Suara.com - Banyak para sarjana, intelektual, maupun kaum muda Indonesia yang fasih berbicara mengenai sejarah pemikiran Yunani kuno hingga Eropa modern. Namun, ketika membicarakan sejarah bangsanya sendiiri, mereka gagap atau cuma mengikuti teks-teks historis maupun sastra arus utama sehingga gagal mengenali negerinya sendiri.
Setidaknya, itulah inti kritik yang dilontarkan Max Lane, seorang Indonesianis asal Australia dan sosok yang kali pertama menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris.
Tetralogi Pulau Buru, adalah sebutan beken untuk empat roman karya sastrawan terbesar Indonesia tersebut: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
"Orang-orang terdahulu, mereka berjuang dan berkorban untuk mendapatkan kemerdekaan secara susah payah. Tapi setelah merdeka mau apa? " kata Max dalam diskusi peluncuran bukunya ”Indonesia Tidak Hadir di Bumi Indonesia” di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 12 Agustus tahun lalu.
Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah
Sebagai seorang Indonesianis—sarjana asing yang menaruh minat akademis khusus mempelajari Indonesia—tipologi Max Lane tergolong unik. Ia tak sekadar melakukan riset, menerbitkan publikasi, atau bergelut dari satu seminar ke seminar lain, melainkan turut aktif dalam gerakan massa demokratis di Indonesia. Ia juga adalah aktivis.
Lembaran buku sejarah mainstream Indonesia, tak mencatat nama dirinya dalam gerak maju sejarah perubahan sosial dari rezim otoriterian Orde Baru ke reformasi. Tapi, bagi eksponen gerakan massa tahun 80-an hingga 98, Max Lane bisa dibilang sebagai kawan seperjalanan.
Pada era 1990-an, ketika rezim Soeharto masih kuat berkuasa, Max turut andil dalam menerbitkan tabloid Green Left Weekly di Australia.
Melalui tabloid itu, Max memublikasikan analisis kritis tentang pemerintah Indonesia atau reportase mengenai pelanggaran HAM oleh militer.
Max pula yang secara berani memulai proyek menerjemahkan karya-karya Pram ke dalam bahasa Inggris, sehingga masyarakat dunia memunyai perspektif lain mengenai sejarah Indonesia dan rupa era kolonial yang ternyata terwarisi pada pemerintahan era selanjutnya.
Baca Juga: Spanyol Disingkirkan Rusia, Ini Kata Fernando Hierro
Ia pula yang mengungkapkan ironi, bahwa di banyak negara lain, karya-karya Pram diajarkan kepada siswa sekolah. Tapi di Indonesia sendiri, karya-karya Pram tak masuk kurikulum.
Menurutnya, pemerintah takut kalau generasi muda mengenal Pram maupun karya-karya sastrawan besar Indonesia lainnya. Sebab, dengan mengetahui sastra, rakyat tahu mengenai perlawanan dan sejarah bangsa yang sebenarnya.
Jurnalis Suara.com di Yogyakarta, Abdus Soemadh, berkesempatan mewawancarai secara khusus Max Lane pada pekan lalu.
Dalam wawancara tersebut, Max memaparkan kisah perjalanannya bergelut dengan segala problematika Indonesia sejak tahun 1970-an, ketika ia kali pertama ke negeri ini.
Ia juga mengungkapkan bagaimana mengenal Indonesia, melalui orang-orang yang dibungkam penguasa, yakni dari karya Tetralogi Pulau Buru Pramoedya.
Berikut wawancara lengkapnya:
Kapan anda kali pertama datang ke Indonesia, dan bekerja sebagai apa?
Saya ke Indonesia tahun 1969 sebagai mahasiswa jurusan studi Indonesia University of Sidney. Kala itu, saya hampir setahun di Indonesia. Berkunjung 1 sampai 4 bulan secara rutin, tergantung situasi. Saya tinggalnya pindah-pindah, berkeliling melihat Indonesia, paling banyak di Pulau Bali dan Jawa. Saya juga ke Singapura dan Malaysia.
Kapan kali pertama anda bertemu dengan Pramoedya? Di Mana?
Kali pertama bertemu Pram tahun 1980 di Utan Kayu, Jakarta. Diantar teman yang pernah menjadi mahasiswa Pram saat ia mengajar di Universitas Res Publika (dihancurkan saat Soeharto mulai berkuasa).
Saya bertemu dia tahun 80-an itu setelah keluar dari Pulau Buru. Ngobrol macam-macam, terlalu banyak untuk diingat-ingat. Dia cerita banyak pengalaman hidupnya saat ditangkap, kadang membicarakan sejarah Indonesia, politik Indonesia. Banyak hal yang ia ceritakan.
Seperti apa Pram menurut Anda?
Pram orangnya sangat luar biasa. Ia bisa membuat buku yang sangat bagus. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya. Bumi manusia dan tetralogi adalah karya puncaknya menurut saya.
Buku Pram terkait asal usul Indonesia belum ada tandingannya. Inti karyanya adalah sebuah pertanyaan “dari mana datangnya Indonesia ini?” Selanjutnya, dia mulai menulis tentang hal itu. Ya, dia menulis semua itu saat di Pulau Buru. Tapi, materi penulisannya sudah dikumpulkan sejak lama.
Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penerjemah Tetralogi Pulau Buru, diterbitkan oleh penerbit mana? Dan bagaimana lika-liku penerjemahannya?
Saya bertemu Pram tahun 80-an. Waktu itu saya bekerja di Kedutaan Besar Australia. Bung Yoesoef Ishak—eks tapol Pulau Buru dan pendiri penerbit Hasta Mitra (penerbit pertama Indonesia yang memublikasikan karya-karya Pram)—kali pertama memperlihatkan naskah Tetralogi Pulau Buru Pram kepada saya.
Waktu itu, saya membacanya sangat cepat, satu malam, karena asyik sekali. Besoknya, saya berbicara kepada mereka untuk menerjemahkan karya itu ke bahasa Inggris.
Sebelumnya, saya sudah menerjemahkan (drama) WS Rendra, kisah “Perjuangan Suku Naga”. Saya bilang kepada Bung Yoesoef dan kawan-kawan, bahwa saya sangat bersemangat menerjemahkan buku Pram.
Setelah saya terjemahkan, saya bawa dan dipublikasikan Penguin Books (penerbit buku legendaris asal Inggris sejak tahun 1935) di Australia dan Amerika Serikat.
(Max lantas menunjukkan kulit buku “Bumi Manusia” Pramoedya edisi pertama bahasa Inggris yang diterbitkan Penguin Books.)
Kesulitan dalam penerjemaahan Tetralogi Pulau Buru Pram apa?
Ada kesulitan, yakni Pram mengatakan kepada saya agar karyanya bisa dibaca luas, kemudian bahasanya tidak berbelit-belit.
Kalau hendak melihat ke-Indonesiaan dan ironi Indonesia, tidak selalu gampang dalam karya Pram itu. Tidak gampang. Karenanya, buku sastra Asia yang bertahan selama lebih dari 35 tahun itu terbilang cukup hebat ketika masih dibaca.
Dalam proses penerjemahannya, “Bumi Manusia” saya kerjakan di Jakarta. Sisanya saya lakukan di Canbera, Australia. Keempat buku itu saya terjemahkan kurang lebih selama 6 tahun.
Apa yang Anda pelajari dari tetralogi Pulau Buru Pram?
Orang yang serius ingin mengerti Indonesia, mereka akan membaca buku Pram. Banyak pembaca asing menganggap, kalau mau mengerti Indonesia, baca buku Pram. Kalau orang indonesia mau mengerti Indonesia, harus baca karya Pram.
Tetralogi Pulau Buru Pram itu menyampaikan makna, bahwa 70 tahun sebelum dia menulis bukunya, orang Indonesia tidak ada di muka Bumi ini.
Indonesia baru ada di muka Bumi karena sejarahnya sendiri, yang terekam dalam tetralogi itu. Karenanya, Pram ingin semua orang tahu, bahwa agar Indonesia bisa maju, mereka harus belajar dan mengkhayati sejarah bangsanya secara benar dan jujur.
Intinya, orang harus mengkhayati rakyat lah yang menciptakaan sesuatu yang belum ada. Rakyat yang menciptakan Indonesia, bukan kaum elite.
Menurut Anda apakah karyanya harus dibaca berurutan?
Paling bagus dibaca berurutan, karena itu membaca riwayat orang (Minke; Raden Tirto Adhisoerjo) dari muda sampai mati. Sangat penting dibaca berurutan. Kalau sudah jilid 4 (Rumah Kaca), akan mengandung bagian yang menceritakan jilid pertama (Bumi Manusia). Orang belum bisa mengerti bumi manusia kalau tidak membaca keseluruhan karyanya dan berurutan.
Memang Bumi manusia menceritakan suara Minke, tapi suara Minke yang mana? Itu pertanyaannya. Orang hanya akan tahu jawaban pertanyaan itu kalau membaca jilid 3 sampai 4, khususnya 4. Nah, maka penting untuk membaca secara berurutan.
Apa yang anda ketahui tentang Pram saat dia menyusun naskah Tetralogi Pulau Buru?
Ia menceritakan, sebelum peristiwa 1965, Pram sudah mengumpulkan banyak bahan, catatan-catatan sejarah pra-Indonesia.
Misalnya, ia mencari dan mengumpulkan surat kabar Medan Prijaji (koran pertama yang dikelola bangsa Indonesia, yakni Tirto Adhisoerjo). Tulisan-tulisan sezaman lainnya. Dia pelajari dan melakukan riset. Tulisan-tulisan Pram di banyak koran tahun 60-an sebenarnya adalah hasil risetnya mengenai sejarah nasional Indonesia itu.
Apa ada konsekuensinya terhadap Anda yang merupakan non-WNI dan dekat dengan Pram serta menerjemahkan karyanya saat Orba masih kuat berkuasa?
Tidak banyak berpengaruh. Cuma pernah cekcok dengan Duta Besar Australia, karena dianggap tidak tepat, tidak baik.
Dia bilang tidak pantas seorang staf kedutaan menerjemahkan buku yang dilarang. Kalau mau melakukan itu, jangan bertugas di Indonesia, begitu pesan duta Australia saat itu.
Setelah beberapa bulan, tak jodoh di Departeman Luar Negeri Australia, saya keluar. Setelahnya, saya berkonsentrasi penuh menerjemahkan karya Pram, sampai tabungan habis. Saya bekerja lagi di Australia untuk membiayai semuanya.
Apa yang anda ketahui tentang posisi Tetralogi Pulau Buru di kalangan pergerakan untuk meruntuhkan Soeharto?
Banyak faktor. Itu buku terbit di Indonesia tahun 1981. Jadi, sejak tahun 1965 sampai 1981, semua orang yang dibuang Soeharto ke Pulau Buru dianggap publik sebagai penjahat bengis. Mulai dari anggota PKI, kalangan kiri, Soekarnois, dicap jahat. Itu propaganda Orde Baru.
Tapi, setelah Tetralogi Pulau Buru diterbitan, kaum muda Indonesia, terutama mahasiswa era Orba sadar. Ternyata buku itu bagus, demokratis, berisi pesan kemanusiaan, dan terpenting adalah persepsi bahwa buku itu bukan karya orang jahat.
Bahkan, kala itu ada kalangan yang dulu membenci Pram bilang, “jangan-jangan yang dipenjara di Pulau Buru bukan orang jahat. Ini buku bagus, jangan-jangan yang ditangkap tidak jahat, proganda Orba yang jahat,” begitu.
Melalui Tetralogi Pulau Buru Pram, mahasiswa kemudian memulai eksplorasi Indonesia. Mereka memulai membaca buku-buku berhaluan kiri, seperti buku Soekarno, dan Pram.
Harus diakui, dalam Tetralogi Pulau Buru, nafasnya adalah semangat perlawanan. Nyai Ontosoroh melawan. Minke melawan. Darsam melawan. Hanya Annelies yang tak melawan, dia dibuang ke luar negeri lalu dibunuh.
Jadi, buku itu mengajarkan semangat melawan ketidakadilan, feodalisme, rasisme. Mereka yang membaca buku Pram berdampak besar.
Di buku itu juga dikatakan penting untuk menulis. Maka, tahun 80-an sampai 90-an, banyak aktivis mulai mengerti membangun literasi dan organisasi. Buku ini juga termasuk menjadi pedoman untuk mengelabui intel dan polisi.
Karenanya, buku itu jadi sumber semangat melawan, sekaligus menjadi pedoman untuk harus bekerja membangun organisasi dan menerbitkan koran, lalu bagaimana menghadapi polisi dan intel kekuasaan.
Pada Jilid 4, Rumah Kaca, mengajarkan bagaimana intel dan polisi mengejar dan membunuh Minke. Penting dibaca untuk aktivis dan LSM.
Apa anda tahu Bumi Manusia akan dibuatkan film oleh Hanung? Apa Anda Setuju difilmkan oleh mereka?
Seharusnya dari dulu sudah difilmkan, tapi memang belum ada yang sanggup, di luar negeri versi filmnya juga harus ada. Memang sudah waktunya, seharusnya dari dulu. Ya zaman Orba tidak mungkin. Mudah-mudah tidak ada sensor.
Minke kalau mau difilmkan, coba memfokuskan cerita di Nyai Ontosoroh, itu pendekatan untuk adaptasi. Pendekatan lain adalah memberi fokus utama pada Minke. Tantangannya memang besar, karena gambarannya Minke di satu sisi masih belajar di SMA, masih muda, pengalaman hidupnya msih minim. Tapi di lain sisi, dia adalah kalangan elite yang tadinya tidak mengenal rakyat, lalu setelah “Bumi Manusia” ia mengenal masyarakatnya sendiri.
Pengalaman hidupnya bersekolah di HBS (Hogere burger school; sekolah menengah era kolonial Belanda) melebihi pengalaman pribumi. Pertama, orang belajar di HBS itu sudah bagus. Orang jawa masuk HBS kan sulit. Sisi lain hidupnya minim, tapi di lain sisi hidupnya istimewa.
Dalam buku selanjutnya, Pram menuliskan alur hidup Minke yang menjadi orang pertama Indonesia, Manusia Indonesia pertama. Ia tidak lagi orang Jawa, orang Belanda, ia menuju ke arah orang Indonesia, meskipu ia tidak sadar.
Minke, dalam Bumi Manusia belum menemukan kata Indonesia. Tapi dia adalah orang dengan segudang pengalaman, ia sudah punya bibit berkembang menuju sang pemula. Itu tantangan besar untuk film Bumi Manusia. Mudah-mudahan mereka bisa mengadaptasikannya.
Apa harapan Anda yang harus termuat dalam film Bumi Manusia?
Buku ini banyak sekali isinya, banyak sekali pesannya, banyak sekali yang digambarkan. Saya berharap, pesan perlawanan terhadap perilaku yang tak hadir bisa ditonjolkan.
Kedua, yang lebih mendalam, film itu bisa merekam proses pematangan seseorang yang karena pengalamannya berkembang menuju orang potensial, tidak hanya menjadi orang Indonesia, sekaligus menjadi pemula kebangkitan nasional.
Yang perlu digambarkan itu bukan Minke yang sudah menjadi pendiri surat kabar Medan Prijaji, tapi perjalanan menuju ke sana, pengalaman-pengalamannya.
Apa sudah sepatutnya Pram dan karya-karyanya masuk dalam kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia maupun sejarah nasional?
Sudah sepantasnya masuk. Bukan hanya Pram, banyak sekali lainnya. Sampai sekarang, buku Pram tidak diperkenalkan kepada generasi muda Indonesia, padahal sudah lebih dari 35 tahun Soeharto tumbang.
Harapan saya kepada pemerintah Indonesia agar kurikulum dirombak, supaya sama dengan negeri lain. Selain itu, perlu ada pelajaran wajib karya sastra besar yang dibaca oleh murid SMP dan SMA tanpa ada sensor.
Kenapa demikian? Menurut saya karena mempelajari sastra satu bangsa mengetahui perjalanan suatu bangsa itu. Dengan membaca novel, cerpen, sajak, maka mereka akan mengetahui bagaimana proses bangsanya terbentuk.
Saya di Australia, sejak kelas SMP sudah membaca novel, lalu membuat resensi. Amerika, Singapura, Malaysia sama. Hanya Indonesia yang tak ingin membaca sastra.
Penguasa tak ingin rakyatnya membaca sastra. Mengapa penguasa tak ingin melihat rakyatnya membaca karya Pram dan sastra pada umumnya? Ini pertanyaan besar yang perlu dijawab.
Di luar negeri, pengarang besar harus dibaca siswa di tingkat SMP, SMA. Banyak yang memberikan buku Pram untuk dibaca.
Kalau Anda mengunjungi laman Amazon.com, akan menemukan buku-buku terbitan untuk guru, supaya mereka bisa mengajarkan “Bumi Manusia” kepada murid setara SMP dan SMA.
Di Australia, Amerika Serikat, sampai Filipina, buku-buku Pramoedya diajarkan ke siswa sekolah. Hanya satu negara besar yang tak mengajarkan karya Pram ke generasi muda terpelajarnya: Indonesia.