Burhanuddin Muhtadi : Politik Uang karena Ada Supply dan Demand

Senin, 23 Juli 2018 | 22:31 WIB
Burhanuddin Muhtadi : Politik Uang karena Ada Supply dan Demand
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Politik uang atau money politics masih menjadi masalah besar dalam perkembangan demokrasi di Indonesia --sama halnya dengan di berbagai negara lainnya. Terutama di momen-momen seputar agenda pemilihan umum seperti Pilkada, juga Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang kebetulan segera digelar tahun 2019 depan, masalah ini pun kembali mencuat.

Sehubungan dengan itu, Suara.com sempat berbincang banyak dengan Burhanuddin Muhtadi, seorang peneliti yang juga menjabat Direktur Eksekutif di lembaga Indikator Politik Indonesia. Dia juga sebagai Dosen Tetap Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

Berikut petikan wawancara yang dilakukan beberapa waktu lalu di kantornya:

Bisa dijelaskan disertasi Anda soal politik uang dalam Pemilu dan broker politik?

Jadi, disertasi saya awalnya muncul dalam konferensi atau workshop ilmiah di Bali. Saya dilibatkan dalam proyek besar (tentang) money politics (Money Politics: Patronage and Clientelism in Southeast Asia). Ada beberapa peneliti besar dunia seperti Edward Aspinall yang sedang melakukan perumusan proposal terkait penelitian tentang politik uang di empat negara, di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand, di Bali tahun 2011.

Jadi ide tentang disertasi saya muncul dari workshop itu, sebelum saya resmi menjadi mahasiswa doktoral di Australian National University (ANU). Saya resmi menjadi mahasiswa Phd itu tahun 2013, jadi dua tahun sebelumnya saya pernah dilibatkan dalam proyek itu. Nah, idenya kira-kira, karena saya fokus di Indonesia, idenya muncul karena keprihatinan. Karena sebagai negara demokrasi baru, proses politik di Indonesia itu diganggu oleh patronase politik elektoral bernama money politics. Jadi, pemilih atau pejabat publik itu tidak bisa all out untuk merepresentasikan kepentingan publik, karena dia merasa sudah membeli pemilih. Jadi pemilih tidak dianggap, tidak punya mandat demokratik untuk menuntut hak kepada pejabat publik yang terpilih dalam proses pemilu, karena mandat demokratik itu sudah ditukar dengan uang.

Nah, dalam studi tentang political clientelism, ini yang disebut dengan perverse accountability, pertanggungjawabannya tertukar. Kalau dalam demokrasi, pemilih seharusnya berhak untuk menuntut kepada politisi, karena pemilih ini sudah memberikan suara. Tetapi dalam politik demokrasi yang dikuasai oleh politik uang, bukan pemilih yang punya hak menuntut pertanggung jawaban, tetapi justru politisi yang menuntut balik kepada pemilih agar memilihnya karena mereka sudah menerima uang.

Jadi ada argumen normatif yang membuat concern saya selain politik uang, faktor yang selama ini turut dibicarakan secara masif, bahwa politik itu mahal, karena proses kampanye yang menyebabkan salah satunya politik uang itu sendiri secara masif. Tetapi sering kali kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa data yang tersedia itu bersifat anecdotal. Jadi masing-masing lembaga atau peneliti tidak mempunyai alat ukur yang jelas yang bisa diperbandingkan dengan negara lain. Ketika bicara soal seberapa besar politik uang, itu kita sering kali berbeda-beda, tidak bisa dibandingkan dengan negara lain.

Nah, saya punya ambisi untuk meneliti tentang politik uang dengan menempatkan Indonesia dengan perspektif komparatif. Kalau kita bicara perspektif komparatif, studi tentang politik uang itu sudah established di negara-negara Amerika Latin, Afrika, termasuk beberapa negara Asia yang lain. Sedangkan penelitian di Indonesia itu masih kosong. Kebanyakan peneliti kita jago kandang. Jadi pada titik itu project disertasi saya dimulai. Petualangan menempuh studi doktoral, tapi di saat yang sama mengelola lembaga riset, satu Lembaga Survei Indonesia dan kedua adalah Indikator Politik Indonesia. Saya punya kemewahan untuk melihat klaim yang mengatakan politik uang (itu) besar.

Pertanyaan paling awal yang saya ajukan adalah: seberapa banyak politik uang di Indonesia dengan alat ukur studi komparatif? Yang kedua, sejauh mana efektivitasnya kalau betul politik uang itu masif? Dari situ saya temukan, di Indonesia itu sangat besar. (Sebanyak) 33% responden yang terpilih dalam post election survey pasca Pemilu Legislatif 2014, itu mengaku pernah ditawari uang atau barang sebagai ganti suara mereka. 33% itu artinya kalau kita kaitkan dengan jumlah pemilih yang terdaftar tahun 2014 sebesar 108 juta, itu kurang lebih sekitar 62 juta pemilih yang pernah ditawari uang pada Pemilu Legislatif 2014. Dan kalau saya masukkan ke dalam perspektif komparatif dengan alat ukur yang kurang lebih sama yang dipakai lembaga asosiasi survei di Amerika Latin atau Lapop -- Lapop itu juga salah satu asosiasi lembaga survei di Amerika Latin-- atau Afro Barometer --itu lembaga survei yang melakukan riset di banyak negara Afrika-- atau Asian Barometer di Asia, itu Indonesia menempati peringkat ketiga terbesar sedunia (politik uang). Hanya kalah dengan Uganda dan Benin, (itu) Afrika keduanya.

Nah, pertanyaannya kemudian adalah: apa yang menyebabkan pemilih, yang satu mudah ditarget obyek pakai politik uang, sementara ada segmen pemilih yang lain yang tidak ditarget tidak memakai politik uang? Apa yang menjelaskan determinan politik uang, secara individual assessment-nya, secara individual? Itu pertanyaan kunci. Mengapa ada pemilih yang rentan ditarget politik uang, dan mengapa ada beberapa pemilih yang tidak rentan politik uang? Kan bagaimana pun, meskipun 33% besar, tetapi ada dua pertiga yang lain yang tidak ditawari politik uang.

Pada titik itu, setelah kita analisis dengan berbagai macam teori, kita uji dalam survei, hasilnya mengagetkan. Ternyata kedekatan terhadap partai, itu menjadi pretiktor pemilih rentan menjadi sasaran tembak politik uang. Jadi, party ID. Ketika seseorang punya kedekatan terhadap partai, punya hubungan psikologis, party attachment, maka kemungkinan pemilih yang punya kedekatan dengan partai yang disasar politik uang. Itu temuan dengan memakai berbagai referensi dan dari berbagai macam variabel yang kita uji dan sifatnya robust.

Nah, ini saja sudah mengagetkan. Karena di negara barat, literatur tentang party dan dempkrasi itu justru sebaliknya. Di negara barat, party ID, kedekatan pemilih terhadap partai, itu membantu mengurangi ongkos politik, karena orang yang dekat dengan partai umumnya bersifat sukarela untuk membantu partai atau kandidat yang didukungnya. Di Indonesia mengapa sebaliknya, semakin dekat dengan partai, semakin mata duitan? Nah ini kan secara tidak langsung menunjukkan ada kontribusi secara ilmiah, party ID bukan seperti ditemukan di negara-negara yang sudah established demokrasinya. Justru (di sini) orang yang mempunyai kedekatan dengan partai, justru kemungkinan menjadi money grabber.

Data dari survei pemilih, itu ternyata sekilas inline atau paralel dengan temuan saya di survei kandidat dan survei broker. Jadi saya juga melakukan survei di kalangan kandidat di tingkat lokal dengan survei broker, cara pemilihannya dengan historical data yang dipunya. Terutama kita mengandalkan data dari survei dapil (daerah pemilihan). Jadi untuk menentukan ke mana saya harus melakukan survei kandidat dan survei broker, saya memakai historical data. Jadi saya survei dapil yang kami punya jelang Pileg 2014, satu dari Indikator Politik Indonesia dan satu lagi dari SMRC, kita gabung.

Kemudian karena temuannya adalah satu politik uang dan satu lagi adalah party ID, jadi kita bikin 4 sub-kuadran. Jadi, survei dapil itu kita gabung berdasarkan provinsi, misalnya di Jawa Tengah ada 10 dapil dan Jawa Barat ada 11 dapil, kita gabung. Seluruh Indonesia kita punya data 73 dapil. Dan kita temukan satu representasi provinsi, gabungan dari survei dapil tadi di masing-masing provinsi yang party ID-nya tinggi dan money politics tinggi. Mana itu arah yang presentasi party ID tinggi dan money politics tinggi? Itu adalah Jawa Tengah.

Yang kedua adalah party ID relatif rendah, tetapi money politics tinggi. Nah, itu ada di Jawa Timur. Kemudian ada juga sub-kuadran party ID relatif tinggi, tetapi money politics-nya tidak terlalu tinggi, agak rendah. Itu Sulawesi Utara. Dan terakhir, party ID rendah, politik uang rendah, itu adalah representasi daerah Sumatera Barat. Dari empat provinsi ini, kemudian jadi sub-national case study saya. Di situ saya bikin survei broker dan bikin survei kandidat.

Nah, bagaimana cara mencari data broker, padahal kita nggak punya populasi broker? Caranya adalah mewawancarai caleg terpilih di empat provinsi ini. Dari situ ketahuan caleg-caleg terpilih. Jadi saya mewawancarai secara random caleg terpilih di empat provinsi tadi, tingkat DPRD provinsi dan tingkat DPRD kabupaten/kota. Setelah saya wawancarai secara random ratusan anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi, saya tanya mereka di akhir wawancara. Saya minta mereka me-list daftar tim sukses yang membantu mereka. Ada yang sampai ribuan itu untuk satu caleg. Makanya kita bikin rata-rata tim sukses tiap provinsi berapa, tim sukses tiap partai berapa, dari data itu.

Setelah tersedia informasi berapa tim sukses yang mereka punya, kemudian saya random lagi, dari situ saya dapatkan 900 broker yang terpilih secara random. Kemudian ditanya lagi. Data survei broker maupun survei kandidat terpilih dapil DPRD I dan II di empat provinsi tadi, sekilas menyimpulkan hal yang sama dengan apa yang saya temukan di survei pemilih. Kalau kita bicara perspektif kandidat maupun perspektif broker, itu umumnya mereka mengaku menarget basis mereka sendiri atau pemilih loyal mereka sendiri, orang yang mereka anggap punya kedekatan dengan partai mereka. Jadi, sekilas saya temukan ada yang paralel antara survei pemilih, survei kandidat dan survei broker, bahwa orang yang punya kedekatan terhadap partai cenderung ditarget untuk menerima uang.

Nah, kemudian puzzle-nya muncul, kalau benar bahwa orang yang dekat dengan partai lebih besar peluangnya menerima politik uang, sebagaimana temuan survei pemilih maupun klaim dari para broker maupun politisi tingkat lokal. Pertanyaannya, berapa banyak pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai? Saya temukan yang punya kedekatan terhadap partai sebelum dan sesudah pemilu tahun 2014 itu kurang lebih hanya sekitar 14,9%. Sekilas kecil. Pertanyaannya, apa cukup caleg dari sebuah partai itu menang dengan hanya mengandalkan orang yang dekat dengan partai itu sendiri saja? Kan mereka mengklaim itu simpatisan mereka.

Tapi kemudian misteri itu terpecahkan ketika saya menggunakan pendekatan etnografi. Selama setahun lebih saya jalan ke empat provinsi itu, saya wawancara bukan hanya tingkat lokal, namun saya wawancara puluhan politisi tingkat nasional, baik caleg gagal maupun caleg sukses tingkat nasional. Ketika saya wawancara mereka secara mendalam, buka lagi rekaman wawancara, ternyata pengertiannya tentang pemilih loyal itu tidak 100% sama dengan apa yang dipahami oleh konsep tentang party ID di literartur barat. Jadi kalau di barat, party ID itu merujuk kedekatan terhadap partai. Tapi ketika saya wawancara kepada mereka, itu mereka mendefinisikan party ID secara luas, termasuk kedekatan secara personal.

Dari situ kemudian saya menemukan tafsir atas data statistik yang saya miliki. Setelah saya lihat, saya investigasi betul bahwa dari sisi relatif pemilih yang dekat dengan partai cenderung ditawari uang, tapi secara absolut pemilih swing yang lebih banyak mendapatkan uang. Jadi, 43% dari 14,9% yang dekat sama partai ditawari uang, dibanding 22% dari 85% yang nggak punya kedekatan sama partai yang ditawari uang. Kan 43% secara relatif lebih besar dibanding 22%, tetapi 43% dari 15% tentu lebih sedikit secara absolut dibanding dari 85%.

Nah, di situ saya punya hipotesis awal, bahwa pada dasarnya caleg maupun broker tadi punya klaim untuk menarget pemilih yang dekat dengan partai yang mereka sebut dengan pemilih basis, pemilih loyal, tetapi karena dalam sistem proporsional terbuka, suara pemilih yang dekat dengan partai itu diperebutkan bukan hanya oleh satu caleg, tetapi bahkan caleg dalam satu partai, akibatnya mereka memperluas makna tentang party ID.

Apa lagi yang bisa disimpulkan Buhanuddin Muhtadi? Simak penjelasan lebih lanjut di laman berikutnya...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI