Kembali soal isu sertifikat ulama, itu kan mencuat lagi. Nah, bagaimana menurut bapak, apakah itu perlu? Kalau perlu, siapa yang harus mengeluarkan sertifikat tersebut?
Kalau saya sih, sertifikasi ulama itu bukan sebuah jaminan untuk menentramkan masyarakat. Apa sih yang kita harapkan dari sertifikasi itu? Kalau itu tujuannya untuk menciptakan ketenangan untuk masyarakat, sekali lagi, saya tidak melihat itu sebagai suatu solusi yang besar. Buktinya, teman kita yang di negara-negara lain yang menerapkan sertifikasi, contohnya Malaysia, Brunei Darussalam, itu tidak sembarang lho. Harus ada daftarnya kan. Tapi apa yang terjadi dalam masyarakat Malaysia? Ya, pola pikirnya tidak terlalu beda dengan kita.
Kalau kita melakukan sertifikasi, dampaknya akan jauh. Antara lain, bisa mengurangi kemerdekaan. Saya tidak ingin mengatakan kebebasan, (tapi) kemerdekaan. Bayangkan masyarakat yang luas seperti Indonesia ini, ya 14 atau 15 ribu pulau, yang ada di situ hanya guru-guru agama lokal. Bagaimana mensertifikasi mereka?
Nah, kalau (harus) ada sertifikatnya, (lalu) apa kita akan melakukan pembiaran tanpa Jumatan, desa tanpa Jumatan, kampung tanpa Jumatan. Nah, jadi saya pikir, jangan kita membuat satu regulasi yang justru akan merugikan umat itu sendiri.
Memang manfaatnya ada, sertifikasi itu sendiri bisa mengukur standarnya, (bahwa) yang layak untuk tampil untuk ceramah (di) masyarakat itu siapa. Tapi kalau mubalignya hanya terbatas, disertifikasi lagi, berarti ada yang nggak lolos sertifikasi kan. Ada 800 ribu masjid, mubalig kita itu hanya 200 ribu. Jadi nggak mungkin bisa melayani. Jadi kalau sertifikasi lolosnya hanya 50 persen misalnya, apakah kita akan melakukan pembiaran, masyarakat (jadi) tanpa Jumatan kan, karena mereka (mubalignya) tidak punya sertifikat.
Nah, hemat saya, kalau kita harus, prioritasnya lah, saya tidak (masalah dengan) sertifikasi ya. Karena masyarakat yang profesional itu harus ada sertifikatnya. Dosen harus ada sertifikat resmi dosennya, guru harus ada seritifikat mengajarnya. Guru ngaji juga mungkin harus ada sertifikatnya. Mubalig juga nanti akan ada sertifikat wajibnya. Tapi apakah kondisinya sekarang sudah memungkinkan atau belum, nah, itu kan masih perlu kita pertanyakan.
Kalau saya sendiri, apabila itu sudah mungkinkan, it's OK, nggak masalah. Tapi kondisi real-nya, jumlah mubalig yang tersertifikasi tidak berbanding lurus dengan jumlah masjid, tidak berbanding lurus dengan jumlah umat Islam. Mubalig sangat, sangat terbatas. Itu kalau dilakukan verifikasi dan sertifikasi, akhirnya banyak masjid yang nggak dapat.
Soal terorisme, itu juga kan sekarang masih merongrong negara. Nah, itu apa sebetulnya yang membuatnya tidak ada habisnya? Apalagi kemarin (tindakannya sampai) membawa keluarga?
Kalau saya melihat, persoalan terorisme itu adalah persoalan global, tidak bisa diselesaikan satu negara. Sehebat apa pun sebuah negara menangani sebuah teroris, itu pasti ada kecolongannya ya. Amerika kurang apa. Negara-negara Eropa kurang apa? Tapi sering kali kecolongan (juga) kan?
Jadi saya kira, kita harus melakukan pola pendekatan yang sama, dan lebih komprehensif sifatnya. Dan pertama kita harus ikut mengotopsi terlebih dahulu, apa yang menyebabkan mereka menjadi teroris. Antara lain mungkin ketidakadilan. Ketidakadilan itu bisa dilihat dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, ketidakadilan geografis. Contohnya misalnya Israel, tanahnya hanya 5 persen, Palestina 85 persen. Sekarang kebalik, ya kan. Sekarang seenak-enaknya membangun perkampungan di daerah Palestina yang mayoritas muslim, lalu dipagar. Itu kan perampasan di siang bolong.
Nah, itu dibiarkan oleh negara besar, negara maju. Kenapa (mereka) tidak berani melakukan teguran terhadap Israel? Nah, itu menyakiti hati umat. Nah ini juga menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam beragama.
Yang kedua, ketimpangan ekonomi. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, sementara pelajaran agama yang diajarkan setiap hari adalah keadilan sosial, adalah persamaan, permusyawaratan, ya kan?
Nah, jadi mereka frustrasi. Kok kenapa agama kami menganjurkan persamaan dan keadilan, tapi yang ada di sekitar kami adalah ketimpangan yang menganga.
Yang ketiga, mungkin juga ketimpangan dari segi peluang kerja, kesempatan kerja. Ada orang yang begitu gampang mendapat kerja. (Sementara) Kami punya ijazah, kami punya keahlian, tapi kok nggak bisa kerja?
Jadi selain faktor KKN, itu juga faktor untuk menimbulkan potensi radikalisme. Dan sekali lagi, terorisme, radikalisme, itu bukan mereknya orang yang beragama Islam, tapi bisa muncul juga pada agama lain. Siapa pun korban ketidakadilan, itu pasti berpotensi menimbulkan kekerasan.
Di laman berikutnya, Nasaruddin bicara soal masjid, kampus terpapar radikalisme, dan lainnya...