Max Lane: Kenapa Indonesia Takut Ajarkan Pramoedya di Sekolah?

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 02 Juli 2018 | 08:03 WIB
Max Lane: Kenapa Indonesia Takut Ajarkan Pramoedya di Sekolah?
Max Lane di perpustakaan pribadinya, Daerah Istimewa Yogyakarta. [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak para sarjana, intelektual, maupun kaum muda Indonesia yang fasih berbicara mengenai sejarah pemikiran Yunani kuno hingga Eropa modern. Namun, ketika membicarakan sejarah bangsanya sendiiri, mereka gagap atau cuma mengikuti teks-teks historis maupun sastra arus utama sehingga gagal mengenali negerinya sendiri.

Setidaknya, itulah inti kritik yang dilontarkan Max Lane, seorang Indonesianis asal Australia dan sosok yang kali pertama menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris.

Tetralogi Pulau Buru, adalah sebutan beken untuk empat roman karya sastrawan terbesar Indonesia tersebut: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

"Orang-orang terdahulu, mereka berjuang dan berkorban untuk mendapatkan kemerdekaan secara susah payah. Tapi setelah merdeka mau apa? " kata Max dalam diskusi peluncuran bukunya ”Indonesia Tidak Hadir di Bumi Indonesia” di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 12  Agustus tahun lalu.

Baca Juga: Jadi Bintang Utama Serial TV Amerika, Iko Uwais Ukir Sejarah

Sebagai seorang Indonesianis—sarjana asing yang menaruh minat akademis khusus mempelajari Indonesia—tipologi Max Lane tergolong unik. Ia tak sekadar melakukan riset, menerbitkan publikasi, atau bergelut dari satu seminar ke seminar lain, melainkan turut aktif dalam gerakan massa demokratis di Indonesia. Ia juga adalah aktivis.

Lembaran buku sejarah mainstream Indonesia, tak mencatat nama dirinya dalam gerak maju sejarah perubahan sosial dari rezim otoriterian Orde Baru ke reformasi. Tapi, bagi eksponen gerakan massa tahun 80-an hingga 98, Max Lane bisa dibilang sebagai kawan seperjalanan.

Pada era 1990-an, ketika rezim Soeharto masih kuat berkuasa, Max turut andil dalam menerbitkan tabloid Green Left Weekly di Australia.

Melalui tabloid itu, Max memublikasikan analisis kritis tentang pemerintah Indonesia atau reportase mengenai pelanggaran HAM oleh militer.

Max pula yang secara berani memulai proyek menerjemahkan karya-karya Pram ke dalam bahasa Inggris, sehingga masyarakat dunia memunyai perspektif lain mengenai sejarah Indonesia dan rupa era kolonial yang ternyata terwarisi pada pemerintahan era selanjutnya.

Baca Juga: Spanyol Disingkirkan Rusia, Ini Kata Fernando Hierro

Ia pula yang mengungkapkan ironi,  bahwa di banyak negara lain, karya-karya Pram diajarkan kepada siswa sekolah. Tapi di Indonesia sendiri, karya-karya Pram tak masuk kurikulum.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI