Suara.com - Sebagai salah satu tokoh dunia Islam yang saat ini menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar punya banyak pandangan tentang berbagai hal, terutama menyangkut ulama, keberadaan masjid dan umat. Kabar atau rencana sertifikasi ulama misalnya, termasuk yang turut menyita perhatiannya.
Lebih jauh, Nasaruddin juga memiliki pemikiran tersendiri mengenai ulama ideal seperti apa yang dibutuhkan umat dan masyarakat Indonesia. Salah satu yang diutarakannya adalah bahwa ulama harusnya tidak melulu bicara ayat dan hadis, tanpa tahu dan paham kondisi sebenarnya di tengah masyarakat.
Berikut petikan pembicaraan wartawan Suara.com dengannya:
Bagaimana pandangan Anda soal negara yang ingin memberikan cap "ulama baik" serta mengeluarkan sertifikat ulama?
Iya, pertama saya memahami, pasti Pak Menteri Agama punya tujuan yang baik. Untuk memfasilitasi secara praktis masjid-masjid, terutama masjid-masjid di BUMN dan pemerintah yang kesulitan untuk mengidentifikasi mubalig mana yang layak dan tidak layak untuk bicara di masjidnya.
Tentu mereka tidak mau salah, karena mereka ada pimpinannya. Maka itu, mereka sering kali minta tolong ke Kemenag. Untuk merespon itu semua, maka Pak Menteri, mungkin stafnya ya, mencoba untuk merilis 200 nama itu.
Nah, tentu memang kontroversi, ya kan. Nah, sejak saya dulu, memang ada usaha untuk itu, tetapi saya memperhitungkan bahwa itu ada dampaknya ya. Harus kita hitung.
Nanti terkesan ada mubalig pelat merah, ada mubalig pelat hitam, gitu kan. Jadi itu artinya, ada kesan umat kita itu terlalu terpola, terpilah, dan mungkin bisa juga terpecah. Nah, saya kira solusi yang diambil dari Pak Menteri, menyerahkan sepenuhnya hal ini, melanjutkannya ke MUI, saya kira itu sudah bagus ya. Dan relatifnya juga sudah mulai tenang ya.
Cuma ini alasan lain buat kita, bahwa kebijakan itu harus memang betul-betul dipertimbangkan secara matang, supaya nanti tidak menuai kontroversi. Itu sikap saya.
Sebenarnya, bagaimana kriteria ulama yang baik menurut bapak?
Ya, kalau menurut saya, kalau ulama, kita harus lihat kapasitasnya. Kalau kita ingin mendefinisikan ulama itu seperti apa, apalagi mubalig. Kalau poin saya, mubalig yang baik itu bukan lagi orang yang berhasil membuat orang itu tertawa terpingkal-pingkal, melawak, lucu, atau menangis tersedu-sedu. Seolah-olah membuat orang itu frustrasi, kehilangan masa depannya. Harus optimis, gitu ya. Saya pikir, mubalig dan ulama yang baik, dikaitkan dengan umat, ya, hanya mampu menyalakan lentera hati umatnya.
Memberikan spirit, memberikan harapan, memberikan obsesi-obsesi masa depan yang lebih positif, ini yang perlu kita lakukan. Jangan sampai nanti, kita tidak sadar, sebagai seorang mubalig itu justru membuat orang itu menjadi pesimistik. Itu bertentangan dengan misi agama kita sendiri kan.
Agama itu harus mengajak umatnya untuk berpikiran positif, progresif, positif ke depan, profesional, optimisme, gitu ya. Jangan sebaliknya.
Ya, jadi kaitannya dengan ulama-ulama dalam kapasitasnya sebagai yang ahli, ya, bukan hanya sebagai seorang mubalig ya. Yang diperlukan ulama sekarang ini adalah ulama yang kira-kira mampu melakukan pendekatan kuantitatif, analisis kuantitatif. Tidak melulu melakukan pendekatan reduktif. Reduktif itu dari atas ke bawah, hanya patronnya ayat-hadis, tanpa melihat kondisi apa pun yang di bawah, seperti apa itu. Sering kali nanti tidak direspon positif oleh masyarakat kan.
Tapi ulama yang paling diharapkan ke depannya adalah ulama yang sampai memahami faktor-faktor yang sifatnya reduktif. Dia juga harus memahami faktor induktifnya.
Reduktif itu berangkat daripada sebuah teori besar dalam Al Quran dan hadis. Tapi induktif, itu yang saya maksudkan, punya pengenalan lapangan secara kuantitatif, kondisi objektif di dunia masyarakat itu seperti apa.
Jadi nanti akan simetris, ya, bagaimana membahasakan ajaran agama dalam bahasa masyarakat yang real seperti apa, apa yang dihadapinya di depannya itu ya. Kan kalau kita hanya sibuk melihat ayat, sibuk melihat hadis, sibuk melihat kitab kuning, tapi tidak pernah menyaksikan kondisi masyarakat kita seperti apa di bawah itu, nanti sulit membumikan ajaran itu sendiri. Tapi kan kalau kita paham lapangan, sosiologinya, antropologinya, psikologinya, politiknya, bahkan kondisi ekonominya, enak kan menyandingkan pemahaman ajaran agama itu kepada masyarakat kita.
Persis seperti yang dilakukan Nabi kan. Nabi itu pengenalan medan lapangannya itu sangat kuat. Lalu diperkenalkanlah ayat, dan itu juga Tuhan mencontohkan seperti itu kan.
Coba, mengapa Allah menurunkan Al Quran itu 23 tahun? Nah, itu kan ada proses-proses, ada penyesuaian. Karena kalau Tuhan menurunkan Quran itu seperti meng-install Al Quran dari CD, itu bisa (dengan) kekuatan "kun fayakun"-nya Allah. Siapa yang meragukan, iya kan?
Tapi tidak manusiawi Quran itu kalau turun sekaligus. Tentu kita butuhkan prosesnya. Contohnya, masyarakat Arab itu peminum. Nah, kalau langsung di-cut, nggak boleh minum itu minuman keras, itu siapa yang mau masuk Islam? Iya kan? Makanya itu, diperlukan empat ayat turun secara kronologis, sampai kepada pemungkasnya, (bahwa) itu permainan setan. Masyarakat Arab itu (juga) rentenir, dulu pada masa Nabi. Maka untuk itu diperlukan tujuh ayat yang turun berangsur-angsur, sampai kepada pemungkasnya. Dibeli boleh, haram-riba, gitu kan.
Nah, kalau langsung di-cut begitu, manusia akan menjauhi. Sementara Quran itu untuk manusia kan? Bukan manusia untuk Quran, tapi Quran untuk semua manusia. Itu yang sangat penting. Jadi kapasitas ulama itu, selain harus mengerti kitab-kitab langit, tapi juga harus memahami kitab-kitab bumi.
Kembali soal sertifikasi ulama, serta masalah terorisme, Nasaruddin blak-blakan di laman berikutnya...