di sana seperti itu, terutama saat liburan musim panas. Indonesia belum memikirkan ke sana. Semoga suatu saat Indonesia, terutama generasi mudanya, bisa seperti itu. Jangan sungkan mengeluarkan ide-ide apa pun, meskipun nanti di hari tua ide-ide tersebut (entah) dipakai atau tidak. Asal mereka bisa melakuan pembaruan yang melahirkan inovasi-inovasinya sih.
Sebagai ilmuwan, Anda mempunyai banyak paten. Ada berapa jumlahnya saat ini?
Sejauh ini ada 16 paten; di Indonesia ada 2, di luar ada 14. Jenisnya saya nggak hafal semua.
Bisa Anda ceritakan satu atau dua paten yang Anda nilai paling bagus dan sangat berpengaruh sepanjang karier Anda?
Saya kira semuanya sama saja, sama-sama baik. Tapi yang menurut saya berpengaruh itu, yang di industri menghasilkan produk yang memang punya nilai jual yang besar.
Terus terang saja, sampai saat ini paten saya belum ada yang sampai ke sana. Tapi tetap ada possibility, makannya dibuatkan paten. Possibility itu sesuai kebutuhan yang ada, karena bayar paten di luar negeri itu termasuk mahal.
Satu paten yang menurut saya berpengaruh yaitu paten nanofiber, yakni kita gunakan sebagai filter udara. Seperti masker, tapi lebih ke sektor industri. Saya punya itu. Cuma itu sudah dipakai Jepang. Karena kita itu jual putus soal paten itu. Jadi yang megang paten itu perusahaan Jepang.
Jika Indonesia memiliki teknologi untuk mengubah logam nikel menjadi kapasitor misalnya, maka pendapatan negara tentu bisa meningkat signifikan. Mengacu pada hal tersebut, apa sudah mencoba melakukan kerja sama dengan pemerintah?
Sedang. Tapi (dengan) siapa-siapanya, saya belum mau kasih tahu dulu. Karena ini bentuknya tim sesama teman-teman ITB.
Sebagai negara kaya dalam hal SDA, salah satunya sektor tambang, apa yang harus diperbaiki untuk SDM yang ada di Indonesia?
Mendidik SDM itu menjadi PR kita juga. Masukan saya yakni inovasi harus dilakukan sejak usia dini. Jangan dibuat takut akan hal inovasi. Lalu, TV harus disiasati dengan (diisi) tayangan bermanfaat. Boleh fun, tapi harus diselipkan pendidikan. Misalnya, pelawak mengisi soal science. Pemerintah juga harus peka soal itu.
Saat berkarier di Jepang, apa yang Anda pelajari terutama dalam pengelolaan SDA dan SDM-nya, yang bisa menjadi contoh di Indonesia?
Salah satunya bisa dilihat dari kurikulum pendidikan. (Ada) Rasa ingin tahu yang tinggi, supaya terus bisa menciptakan inovasi.
Ilmuwan fisika dasar di Indonesia sulit berkembang. Anda sepakat dengan anggapan itu?
Betul. Penelitian dari hal yang dasar itu butuh waktu yang panjang. Pemerintah belum optimum untuk mendukung itu. Tapi, saat ini saya lihat sudah ada peningkatan; dana yang dialirkan pemerintah, misalnya. Tapi belum spesifik. Satu permasalahan, (dari) segi dana yang dikeluarkan hanya untuk barang habis. Padahal (dalam) penelitian, yang diteliti itu harusnya bisa dikembangkan lagi. Misalnya pengadaan alat yang jangan dibatasi. Pemerintah juga dirasa belum terlalu melek. Banyak yang menganggap melakukan penelitian sama seperti pengadaan barang. Padahal itu dasar, tapi berbeda.
Apa yang harus dilakukan negara, mengingat Indonesia sudah menuju ke pengembangan teknologi seperti negara maju lainnya?
Pemerintah harus melihat kita punya tekad. Jangan mudah puas dalam melakukan satu penelitian saja. Jangan satu aspek saja. Tapi dibuat lebih ke investasi, karena nanti jangka panjangnya kita bisa punya produk yang dijual dari hasil sendiri. Mungkin kalau pemerintah serius, 5 tahun kita bisa setara dengan Jepang.
...
Menjalani pendidikan di Jepang, Ferry Iskandar meraih semua gelar akademisnya sejauh ini di Negeri Sakura tersebut. Mulai dari gelar sarjana (B.Eng.) pada tahun 1997 di Kanazawa, berlanjut terus, sampai akhirnya ia mendapatkan gelar doktor (Dr.Eng.) di Hiroshima pada tahun 2002 lalu.
Fokus pada beberapa bidang penelitian seperti Fisika Material, Filtrasi dan Pemisahan Teknik, Reaksi Teknik Kimia, Serbuk dan Nanomaterial, hingga Material Lanjut, saat ini Ferry bertugas sebagai dosen dengan jabatan Lektor di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan sebagaimana penuturan sang fisikawan dalam wawancaranya, kemunculan lebih banyak lagi peneliti maupun ahli di Indonesia menjadi bagian dari cita-cita besar seorang Ferry Iskandar.
Kontributor : Rizki Aulia Rachman