Suara.com - Satu gaya pengajian "baru" dihadirkan Ulil Abshar Abdalla lewat media sosial di internet. Program yang awalnya untuk kebutuhan pribadi dan sudah dimulainya sejak Ramadan tahun lalu itu adalah pengajian Ihya yang ia siarkan secara langsung (live) di jejaring sosial Facebook.
Apa penjelasan Ulil mengenai pengajian tersebut, dan sebenarnya apa tujuannya? Apakah ia juga menyasar generasi milenial, serta apakah ini juga ada hubungannya dengan upaya mencegah atau mengikis radikalisme? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Suara.com.
Pengajian Ihya live di Facebook. Ini tergolong baru di Indonesia, (namun) belakangan ini tampaknya cukup intens dan banyak yang mengikuti. Bisa dijelaskan?
Jadi ini sebetulnya pengajian ala pesantren tradisional yang banyak berlangsung di kalangan pondok-pondok NU, kemudian saya lakukan itu menggunakan medium yang baru yaitu media sosial. Dalam hal ini saya menggunakan Facebook. Tapi seluruh metode yang saya gunakan adalah yang dipakai di pesantren.
Baca Juga: Inilah Limo Canggih Kim Jong Un di KTT Singapura
Jadi menggunakan teks klasik, dalam hal ini ber-ihya', kemudian diurai dengan cara pesantren, dibaca kata per kata, kemudian diterangkan, dihubungkan dengan konteks sekarang. Terus ngajinya itu urut, tidak seperti di kampus, tematik. Kalau di pondok, ngaji itu dari awal sampai akhir. Dibaca from cover to cover, dan selesainya tidak tahu sampai kapan. Pokoknya mengalir saja. Itulah pendidikan ala pesantren yang menurut saya unik. Pendidikan yang tidak terikat oleh silabus yang ketat dan metode yang digunakan dosen atau pengampu itu juga bisa menggabungkan banyak hal. Ada analisa kebahasaan, analisa kontennya sendiri, ada analisa perbandingan dengan kitab-kitab yang lain, ada analisa historis berdasarkan pengalaman gurunya sendiri.
Jadi ngaji ala pesantren bagi saya menarik sekali, dan yang terpenting adalah orang terikat dengan teks. Tidak bicara sembarang seperti penceramah yang sering tampil di televisi seperti sekarang ini, yang bisa bicara seenaknya, kadang-kadang juga terlihat seperti akal-akalan saja. Tapi ini terikat dengan teks yang baku.
Ini saya lakukan tahun lalu, mulai dari bulan puasa tahun lalu. Saat itu saya lakukan dengan niat sederhana saja. Saya kangen dengan ngaji ala pesantren yang pernah saya lakukan ketika di pesantren dulu. Saya melakukan itu sering. Sekarang saya ingin melakukan itu. Jadi saya ngaji ala pesantren. Kemudian istri saya beri usul agar itu live di Facebook. Tujuan dia bagus. Saya baru sadar belakangan ini. Bahwa media sosial hari ini isinya penuh dengan konten-konten yang negatif. Itu harus di-counter dengan konten yang positif. Nah, ngaji seperti ini bisa jadi alternatif. Akhirnya saya ngaji dengan live streaming. Ini ngaji sesuai tuntutan sekarang. Medium modern, tapi kontennya tradisional. Jadi gabungan antara yang tradisional dengan modern.
Apakah cukup efektif?
Selama satu tahun berjalan, ketika saya memulai pengajian ini niatnya hanya ngaji selama bulan puasa saja. Tapi selesai bulan puasa malah banyak yang mendorong supaya diteruskan. Akhirnya saya teruskan, dan belakangan banyak yang minta agar pengajian ini tidak sebatas online. Jadi (ada) bertemu atau kopdar. Akhirnya saya malah banyak kopdar daripada ngaji online. Dulunya ngaji online-nya di rumah, istri saya yang jadi manajer dan kameramen serta produser. Jadi merangkap semua. Jadi sekarang saya lebih banyak ngaji kopdar. Hampir sebulan itu full. Saya ngaji hanya akhir pekan saja. Kalau hari biasa saya tidak. Capek juga. Jadi selama sebulan, tiap akhir pekan, saya nyaris hampir tiap pekan saya keluar kota, karena ternyata yang tertarik dengan pengajian ini banyak. Saya katakan pengajian seperti ini --mungkin dilihat dari sudut orang-orang yang punya minat mengikuti-- itu mengenai sasaran.
Baca Juga: PDIP: Amien Bukan Ancaman Bagi Jokowi
Soal efektif atau tidak, saya tidak tahu. Tapi dilihat dari sudut yang nonton, ya, saya kalah jauh. Dibanding Ustadz Abdul Somad atau Aa Gym, ya, jauh sekali. Yang nonton konstan dari awal sampai akhir paling rata-rata 300, 400. Kadang kalau naik paling 600. Kalau Aa Gym kan 10 ribu yang nonton. Saya tidak ada apa-apa kalau dibandingkan dengan dai-dai yang bisa dikatakan selebriti.
Tapi buat saya itu tidak penting, (soal) berapa pun yang nonton. Kalau ini buat saya sendiri untuk memuaskan rasa kekangenan saya ngaji ala pesantren. Yang kedua, memberikan tawaran mengenai pemahaman Islam yang berdasarkan teks klasik. Tujuan saya antara lain supaya orang Islam juga mengapresiasi kekayaan tradisi pemikiran Islam yang luar biasa. Al Ghazali sebagai pengarang sekaligus ulama dari abad 10 Masehi (misalnya), itu memang dahsyat sekali. Luar biasa orang itu. Karyanya yang saya baca merupakan karya yang popular di seluruh dunia Islam.
Kopdar berapa kali? Sering?
Kalau kopdar seminggu sekali. Cuma kalau awal bulan, selalu berlangsung di PB NU, Jalan Kramat Raya. Di dalam kantor PB NU ada masjid, nah, di sana ngajinya berlangsung. Selebihnya muter (keliling). Kadang di Jakarta, kemudian di daerah. Pernah kemarin di Korea, diundang ke Korea Selatan. Kita diundang komunitas muslim yang berada di sana, orang Indonesia yang tinggal di sana. Yang ke luar negeri baru itu saja. Kalau daerah, selama ini saya batasi baru di Jawa saja. Belum mau ke luar Jawa. Mungkin setelah Lebaran saya pertimbangkan ke luar Jawa.
Saya sebetulnya berpikir, ini kegiatan yang sifatnya untuk menampung hobi saya saja. Kalau saya misalnya terus pergi jauh-jauh, capek rasanya. Saya tidak kuat. Permintaan ke luar Jawa banyak. Ke Aceh, Palembang, Sulawesi, Kalimantan, Ambon, bahkan ke Papua juga. Tapi kalau saya turuti, ya capek sekali. Saya ingin menggarap audiens yang di Jawa saja. Kalau Jawa, sudah hampir merata.
Apakah audiens sudah jadi komunitas?
Ya, kira-kira begitulah.
Yang mengikuti secara kontinyu dari kalangan mana saja?
Saya belum tahu, karena belum ada survei. Dari komentar yang muncul dalam wall Facebook saya, umumnya anak muda, ya, kisaran di bawah 36 tahun. Kebanyakan orang-orang yang akrab dengan kultur NU. Misalnya orang perkotaan generasi milenial, saya belum penah lihat.
Ulil bicara lebih jauh soal peminat pengajiannya, juga soal relevansi kitab Ihya bagi muslim hari ini, serta upaya mencegah paham radikal, di laman berikutnya...
Banyak orang yang kritik saya. Kritikannya, ya, seperti itu, harusnya bisa masuk ke generasi milenial. Tapi gimana? Kan tidak bisa dipaksa juga. Saya disuruh buat pengajian ihya yang pendek-pendek, 3 menit yang langsung to the point, seperti iklan. Waduh, saya tidak bisa melakukan itu, karena mungkin orang lain yang harusnya melakukan hal itu. Audiens saya bukan generasi milenial. Segmennya ya orang-orang NU lah. Tapi orang NU yang sudah mengalami urbanisasi.
Ini menarik. Orang-orang yang dulu pernah mondok atau pernah berkenalan dengan tradisi NU, tapi kemudian pindah ke kota. Mereka kangen dengan tradisi itu, dan mereka juga ingin ada pengajian yang menghubungkan antara kitab-kitab klasik dengan masalah kekinian. Karena kalau ngajinya dengan cara pesantren murni, mereka juga sudah bosan. Mereka ingin ngaji yang kontekstual, kekinian, tapi tetap ala pesantren. Itu memenuhi aspirasi mereka sepertinya.
Jadi sebetulnya ini adalah generasi NU urban. Kira-kira begitu. Tapi juga bukan yang di (kawasan) urban saja, di daerah juga banyak kok. Ada juga di luar NU. (Kaum) Abangan misalnya, yang ikut ini juga ada. Bahkan yang non-muslim juga ada. Yang tua juga banyak.
Secara gender laki-laki paling banyak. (Tapi) Justru penonton yang paling aktif perempuan, walaupun jumlah mereka tidak sebanyak laki-laki. Mereka aktif membuat catatan. Ada yang namanya Nurul Agustina. Bukan hanya rajin mengikuti pengajian, tapi juga buat catatan, kadang diberi bumbu lewat pengalaman dia sendiri. Menarik sekali, karena dia penulis yang baik.
Apa pentingnya kitab Ihya untuk hari ini dan apa relevansinya?
Kitab Ihya itu relevansinya adalah memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam dan bersifat spiritual. Menurut saya, dengan pemahaman Islam seperti yang disodorkan dalam kitab Ihya, orang itu bisa dihindarkan dari godaan radikal. Kitab Ihya itu kalau dibaca oleh seseorang, orang itu akan susah jadi radikal. Karena orientasi Ihya itu sebenarnya membangun karakter diri. Sifatnya melakukan kritik ke dalam.
Ini berbeda dengan semangat keagamaan yang ada di kota-kota yang lebih menuju ke luar, menghakimi orang lain, menyesatkan. Ihya itu semangatnya membawa orang melakukan peneropongan terhadap diri kita sendiri. Saya mengistilahkan orientasi Ihya itu adalah membuat orang menjadi "FPI" bagi dirinya, bukan "FPI" bagi orang lain. Kalau kamu keras, keraslah terhadap dirimu, bukan kepada orang lain. Yang menjadi soal jika kamu jadi "FPI" bagi orang lain. Kalau kamu jadi "FPI" bagi diri sendiri, artinya kamu keras terhadap diri sendiri, melakukan kontrol, dalam bahasa tasawuf atau mistiknya adalah muroqobah, melakukan kritik terus-menerus terhadap diri sendiri. Kalau Anda melakukan itu, tidak ada kesempatan untuk menghakimi orang lain.
Kemudian saya ingin mengajak orang Islam di perkotaan mengembangkan wawasan keislaman yang lebih spiritualistik, yang intinya adalah membangun kesadaran rohaniah yang mendalam sehingga hubungan kita terhadap Tuhan itu lebih intim, lebih kuat, dan itu jadi pondasi untuk membangun masyarakat Islam agar tidak berorientasi pada simbol-simbol permukaan. Karena problem kita sekarang ini adalah problem politik identitas yang fokusnya adalah menekankan simbol-simbol formal. Kalau orang belajar tasawuf, simbol formal bukan berarti tidak penting, tapi itu tidak merupakan hal yang utama. Yang paling utama adalah penghayatan di dalam terhadap agama. Itu yang saya suka dari Ihya, selain saya ingin membawa orang Islam dalam memahami Islam itu tidak hitam-putih.
Mengenai terminologi Islam sekuler, liberal, bagaimana penjelasan yang bisa Anda berikan, sehubungan perkembangan pengajian Anda saat ini?
Saya masih liberal, tidak berubah pendapat saya dari dulu sampai sekarang. Cuma saya berusaha mengembangkan wawasan baru, yakni wawasan spiritual. Wawasan ini tidak bertentangan dengan pemahaman saya mengenai Islam. Justru menurut saya adalah wawasan yang liberal itu akan lebih matang kalau disertai dengan wawasan spiritual, dan intinya adalah orang tidak seresisten ketika saya kasih dalil (seperti biasanya). Karena saya ngaji Ihya ini memang saya membaca kitab yang memang sudah diakui otoritasnya. Tapi masih ada saja yang berpersepsi buruk. Ya, saya tidak soal. Karena tidak mungkin memaksa orang mengubah pendapat tentang saya. Bahkan saya cenderung mengatakan kalau kamu membaca kitab Ihya dengan benar, nggak mungkin kamu ikut dalam gerakan terorisme. Orang yang paham Ihya secara benar, kamu tidak akan ISIS dan lainnya. Justru akan menjauh dari gerakan seperti itu, lebih toleran, tidak menghakimi orang lain. Orientasinya melakukan perbaikan diri. Saya rasa orang Islam butuh itu.
Soal universitas yang terpapar paham radikal?
Sebetulnya kita sudah tahu dari dulu. Ini yang sudah sering saya omongkan dari dulu, sejak awal tahun 2000. Saya sudah bicara dari dulu. Saya tidak kaget. Karena perkembangan Islam garis keras lebih banyak di perguruan tinggi yang sekuler. Karena orang yang kuliah di perguruan tinggi sekuler tidak dibekali dengan pengetahuan Islam yang solid, sehingga mereka mudah terkecoh dengan ideologi yang mengatasnamakan Islam yang menyodorkan solusi yang dianggap paling hebat untuk melawan kapitalisme global dan hegemoni Amerika. Karena mereka tidak dibekali dengan hal itu. Kalau mereka belajar Ihya, mereka tidak akan terkecoh dengan ideologi seperti itu.
***
Terlahir dan besar di lingkungan berlatar Nahdlatul Ulama (NU), sosok Ulil Abshar Abdalla berkembang menjadi salah satu pemikir yang notabene kerap terlibat kontroversi. Hal itu terutama lantaran pandangan-pandangannya yang sering dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam secara tradisional oleh sebagian orang, sesuatu yang membuat nyawanya bahkan beberapa kali sempat terancam.
Lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah 11 Januari 1967, ini adalah juga menantu dari salah satu tokoh NU, KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Sempat berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan mendapatkan gelar sarjana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Ulil juga telah meraih gelar master dari Boston University, sebelum meneruskan untuk gelar PhD di Harvard University.