Menurutnya, pemerintah takut kalau generasi muda mengenal Pram maupun karya-karya sastrawan besar Indonesia lainnya. Sebab, dengan mengetahui sastra, rakyat tahu mengenai perlawanan dan sejarah bangsa yang sebenarnya.
Jurnalis Suara.com di Yogyakarta, Abdus Soemadh, berkesempatan mewawancarai secara khusus Max Lane pada pekan lalu.
Dalam wawancara tersebut, Max memaparkan kisah perjalanannya bergelut dengan segala problematika Indonesia sejak tahun 1970-an, ketika ia kali pertama ke negeri ini.
Ia juga mengungkapkan bagaimana mengenal Indonesia, melalui orang-orang yang dibungkam penguasa, yakni dari karya Tetralogi Pulau Buru Pramoedya.
Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah
Berikut wawancara lengkapnya:
Kapan anda kali pertama datang ke Indonesia, dan bekerja sebagai apa?
Saya ke Indonesia tahun 1969 sebagai mahasiswa jurusan studi Indonesia University of Sidney. Kala itu, saya hampir setahun di Indonesia. Berkunjung 1 sampai 4 bulan secara rutin, tergantung situasi. Saya tinggalnya pindah-pindah, berkeliling melihat Indonesia, paling banyak di Pulau Bali dan Jawa. Saya juga ke Singapura dan Malaysia.
Kapan kali pertama anda bertemu dengan Pramoedya? Di Mana?
Kali pertama bertemu Pram tahun 1980 di Utan Kayu, Jakarta. Diantar teman yang pernah menjadi mahasiswa Pram saat ia mengajar di Universitas Res Publika (dihancurkan saat Soeharto mulai berkuasa).
Baca Juga: Spanyol Disingkirkan Rusia, Ini Kata Fernando Hierro
Saya bertemu dia tahun 80-an itu setelah keluar dari Pulau Buru. Ngobrol macam-macam, terlalu banyak untuk diingat-ingat. Dia cerita banyak pengalaman hidupnya saat ditangkap, kadang membicarakan sejarah Indonesia, politik Indonesia. Banyak hal yang ia ceritakan.