Ada kesulitan, yakni Pram mengatakan kepada saya agar karyanya bisa dibaca luas, kemudian bahasanya tidak berbelit-belit.
Kalau hendak melihat ke-Indonesiaan dan ironi Indonesia, tidak selalu gampang dalam karya Pram itu. Tidak gampang. Karenanya, buku sastra Asia yang bertahan selama lebih dari 35 tahun itu terbilang cukup hebat ketika masih dibaca.
Dalam proses penerjemahannya, “Bumi Manusia” saya kerjakan di Jakarta. Sisanya saya lakukan di Canbera, Australia. Keempat buku itu saya terjemahkan kurang lebih selama 6 tahun.
Apa yang Anda pelajari dari tetralogi Pulau Buru Pram?
Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah
Orang yang serius ingin mengerti Indonesia, mereka akan membaca buku Pram. Banyak pembaca asing menganggap, kalau mau mengerti Indonesia, baca buku Pram. Kalau orang indonesia mau mengerti Indonesia, harus baca karya Pram.
Tetralogi Pulau Buru Pram itu menyampaikan makna, bahwa 70 tahun sebelum dia menulis bukunya, orang Indonesia tidak ada di muka Bumi ini.
Indonesia baru ada di muka Bumi karena sejarahnya sendiri, yang terekam dalam tetralogi itu. Karenanya, Pram ingin semua orang tahu, bahwa agar Indonesia bisa maju, mereka harus belajar dan mengkhayati sejarah bangsanya secara benar dan jujur.
Intinya, orang harus mengkhayati rakyat lah yang menciptakaan sesuatu yang belum ada. Rakyat yang menciptakan Indonesia, bukan kaum elite.
Menurut Anda apakah karyanya harus dibaca berurutan?
Baca Juga: Spanyol Disingkirkan Rusia, Ini Kata Fernando Hierro
Paling bagus dibaca berurutan, karena itu membaca riwayat orang (Minke; Raden Tirto Adhisoerjo) dari muda sampai mati. Sangat penting dibaca berurutan. Kalau sudah jilid 4 (Rumah Kaca), akan mengandung bagian yang menceritakan jilid pertama (Bumi Manusia). Orang belum bisa mengerti bumi manusia kalau tidak membaca keseluruhan karyanya dan berurutan.