BNPT sempat mencatat ada tujuh kampus ternama yang terpapar paham radikalisme, di antaranya ITB, IPB, Undip, dan lain-lain. Ini bagaimana menurut bapak? Solusinya seperti apa?
Pertama, saya ingin berhati-hati berbicara menyebut lembaga ya. Seperti kemarin juga ada yang menyebut ada 40 masjid terpapar radikalisme.
Saya harus membedakan, maaf ya, lain masjid lain jamaah. Iya kan. Lain masjid, lain khatib atau pengurusnya, iya kan. Jangan langsung melihat ke masjidnya itu (terpapar terorisme). Karena apa? Kasihan itu yang menyumbang masjid itu. Sedikit demi sedikit baru muncul, akhirnya diklaim bahwa itu masjid garis keras, atau masjid teroris. Itu bisa menodai penyumbangnya yang luhur tidak ada maksud apa-apa.
Jadi mungkin, kita harus membedakan antara masjid dengan penceramah masjid itu sendiri. Jangan yang bermasalah adalah penceramahnya, tapi masjidnya harus dikorbankan. Masjid itu kan benda mati. Masjid itu kan dibangun oleh orang-orang yang tidak punya niat melakukan itu. Cuma selanjutnya, pengurusnya yang mengundang yang macam-macam itu.
Jadi mungkin bahasa bijaksananya, jangan pakai istilah "masjid terpapar". Ya, (itu karena) mubalig yang berkonsentrasi di beberapa masjid tertentu menimbulkan persoalan. Nah, kalau masjidnya termasuk donatur masjidnya itu kena, nanti dianggap, "Ooh, itu kamu memang sengaja mendirikan masjid teroris, masjid radikal." Jadi kasihan, nggak punya apa-apa, dosa, jadi ikut-ikut terbawa dengan statement itu.
Sama juga dengan kampus misalnya, yang Anda maksud tadi. Ya, mungkin dosennya, apa mungkin mahasiswanya, mungkin kebijakan pimpinannya yang longgar dan seterusnya. Tapi kampusnya jangan dikorbankan lah.
Harusnya punya bahasa yang lebih arif. Karena begitu kita mengklain kampus "ABC" ini, otomatis kampusnya ikut juga terkontaminasi. Padahal pendiri kampusnya itu adalah orang-orang yang tidak pernah mendambakan kampusnya akan seperti ini.
Jadi kita harus hati-hati memaparkan hasil penelitian, membahasakan hasil penelitian. Dan tidak semua hasil penelitian itu harus diungkapkan. Saya ingat di Amerika, negara yang demokrasi kurang apa mereka itu. Pernah ada sebuah hasil survei, bahkan hasil penelitian, (bahwa) ada lima etnik yang mirip. Ada etnik yang paling cerdas, itu adalah justru ras kuning, seperti ras Jepang, Cina. Yang kedua adalah kulit putih, seperti Eropa dan amerika itu. Yang ketiga adalah kulit cokelat. Ras cokelat ini India, Arab, Pakistan. Yang keempat adalah ras sawo matang, Indonesia, Thailand. Yang kelima adalah negroid, yang hitam. Nah, tadi, yang paling cerdas itu urutannya.
Nah, kalau ini dipublikasikan, itu artinya kulit hitam yang hampir separuh di Amerika itu tidak boleh menjadi kepala negara kan, karena IQ-nya "jongkok". Iya kan? Jadi itu menyentuh hal-hal yang sifatnya kemanusiaan.
Jadi sebaiknya, kalau itu hasil penelitian, hasil survei, kalau itu bisa menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat, sebaiknya itu menjadi konsumsi terbatas oleh kalangan-kalangan bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan. Nggak usah dimuntahkan di publik. Itu kan menjadikan publik semakin tidak tenang. Apalagi kalau itu menggunakan agama atau masjid sebagainya, itu sangat sensitif.
Biarkanlah masyarakat kita ini tenang bekerja, tenang belajar di kampusnya, tenang mendengarkan ceramah. Tapi kalau disuguhi (kabar begitu), "Oh, ini masjid ini terpapar. Saya harus pergi ke masjid lain, karena kebetulan saya tetanggaan dengan masjid ini. Nanti aku masuk ke situ, diklaim juga warga di situ kan." Itu dampaknya terlalu jauh. Karena apa? Kampusnya kan. "Oh, iya ini. Pantes."
(Ada pula seruan) Jangan terima pegawai negeri itu, kampusnya terkontaminasi teroris. Itu mengorbankan orang yang nggak berdosa. Jadi saya tidak setuju.
Terlalu gampang kita mempublikasikan sebuah hasil survei, terlalu cepat kita menyebutkan batang hidungnya objek itu. Ya, bahasa samarkanlah sedikit. Untuk apa? Demi ketenteraman orang yang baik-baik di sekitar. Dengan mengemukakan seperti itu, artinya apa yang terjadi? Kan kasihan korban, terpaksa harus cari tempat lain, karena diklaim bahwa masjidnya itu adalah masjid "garis keras".
"Nanti kalau masjid itu dipakai garis keras, aku juga terbawa-bawa. Udahlah, jangan bantu masjid!" Itu bisa juga dimaknai seperti itu kan? Mempublikasikan masjid-masjid yang orang (akhirnya) nggak mau membangun masjid lagi. Nanti jangan-jangan masjid itu jatuh ke kelompok garis keras, nanti kita terbawa-bawa, anak cucu terbawa-bawa. Nah, bangun saja perjudian di situ, nggak ada yang mempersoalkan kan. Jadi dampaknya jauh.
Satu lagi pak. Ini kan menjelang Pilpres. Ada prediksi yang akan memainkan isu agama?
Ya, sejak dulu di Indonesia ada kelompok-kelompok yang mengusung agama di dalam memenangkan kelompoknya. Jadi itu tak terhindarkan, karena masyarakat kita ini memang sangat sensitif soal agama ya. Ya, jadi, saya hanya ingin menyarankan, lembaga-lembaga institusi tertentu jangan dipakai untuk menjadi panggung politik lah. Kayak masjid, ya, boleh bicara politik, tapi jangan bicara politik praktis. Lain itu kan? Politik dalam teori etika berpolitik, itu boleh, bahkan harus dibicarakan di masjid. Saya juga tidak sependapat kalau tidak boleh dibicarakan di masjid. (Sebanyak) 5 persen ayat Al Quran itu adalah ayat politik. Kalau itu kita nggak boleh bicara soal politik, berarti kita akan mereduksi 5 persen Al Quran. Itu bertentangan dengan ajaran Islam. Yang tidak boleh, dan ini saya setuju, jangan menggunakan masjid itu sebagai arena kampanye. Itu memecah-belah umat itu.
***
Terlahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1959 lalu, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar MA adalah juga mantan Wakil Menteri Agama di periode 2011-2014 lalu. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam di Departemen Agama/Kementerian Agama RI.
Aktif terlibat dalam salah satu organisasi dialog masyarakat lintas agama yang turut didirikannya, lelaki berusia 59 tahun ini resmi dipilih sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal pada Januari 2016 lalu. Ia menggantikan posisi Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub MA.