Suara.com - Seorang ilmuwan perempuan Indonesia Eniya Listiani Dewi meraih BJ Habibie Technology Award 2018. Perempuan bergelar lengkap Prof. Dr. Eng-Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng itu dinilai hebat lewat penelitiannya mengubah hidrogen menjadi listrik.
Eniya Listiani Dewi merupakan perempuan pertama yang berhasil menyabet BJHTA. Dia menilai kelangsungan hidup manusia dan keberlanjutan peradaban memerlukan energi, dan banyak negara yang sudah menghapuskan sumber energi konvensional dan beralih ke Energi Baru Terbarukan.
Eniya berhasil mengembangkan teknologi Fuel Cell dengan metode electron transfer. Teknologi ini menggunakan bahan baku lokal dan dipasang pada motor juga back up power untuk berbagai peralatan. Proses produksi gas hidrogen telah dikembangkan dari limbah biomassa dengan bahan baku limbah dari industri kepala sawit.
Suara.com menemui Eniya pekan lalu untuk berbincang lebih jauh tentang temuannya itu. Teknologi Fuel Cell dengan metode electron transfer itu temuannya pertama di dunia.
Baca Juga: Kronologis Penemuan Mayat Polisi Brimob Baratu Thamrin di Depok
Berikut wawancara lengkapnya:
Anda mempunyai riset dengan mengubah hidrogen menjadi listrik. Bisa dijelaskan seperti apa?
Ilmu saya itu, pertama saya balik tahun 2003 (dari studi dari Jepang) itu belum ada yang mengerti tentang sel bahan bakar. Nah sel bahan bakar itu anggaplah sebagai generator pengubah hidrogen menjadi listrik dengan menghasilkan air. Jadi harus ada asupan hidrogen sama asupan oksigen dari udara, terus H2 dan O2 digabung menjadi air, tapi menghasilkan listrik, karena ada proses electron transfer.
Istilah electron transfer pun saya kenalkan ke mahasiswa. Saya harus menjelasinnya banyak banget. Padahal sebetulnya itu cuma peristiwa reduksi dan oksidasi. Itu istilah kimianya.
Generator pengubah hidrogen menjadi listrik ini bayangkannya sebagai baterai. Tapi baterainya, asupan bagian anodanya tidak hanya satu tempat, tapi dia disuplay terus menerus oleh gas hidrogen.
Baca Juga: Geger Penemuan Mayat Lelaki Penata Rias di Indekos Mampang
Jadi selama tangki hidrogen di situ makin besar, ya makin banyak. Di situ tangki hidrogennya makin padat, kalau mengecilkan berarti tekanannya makin tinggi, itu makin panjang juga. Tergantung banyaknya hidrogen yang masuk.
Nah kalau ini terus menerus, berarti akan sampai 40 tahun lebih. Sekarang recordnya itu lebih dari 40 tahun, komponennya, bergantung dari komponennya rusak atau tidak. Selama asupan ini terus menerus, selama bisa menyimpan gas hidrogennya dalam bentuk padat, yang sebanyak mungkin hidrogen itu masuk, maka akan makin panjang.
Berarti kalau sistem itu diterapkan di mobil, mobil pada gas hidrogennya, di tampung di bak misalnya, atau di tangki, saya sebutnya tangki hidrogen storage, itu sepadat mungkin, sekali ngecas. Sekali penuh, mobil itu bisa nempuh jarak tempuh ribuan kilometer.
Mobil berbahan bakar hidrogen kan sudah ada....
Toyota mengelurkan Mirai (mobil hidrogen), kalau Honda Clarity.
Apakah bahan baku pembuatan generator hidrogen ini?
Generator pengubah ini diambil asupannya dari hidrogen, dan hidrogen bisa dari manapun. Hidrogen bisa diambil dari metanol. Hidrogen bisa diambil dari gas alam. Hidrogen bisa diambil dari air, itu ada satu proses yang mendahului baru hidrogennya masuk ke generatornya.
Saya membuat generator ini dari berbagai komponen. Ada membran, katalis, grafit, metal, dan macam-macam.
Saya membuat material komponennya, di samping saya melakukan publikasi, melakukan penemuan yang baru, metodenya yang baru. Tim saya lainnya membuat generatornya dipacking dalam satu sistem. Dalam tim itu ada engineer yang lebih menguasai ke assembling. Itu yang saya buat, saya bekerjasama dengan industri untuk penyediaan bahan bakunya.
Industri seperti apa yang menyediakan bahan bakunya?
Tidak mudah untuk menemukan industri di Indonesia yang bisa presisi. Tahun 2004 mereka mau challenge. Jadi kesulitan pembuatan ini di teknologi untuk menerapkannya ke industri.
Saya harus ketemu owner dari industri itu yang melek inovasi. Industrinya lokal. Makanya pemikiran Bapak Habibie dulu itu kan memperkuat industri strategis dan BUMN. Kalau BUMN kan masih ada sumber dana pemerintah. Sehingga kalau melakukan inovasi-inovasi yang mungkin trial and error, masih toleran. Nah kalau swasta kan nggak mungkin, hitung-hitungannya untung rugi.
Siapa pengusaha yang Anda temui saat itu?
Saya temui seorang pengusaha dari Yogyakarta, pemilik PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri. Itu perusahaan spare part, dia bisa presisi membuat kompoten alat yang saya buat.
Karena dia supplay spare part ke Honda, Toyota dan lain sebagainya dengan tingkat presisi. Satu challenge lagi yang saya berikan ke dia, bahwa dia nggak takut korosi (berkarat) mesin-mesinnya.
Kami membuat fuel cell generator, itu faktor korosinya tinggi.
Lalu tim engineering membantu saya menghubungi sebuah perusahaan bernama Cascadiant. Ini satu-satunya perusahaan yang memasarkan feul cell di Indonesia. Dia memasarkan feul cellnya dengan cara unik.
Feul cell di Indonesia sudah dipakai sebagai backup power di industri telekomunikasi di
BTS. Itu sudah lebih dari 800 titik, sebetulnya kita tidak menyadari bahwa sebetulnya sudah dipakai.
Saya sebagai board directors hidrogen association se-dunia selalu cerita itu. Mereka surprise, di Indonesia kok banyak banget sih, kok bisa Indonesia itu negara berkembang, padahal hidrogen itu cuma di introduce di Jepang dan negara-negara maju.
Teknologi ini menggunakan bahan baku lokal dan dipasang di motor, juga backup power untuk berbagai peralatan. Apa bahan baku lokalnya?
Logam, grafit, karbon, plastik, dan membran. Itu saya develop itu TKDN nya, tingkat kandungan dalam negeri alias bisa disediakan di lokal itu sampai lebih dari 80 persen. Jadi untuk komponen sampai tinggkat 1KW, itu komponen TKDN-nya bisa sampai 80 persen.
Kalau untuk yang besar-besar tim engineering memasoknya dari luar, karena durability-nya lebih tinggi. Komponennya biasanya kita impor dari Amerika, Canada, untuk katalis dari Jepang, Jerman.